Jumat, 12 Agustus 2016

TV Jalan

Demikianlah, kini negeri beta ini sibuk dengan promosi, sibuk dengan iklan, sibuk dengan “riya” (memperlihatkan hasil kerja kepada orang bahwa ia telah banyak berbuat.

Riya itu berasal dari Bahasa Arab yang seakar dengan kata Ra-a: artinya melihat atau memperlihatkan sesuatu. Secara lebih luas dan lebih jauh, dalam terminologi agama dapat bermakna memperlihatkan kerja secara tidak ilhlas, maka riya itu pun dipandang sebagai amal mazmumah).

Selain memasang iklan di media cetak dan elektronik, selain di buku tebal dan spanduk serta baleho yang berserak, maka salah satu media lain yang digunakan dalam rangka “riya” itu adalah TV jalan. Maka di kota ini pun terdapat banyak televisi raksasa yang dipampangkan di tepi jalan. Maksud si pemasang tv jalan, tentu saja tayangan yang diputar dapat ditonton banyak orang tentang apa yang dilakukannya selama ini, tentang ini dan itu, dan tentang segala hal yang bersangkut kait dengan lembaga itu, mulai kegiatan top leader, middle leader sampai low leader lembaga tersebut. “Bahwa ini saya lho. Ini kami loh. Ini yang telah saya dan kami lakukan lho. Hebat kami kan?”

Itu pun tak mengapa karena; pertama kabarnya dahulu, menurut salah satu penelitian psikologi, bahwa kata yang paling banyak diucapkan manusia dalam sehari semalam adalah kata “aku, haku, saya, hamba, beta, ana, I, dan lain-lain yang bermakna ke-akuan (egoisme dan eksistensisme diri). Kedua, hal itu memperlihatkan bahwa kita kreatif walau minim manfaat. Selain itu tv jalan tentu saja dipasang untuk menjadi sumber informasi bagi khalayak karena memang tak semua orang baca koran, tak banyak orang yang menonton tv di rumahnya karena memenuhi kebutuhan pangan pun kempang kempis, apalagi stasiun televisi berserak.

Selain itu, tak semua orang sempat mendengar radio. Maka TV jalan pun menjadi salah-satu alternativ tontonan bagi warga. Akan tetapi agaknya ada yang dilupakan si pemasang tv jalan, bahwa di samping memiliki manfaat, tv jalan juga punya mudharat, di antaranya. Pertama, dapat membuat si pengendara lalai akibat menonton tv sehingga akan berujung kepada kecelakaan. (ini menarik, sayang saya tidak punya data berapa korban kecelakaan sebelum dan sesudah pemasangan tv jalan tersebut). Kedua, tidak semua informasi yang ditayangkan tv jalan diserap pengguna jalan (bisa-bisa informasinya malah bias karena informasi atau film yang diputar terlalu panjang).

Informasi dapat disampaikan tapi tentu saja bersifat minim waktu sehingga pesan tak maksimal sampai kepada pengguna jalan. Selain itu, harga tv jalan kabarnya sangat mahal, jangan-jangan dapat membangun gedung sekolah anak marginal di ibu kota provinsi ini yang diberitakan beberapa surat kabar beberapa waktu lalu. Keempat, tv jalan mungkin dapat dipasang di area tidak padat atau macet sehingga dapat dinikmati para pengendara sambil berhenti di tepi jalan (anggap saja bioskop jalan gratis.

Semoga bioskop jalan ini tidak membuat beberapa bioskop di kota ini gulung tikar. He he he). Kalau tv raksasa dipasang di jalan protocol, hemat dan kimat saya tentu saja tidak maksimal, pertama pengendara sibuk mencari jalan apalagi pagi, orang bersibuk menuju tempat masing-masing, dan menghindari kecelakaan sehingga informasi tv jalan tidak punya efek-feedback maksimal. Kalau sudah begitu, tentu keberadaan tv jalan menjadi “wujuduhu ka ‘adamihi” (adanya sama dengan tidak ada).

Walaupun begitu, kita menaruh salut kepada pemasang tv jalan karena dapat membuat pemandangan baru di kota ini, serta dipandang agak kreatif walau mungkin minimalis manfaat. Meleseeeeet, kata Young Riau.
By Griven H Putera
Pernah dimuat di Koran Riau, Jumat 15 April 2016

Tidak ada komentar:

Posting Komentar