Selasa, 30 Maret 2021

Rupatku Molek

Oleh Griven H. Putera

Ketapang Beach.

Ke Ketapang lagi? Ya, beta ke Pantai Ketapang lagi. Bahkan bukan hanya ke Ketapang di Kecamatan Rupat saja, kini sampai pula ke Pantai Lapin dan Pantai Pesona, Rupat Utara. Dari Jauh, walaupun langit sedikit berkabut, tugu api (menara suar) di Tanjung Medang sudah membayang. Sayang petang ini belum dapat ke sana. Sungguh belum. Niat hati memang hendak ke situ, hasrat hati bergejolak bagai ombak pasang yang menghempas tebing, dan Sekcam Rupat Utara, Tuan Ahmad Tarmizi memang mengajak ke sana. Tapi, waktu tak dapat dilawan. Petang segera berganti senja. Beta tak dapat pula mengubah rencana semula; bahwa kami akan menikmati senja di Lapin, Rupat Utara. Bermain dengan gelombang sambil bergulat dengan pasir putih yang terentang, memanjang sejauh mata memandang.

Pada siang ba’da Jumat, 30 Oktober 2020 beta bersama keluarga menuju Pulau Rupat, Bengkalis, Riau. Ini merupakan program vocation tahun ini. Bagi beta, ini bukan hanya sekadar perjalanan liburan semata tapi seperti untuk ‘ngecas bateri’. Ya, mengecas bateri kemelayuan. Tol Pekanbaru-Dumai amat berjasa mengantarkan kami cepat dan lekas tiba ke lokasi walaupun badan letih juga karena antrean panjang di roro (roll-on/roll of) Dumai-Rupat. Ya, sungguh melelahkan. Kurang lebih empat jam di tengah kendaraan panjang mengular apa tidak melelahkan dan meresahkan?

No rose without a thorn: tak ada mawar yang tak berduri. Pagi di Pantai Ketapang membuat rasa lelah akibat menunggu antrean dan menelusuri jalan semalam terasa hilang. Langit biru jernih. Angin yang bertiup dari tengah laut membuat perasaan senang nian. Pantai berpasir putih yang dipagari pokok-pokok pinus yang rapi berjajar ini membuat jiwa menjadi damai dan nyaman. Seolah badan tak mau beranjak dari sini. Istriku menemani si kecil kami, Hanan melukis pasir dan membuat istana.

Sementara Fikraneil dan Mursyidan, setelah berlari dan bermain ombak di tepi pantai, mereka pun menaikkan layang-layang yang sengaja mereka bawa dari Pekanbaru. Mereka memang suka bermain layang-layang. Saya berharap, mereka menyukai lenlayang karena ingin naik tinggi. Dan layang-layang naik ke awan karena melawan angin, jika perlu melawan dan menantang badai, dan semoga mereka dalam hidup selalu berusaha begitu.

Selain itu, saya gembira dan bangga. Saya yakin, lenlayang yang dinaikkan mereka suatu ketika akan menginspirasi pengunjung atau pengelola pantai ini untuk menerbangkan layang-layang di pantai yang berangin cukup kencang ini. Bisa saja pantai yang dikelola Pemerintah Desa Sungai Cingam ini akan menjadi tempat Festival Layang-Layang suatu ketika. Atau sebagai ajang kenduri seni sastra, dan event-event lainnya.

Sambil menunggu anak dan istri dengan kegiatan mereka masing-masing, beta pun duduk menyendiri, menghalakan pandang ke samping kanan. Sebuah kantin lengkap dengan toilet sudah berdiri. Di sampingnya aneka tempat bermain anak pun sudah tersedia. Dulu, ketika pertama kali sampai di sini semua tempat itu belum ada. Kemudian kualihkan pandangan ke tengah laut. Sebuah perahu motor tampak terombang ambing dihempas gelombang. Beberapa pengunjung sibuk berkuncah di tepi pantai, menikmati terjangan ombak berbuih putih. Tak jauh dari situ dua banana boat tampak tersadai di atas pasir. Di sampingnya berlalu lalang orang-orang menaiki ATV dan sepeda motor anak. Tak jauh di belakang, di dahan sebatang pinus yang meranggas, seekor gagak bertengger. Celingak-celinguk. Kulihat ia memerhatikan saya. Kubidikkan kamera hp. Agaknya, merasa daku akan memotretnya, burung hitam mengilat yang seperti kehilangan pasangan itu pun kembali mengepakkan sayap. Barangkali ia malu atau juga marah, atau juga kesal. Entahlah. Ia pun terbang menuju ke tengah belukar di belakang pantai. Mungkin burung berbulu lincap dan bersuara lantang itu sedang galau. Mungkin.

