Kamis, 25 Februari 2021

Kematian Indah

oleh: Griven H. Putera

 

Al-nasu niyamun, faiza matu, intabahu. Manusia itu tertidur, apabila mati barulah ia bangun.

Ungkapan di atas ada yang mengatakan hadits Nabi Saw, ada juga yang menyebutnya perkataan Ali bin Abi Thalib. Ada juga yang mengungkapkan kalau itu merupakan kata-kata Sahl bin Abdillah Al-Tustury. Yang terpenting, kata mutiara itu mustahak jadi renungan.

Ya, banyak di antara manusia hari ini sedang tertidur lelap dalam mimpi-mimpi fatamorgana. Yang baik menurut Ilahi terkadang dianggap kuno dan ketinggalan zaman. Yang indah menurut Tuhan dipandang jelek dengan mata nafsu buruk. Dia tak menyadari pesan Imam Al-Ghazali, bahwa nafsu dapat membuat seorang raja menjadi budak. Sementara sabar bisa membuat seorang budak menjadi raja.

Manusia mengejar segalanya, mulai harta, tahta, wanita dan sebagainya dengan segala cara, seolah hidup di dunia bakal kekal selamanya. Padahal, mungkin baru tadi pagi, ada orang di sebelah rumah, tetangga dan sahabatnya baru pulang ke kampung abadi. Tapi dia melihat itu hanya sebagai pemandangan biasa.

Padahal itu merupakan mula hari panjang dalam kehidupannya. manusia menganggap semuanya tidak pernah dipertanggungjawabkan. Sering menganggap setelah mati semuanya selesai.

Mereka menyangka mati itu tidur panjang untuk istirahat selamanya. Padahal bukan. Matilah adalah awal seseorang memasuki perjalanan dan perjuangan yang amat berat dan dahsyat di masa yang akan datang. Sebesar zarah saja keburukan yang dilakukan, suatu ketika dia akan melihatnya dan mempertanggung jawabkannya.

“Barangsiapa yang mengerjakan kebaikan seberat zarrah pun, niscaya dia akan melihat (balasan)nya. Dan barangsiapa yang mengerjakan kejahatan sebesar zarrah pun, niscaya dia akan melihat (balasan)nya pula.” [QS. 99:7-8]

“Mahasuci Allah yang dalam genggamannya kekuasaan, dan Dia berkuasa terhadap segala sesuatu. Dia yang telah menciptakan kematian dan kehidupan untuk menguji siapa di antaramu yang paling bagus amalnya, dan Dia Maha perkasa lagi Maha Pengampun.” [QS. 67:1-2]

Manusia hidup di dunia ini sedang dalam perantauan, dan suatu ketika akan pulang ke kampung halaman. Kampung halaman yang sejati adalah alam akhirat. Sungguh menyesal nanti ketika akan pulang namun tak membawa bekal-apa-apa. Manusia banyak menyiapkan bekal untuk masa tua di dunia ini. Disiapkannya deposito untuk masa depan pendidikan anak-anaknya, dan lain sebaginya. Tapi dia lupa untuk defosito kehidupan akhiratnya yang sangat panjang dan melelahkan.

Dia bangun rumah mewah, hidup bergurau senda dengan kaum kerabat dan handai taulan. Dia beli mobil mewah tidak cukup satu atau dua. Disiapkannya biaya perjalanan mengelilingi dunia. Akan tetapi sayang, sering abai dengan rumahnya di alam barzah, ia cuai dengan perjalanan dan kendaraan di padang mahsyar kelak.

Dia tak pernah menyiapkan bekal untuk perjalanan panjang yang amat melelahkan dan merisaukan. Terkadang dibangunnya rumah wah-nya dengan cara tidak benar, dia beli mobil mewah dengan jalan tak sesuai keinginan Ilahi. Ia kejar dan raih pangkat serta jabatan dengan cara culas, mencuri, menipu atau dengan mencari-cari kesalahan orang serta cara-cara kotor lainnya. Terkadang ia tersenyum jumawa di balik tangis orang lain. Dia tertawa terbakah-bakah di balik duka dan nestapa orang-orang miskin.