Saat matahari hampir tercacak di atas kepala, kami pun pulang ke penginapan di Sungai Nyirih. Pada mulanya istri saya tak mau berganjak, ia ingin menikmati matahari tenggelam di sini. Tapi akhirnya ia mengalah setelah kuyakinkan, bahwa Pantai Lapin juga punya pesona yang tak kalah memukau daripada pantai ini.

Pantai Lapin.

Jalan dari Pangkalan Nyirih ke Desa Tanjung Punak, tempat Pantai Lapin tak sejauh dan separah dari roro ke Sungai Nyirih. Tak sampai satu jam mobil kami sudah tersergam di bibir pantai. Dugaanku tidak meleset. Robbana ma khalaqta haza bahtila… Pantai ini memang memiliki pesona yang luar biasa. Panjang pantai pasir putih berpagar pohon-pohon pinus ini sungguh memukau. Ini bagai lempengan mutiara surga yang terjatuh ke bumi Riau. Pemandangan di sini semakin tak terkatakan suasananya kala petang dengan tersergamnya sebuah jembatan dermaga tak sudah, yang menjura ke tengah laut. Tiang-tiang yang mencancang mengingatkan saya bahwa pembangunan di Riau ini sedang terbengkalai. Ya, bukan hanya di sini tapi juga di tempat lain. Kini Riau memang sedang terbengkalai. Riau mesti terus berbenah.

Tak begitu lama di sini, beta pun berjumpa senior saat kuliah sekitar duapuluh tahun lalu. Rupanya ia pejabat kini, Sekcam Rupat Utara. Setelah berbincang sejenak ihwal pembangunan Rupat Utara, terutama tentang pantai-pantainya, kami pun beringsut menuju Pantai Pesona, Desa Teluk Rhu. Pantai yang konon berdepan muka dengan Port Dickson Malaysia. Hari semakin petang, langit kian berkabut, deburan ombak pasang menghantam tebing semakin kuat. Angin semakin kencang. Pantai pesona yang telah berdiri beberapa penginapan yang menjulur hampir ke bibir pantai ini tak tampak pasir putihnya. Hanya buih ombak yang setiap sekejap memecah tebing yang dipagari batu-batu.

Pak Sekcam pun mengabarkan jika ingin Pulau Beting Aceh dapat bertolak dari sini. Kemudian ia menunjuk menara suar di belah kiri kami. Ia mengajak ke sana. Akan tetapi karena jadwal semula kami untuk menikmati sunset di Pantai Lapin, hajat itu pun terpaksa tak dapat dikabulkan. Rencana kami berjalan sesuai jadwal.

Bukan matahari yang tenggelam di laut akan tetapi rembulan kiranya yang mengapung di Pantai Lapin. Kini ia bagai hampir ditusuk besi-besi dermaga tak sudah yang mencancang bagai duri-duri tembaga yang berdegam di kaki pantai. Pemandangan senja ini menghadirkan kesan lain. Sungguh tak tertuliskan. Tak terlukiskan. Tak terkatakan.

Ombak semakin kuat memecah pantai. Di kejauhan, beberapa pengunjung masih menceburkan diri di atas pasir putih yang tinggal sedikit karena direndam pasang. Membiarkan buih-buih ombak melumuri tubuh mereka. Anak-anakku sudah tak sabar bergelut dengan pasang. Mereka ingin menikmati sapaan gelombang.

Senja dengan bulan sedikit merah ini, kami pun berendam air pasang sambil menanti azan maghrib mengalun. Kami lupa kalau ancaman ubur-ubur beracun saban saat bisa saja tiba. Setelah puas bermain gelombang dan bergolek-gelempang dengan pasir yang menyimpan kerang, kami pun pulang.

Malam sudah hitam. Anak-anakku tampak puas dan gembira sangat. Kendaraan kami pun beringsut menuju musholla di tepi jalan pulang. Seusai maghrib kami teruskan perjalanan ke penginapan. Anak-anakku tidur di belakang. Entah mimpi apa mereka.