Jika itu yang dilakukan, jika nafsu burut diperturutkan; Tunggulah. Tunggulah. Tunggulah masa ketika akan dipersiapakan Tuhan sebuah rumah neraka dan fasilitas jahanam lainnya dari hasil perbuatan yang melawan keinginan Tuhan tersebut.

Manusia hidup di dunia ini hanya seperti seorang penyelam di lautan indah dan dalam yang sedang disuruh menemukan sebutir mutiara. Dilengkapi oksigen yang penggunaannya terbatas. Di lautan, beragam keindahan akan disaksikan, mulai batu karang dengan aneka ragam, ikan dan biota laut nan indah warnanya pun berbagai macam.

Di keindahan lautan ia terlena. Ia lupa tugas utamanya. Ia terpukau dengan keindahan yang fatamorgana itu. Ia lupa mencari mutiara berharga yang menjadi tugas dia yang sesungguhnya. Maka ketika oksigen habis, barulah ingat kalau mutiara belum ditemukan. Dia pun terpaksa naik ke permukaan, karena takut tenggelam dan mati sia-sia.

Ketika sampai di bibir kapal, maka sang pemilik kapal menanyakan mutiara yang dipesan. Ia hanya terdiam. Tugasnya pun gagal. Maka pemilik kapal pun akan marah dan meninggalkannya hingga tenggelam.

Maka begitulah, Tuhan merupakan pemilik kapal kehidupan dunia ini. Suatu ketika tugas manusia sebagai hamba-Nya akan diminta pertanggung jawaban. Jika tak mampu meraih dan mempertanggungjawabkannya, maka karamlah ia.

Wama khalaqtu al-jinna wa al-insa illa liya’buduni. [QS. 51:56]. Tidak Aku ciptakan jin dan manusia kecuali untuk menyembah-Ku.

Mutiara hidup yang sedang dicari adalah menjadi ‘abid atau hamba hakiki dari Dia sang Maha Penguasa. Hamba yang selalu bertakwa kepada Allah Swt.

Siapkan bekal, siapkan bekal. Dan sebaik-baik bekal adalah takwa. Fazawwadu, fa innna khaira zad al-taqwa. [QS. 2:197]. Berbekallah, sebaik-baik bekal adalah takwa.

Mari takut melakukan perbuatan yang dilarang Allah Swt dan Rasulullah Saw. Mari jalin silaturrahmi. Mari berbagi rezeki. Mari hiasi bibir dengan kata bermadu yang menyehatkan orang lain, mari pandang manusia lain dan alam semesta sebagai bunga-bunga Tuhan yang indah dan berwarna-warni. Mari sisihkan sebagian rezeki untuk orang-orang yang memerlukan. Mari gunakan kekuasaan dan kekuatan untuk menebarkan rasa cinta dan kasih sayang.

Demi masa, sesuuguhnya manusia dalam kerugian kecuali orang-orang yang beriman dan beramal shaleh, orang-orang yang saling nasehat menasehati dengan kebenaran dan kesabaran. [QS. 103:1-3]

Hidup di dunia serba bertunangan, hidup di dunia serba berpasangan. Siang, malam. Hitam putih. Duka, bahagia. Baik, buruk. Hidup, mati. Semua manusia pasti mati.

Kullu nafsin zaiqat al-maut. [QS. 29: 57]. Setiap yang bernyawa pasti mati. Kata Imam Al-Ghazali, jadikan kematian itu hanya pada badan karena tempat tinggalmu ialah liang kubur dan penghuni kubur senantiasa menanti kedatanganmu setiap masa.

Hamzah Fansury dalam Syair Perahu-nya juga bertutur: Kenali dirimu di dalam kubur, badan seorang hanya tersungkur, dengan siapa lawan bertutur, di balik papan badan terhancur.

Kini tinggal pilih. Mati dalam keadaan sengsara atau mati dalam keadaan indah? Kalau ingin kematian yang indah, maka mulai detik ini, ubah cara pikir, cara pandang dan cara kerja untuk selalu membuat orang lain tersenyum bila melihat, mendengar dan bersua dengan kita. Mari menjadi insan yang tenang. Mari menjadi khalifah fi al-ard. mari menjadi hamba Allah yang jati. Yaitu manusia yang berjiwa teduh.