Daku bermain dengan pikiran sendiri. Seandainya akses transportasi mudah dan lancar sampai ke Pulau Rupat ini, seandainya di roro penyeberangan tidak terjadi antrean panjang dan melelahkan, seandainya jembatan penyeberangan Dumai-Rupat sudah ada seperti jembatan dari Johor ke Singapura (Malaysia-Singapore Second Link), seandainya ekonomi masyarakat global mulai membaik, seandainya covid-19 sudah pergi, seandainya di setiap pantai ada penginapan dan tempat ibadah, seandainya semua masyarakat sudah menjadi darwis (sadar wisata), seandainya semua pihak peduli, seandainya, seandainya…, maka orang-orang dari berbagai negeri akan himpun-pepat datang kemari, apalagi tol Pekanbaru-Dumai sudah mulus lempang. Akan tetapi itu hanya andai-andai saya. Namun harapan tetap terbentang, Kabupaten Bengkalis sekejap lagi akan memilih kepala daerah baru, semoga yang terpilih nanti dapat memerhatikan secara serius kepingan pulau surga ini. Dan semoga mereka tidak ditangkap orang-orang Jakarta lagi. ***


(Pernah dimuat di lamanriau.com pada 06/11/2020)

Manusia Kursani


Oleh Griven H. Putera

MANUSIA kursani? Ya, manusia kursani. Insan kursani merupakan manusia baja yang sempurna jasmani dan rohaninya. Ia tidak saja sempurna fisiknya tetapi juga tinggi rohaninya.

Hidup di dunia memang serba bertunangan, serba berpasangan. Kadang-kadang pasangannya berlawanan, terkadang berteman. Baik pasangannya buruk. Cantik pasangannya jelek. Malam tunangannya siang. Begitu juga dengan jasmani berpasangan dengan rohani, dan lain sebagainya.

Manusia memiliki dua unsur yaitu jasmani dan rohani. Jasmani memerlukan makanan dan minuman. Memerlukan pakaian dan lain sebagainya. Rohani pun demikian juga adanya. Akan tetapi banyak manusia yang hanya memenuhi kebutuhan jasmaninya dan mengabaikan keperluan rohaninya.

Kalau jasmani memerlukan makanan, pakaian, kendaraan, rumah dan fasilitas lainnya, rohani pun sesungguhnya demikian juga. Manusia mati-matian berusaha untuk memenuhi kebutuhan jasmaninya hingga terkadang tak tentu siang dan malam, tak kenal pagi dan petang, ia terus mencari, mencari dan mencari. Ia berusaha, berusaha dan berusaha.

Demi memenuhi kebutuhan jasmani yang berasal dari tanah dan akan pulang ke tanah itu, ia pun mengabaikan keperluan rohaninya yang bakal kekal dan abadi, tak jarang haram, halal hantam saja. Padahal perbuatan yang menghalalkan segala cara itu merusak rohaninya bahkan dapat membuat rohaninya sekarat. Ia semakin lama semakin haus karena meminum laut hawa nafsu yang tak sudah-sudahnya. Ia timba laut nafsunya hingga ia makin haus dan akhirnya mati dalam laut ambisi akibat hawa nafsu  buruk yang diperturutkan seturut-turutnya. Ia akan mati sebelum kematian yang sesungguhnya tiba. Ya, yang mati itu rasa nikmat ibadahnya, yang bertambah rasa cinta dunia berlebihan dan takut pada kematian. Ya, ia akan semakin hubb a-dunya wa karohiyat al-maut.

Bagaimana mungkin kalbu akan bersinar, sedangkan bayang-bayang dunia masih terpampang di cerminnya? Bagaimana mungkin akan pergi menyongsong Ilahi, sedangkan ia masih terbelenggu nafsunya? Bagaimana mungkin akan bertamu kehadiratNya sedangkan ia belum bersuci  dari kotoran kelalaiannya? Bagaimana mungkin diharapkan dapat menyingkap berbagai rahasia, sedangkan ia belum bertobat dari kekeliruannya. (Ibnu ‘Athoillah al-Iskandari) 

Kalau makanan jasmani adalah nasi, lauk dan sejumlah makanan lainnya, makanan rohani adalah ibadah kepada Allah Swt. Kesempurnaan ibadah ditunjang oleh iman, ilmu dan amal saleh. Jika semakin banyak ibadahnya, maka semakin kenyang rohaninya. Semakin tinggi derajatnya di sisi Allah Swt dan makhluk ciptaan-Nya.