Ya ayyatuha al-nafs al-muthmainnah. Irji’ ila Rabbbiki radhiyatan mardhiyyah, fadkhuli fi i’badi, wadkhuli jannati. [QS. 89: 27-28]. Hai jiwa yang tenang, kembalilah kepada Tuhanmu dengan hati yang puas lagi diridhai; lalu masuklah ke dalam jemaah hamba-hamba-Ku, dan masuklah ke dalam surga-Ku.

Wallahu a’lam.

(Tulisan ini pernah dimuat di lamanriau.com pada 23 Oktober 2020)

Etika Leadership

oleh: Griven H. Putera


Tenas Effendy dalam Tunjuk Ajar Melayu berpesan: Bertuah ayam ada induknya, bertuah serai ada rumpunnya, bertuah rumah ada tuanya, bertuah kampung ada penghulunya, bertuah negeri ada rajanya, bertuah imam ada jamaahnya.

Bila negeri tidak beraja, bila kampung tidak berpenghulu, bila rumah tidak bertuan, angin lalu tempias lalu, tuah hilang marwah terbuang, hidup celaka sengketa pun datang.

Leader is the cultural builder: Pemimpin merupakan pembentuk budaya yang dipimpin.

Rasulullah Saw merupakan figur kepemimpinan dalam Islam dan orang Melayu. Ia menjadi contoh ideal pemimpin idaman yang tidak saja disanjung, dikagumi, dan dicotoh-teladani pengikutnya tapi juga diakui oleh orang lain bahkan lawan-lawannya sendiri. Karena ia memang telah ditabalkan Ilahi sebagai figur tiada tanding, teladan tiada banding. “Sungguh pada dirimu Rasulullah (Muhammad) panutan yang baik.”

Keteladanan nabi Muhammad Saw tercakup dalam semua aspek kehidupan, termasuk kepemimpinan. Berbicara tentang figur leadership Rasulullah Saw tak lepas dari Alquran karena kitab itu menjadi dasar ia melakukan segala hal dalam kehidupan termasuk ketika memimpin umat manusia. Ketika Aisyah ra ditanya seperti apa prilaku nabi, Aisyah pun menyatakan bahwa akhlak beliau adalah Alquran. Jadi, Nabi Muhammad Saw merupakan Alquran yang hidup atau the rule quranic.

Saat ia dan sahabat menderita kekalahan telak dalam perang uhud, nabi agak terpukul karena kekalahan tersebut akibat ada beberapa sahabat yang tidak mengindahkan arahan beliau. Saat itu terbunuh 70 sahabat, termasuk pamannya Hamzah bin Abdul Muthalib. Sebagai manusia, ia kecewa terhadap beberapa sahabat yang tidak mengikuti arahannya. Dan ia merasa bingung harus bersikap apa terhadap beberapa sahabat yang tidak mematuhinya.

Menurut sebagian ahli tafsir, turunlah surat Ali Imran ayat 159 sebagai petunjuk bagi nabi dalam menghadapi para sahabatnya tersebut: “Maka berkat rahmat Allah Swt, engkau (Muhammad) berlaku lemah lembut terhadap mereka. Sekiranya engkau bersikap keras dan berhati kasar, tentulah mereka menjauhkan diri dari sekitarmu. Karena itu maafkanlah mereka, dan mohonkanlah ampunan untuk mereka, dan bermusyawarahlah dengan mereka dalam urusan itu. Kemudian apabila engkau telah membulatkan tekad, maka bertawakkallah kepada Allah. Sesungguhnya Allah mencintai orang-orang yang bertawakkal.”

Bila menelisik ayat tersebut ada beberapa hal yang mesti dilakukan seseorang atau pemimpin ketika menghadapi yang dipimpinnya. Pertama, ia mesti berlemah-lembut kepada orang-orang yang telah menyakitinya. Kedua, jangan berucap pedas, berlaku kasar dan keras serta bersikap diktator. Ketiga, jangan berhati bebal atau keras sehingga tak mampu melihat luka, nestapa dan derita dari rakyat atau orang-orang yang yang berada dalam kepemimpinannya. Keempat, sudi memaafkan kesalahan mereka, dan tidak pernah marah yang tak mendidik atas perlakuan mereka yang tidak menyenangkan. Kelima, mintakanlah ampunan buat orang yang dipimpin kepada Ilahi. Nabi Muhammad saw berpesan, “Sebaik-baik pemimpin adalah kalian mencintai mereka, dan kalian pun mendoakan mereka, dan mereka pun mendoakan kalian. Sedangkan sejelek-jelek pemimpin  kalian adalah kalian membenci mereka dan mereka pun membenci kalian.”

Keenam, bermusyawarahlah dalam berbagai urusan yang sedang dihadapi. Ketujuh, setelah melakukan semua itu maka serahkanlah segalanya kepada Allah Swt (tawakkal) karena Allah amat mencintai orang-orang yang bertawakkal.

Tujuh tahapan di atas, bukan saja etika atau sikap baik yang dilakukan seorang pemimpin dalam skala makro, seperti mengurus kenegaraan tapi juga dalam skop mikro, seperti bagi diri dan rumah tangga. Karena pada dasarnya, semua orang adalah pemimpin, seperti yang disabdakan Nabi Saw, “Setiap kamu adalah pemimpin. Dan setiap kamu akan diminta pertanggungjawaban dari kepemimpinannya.”

Dalam hadits tersebut, pemimpin memakai kata ra’in yang makna asalnya adalah penggembala. Sejatinya, seorang pemimpin selalu menggembala rakyatnya. Di antara sikap penggembala kepada gembalaannya adalah hampir saban waktu memikirkan nasib gembalaannya. Mulai bangun pagi sampai tidur terus memikirkan gembalaannya, dan ia ingin gembalaannya terus sehat dan selamat dari berbagai ancaman dan bahaya. Lalu ia melakukan berbagai hal agar gembalaannya tersebut selalu aman, kenyang, nyaman dan sejahtera dalam berbagai hal.

Jika dilihat dari skala luas seperti mengelola negara, maka tujuh tahapan etika kepemimpinan tersebut dapat dipakai dalam menjalankan roda kepemimpinan agar sebuah negara mencapai adil, makmur dan sejahtera atau baldatun thayyibatun wa Rabbun ghafur.

Tujuh formula tersebut telah terbukti membuat nabi Muhammad Saw  dengan manis mengukir daun emas peradaban. Diikuti pula oleh para sahabat beliau yang kegemilangannya tetap terlihat  dan mengundang decak kagum hingga kini.

Akan tetapi pemimpin yang hebat selalu didukung oleh rakyat yang hebat pula. Karena sesungguhnya pemimpin adalah cerminan rakyatnya.

Suatu ketika Sayyidina Ali kw dihujat seseorang. “Wahai Ali, ketika kepemimpinan Islam dipegang Nabi Muhammad Saw, umat aman. Di saat khalifah dijabat Abu Bakkar al-Shiddiq, umat tentram. Di waktu Umar bin Khattab menjadi khalifah, umat sejahtera. Di kala Utsman bin Affan naik tahta tak ada kekacauan di mana-mana. Tapi ketika engkau berkuasa, di mana-mana terjadi huru hara dan pertumpahan darah.”

Ali tersenyum dan menjawab, “Apa yang engkau katakan benar. Ketika kepemimpinan Islam dipegang Nabi Muhammad Saw, umat aman, di saat khalifah dijabat Abu Bakkar al-Shiddiq, umat tentram, di waktu Umar bin Khattab menjadi khalifah, umat sejahtera, di kala Utsman bin Affan naik tahta tak ada kekacauan di mana-mana tapi ketika aku menjadi khalifah, di mana-mana terjadi huru hara dan pertumpahan darah. Engkau tahu apa sebabnya?”

“Itu karena pada saat mereka menjadi pemimpin, rakyatnya orang seperti saya. Sementara ketika saya menjadi khalifah, rakyat yang saya pimpin seperti Saudara!”

Wallahu a’lam.    

(Tulisan ini pernah dimuat di lamanriau.com pada 09 Oktober 2020)