Kata Jalaluddin Rumi: Orang makin memerhatikan dunia materi, dia akan makin terlena terhadap dunia rohani. Apabila jiwa kita sudah terlena di depan Tuhan, yang lain, yang tak terlena mendekati pintu rahmat Ilahi.

Menuju manusia kursani mesti semakin meningkatkan iman dengan cara semakin lama semakin menyempurnakan segala yang diperintahkan Ilahi dan meningglkan semua larangan-Nya. Mengikuti perintah-Nya sekuat kemampuan. Meninggalkan larangan-Nya mutlak sepenuhnya, bukan sekuat daya upaya.

Menurut Ali bin Abi Thalib kw, iman adalah ucapan dengan lidah, kepercayaan yang benar dengan hati, dan perbuatan dengan anggota badan. Ia baru disebut mukmin sejati ketika  memiliki rasa takut kepada Allah Swt; khusyuk melaksanakan shalat; senang mendengar dan membaca kalam Ilahi; menunaikan zakat, infak, wakaf dan sedekah; meneladani rasul; bertawakkal; selalu bersyukur; serta memiliki akhlak yang terpuji.

Niscaya Allah akan meninggikan orang-orang beriman di antaramu, dan orang-orang yang diberi pengetahuan beberapa derajat… (Q.S: Al-Mujadalah: 11)

Selain meningkatkan ibadahnya, menuju manusia kursani juga perlu meningkatkan ilmu pengetahuan, memperluas wawasan dan pengalamannya. Baik pengetahuan dan wawasan untuk memenuhi jasmaninya maupun untuk menyempurnakan rohaninya.

Man arada al-dunya fa ‘alaihi bi al-’ilmi waman arada al-akhirah fa ‘alaihi bi al-‘ilmi waman arada huma fa ‘alaihi bi al-‘ilmi: siapa yang ingin dunia maka dengan ilmu, siapa yang ingin akhirat dengan ilmu, siapa yang ingin kedua-duanya juga dengan ilmu.

Agar memperoleh ilmu Allah Swt yang luas tak berbatas diperlukan menjauhi kemaksiatan atau kejahatan dan keburukan. Al ‘ilmu nurun wa nur Allah la yu’thi / la yuhda li al-’ashi: ilmu pengetahuan itu cahaya, dan cahaya Allah tidak akan dianugerahkan atau ditunjukkan kepada orang yang berbuat maksiat.

Ali bin Abi Thalib kw bertutur: Seluruh orang berilmu celaka, kecuali yang mengamalkan ilmunya; seluruh orang beramal celaka, kecuali yang ikhlas dalam beramal.

Kesempurnaan iman dan ilmu baru lengkap pepat jika dibuktikan dengan amal saleh atau perbuatan baik dan bajik di tengah kehidupan. Jika sudah begitu maka sudah menjadi manusia kursanilah dia. Ya, mungkin begitulah.

Demi masa, sesungguhnya manusia dalam kerugian kecuali orang-orang yang beriman dan orang-orang yang  beramal saleh, dan orang-orang yang saling berwasiat dengan kebenaran dan kesabaran. (Q.S: al-‘Ashr: 1-3)

Wallahu a’lam. ***


(Pernah dimuat di lamanriau.com pada 08/12/2020)

Desember Haru

 Oleh Griven H. Putera

DESEMBER haru. Sungguh haru ketika banyak hal terjadi di luar dugaan. Desember tahun ini juga bisa jadi kelabu karena terjadi berbagai peristiwa kelu dan pilu. Ya, kawan jadi lawan, lawan jadi teman. Cinta pun jadi darah. Muntah bisa jadi muah. Semua menyisakan berbagai rasa. Ya, ada yang suka, ada pula yang kecewa. Ada yang kemak, semak dan muak. Ada pula yang merasa bagak dan tegak. Untuk itu renungi pantun ini: Jangan dilurut batang keladi, kalau dilurut banyak miangnya, jangan diturut kehendak hati, kalau diturut banyak malangnya.

Demikianlah hidup. Selalu saja berada di antara dua kutub yang kadang berlawanan, berseberangan, tak jarang pula beriringan. Yang terpenting, semua yang terjadi di masa lalu menjadi pelajaran dan pengajaran untuk hari esok. Jangan terlalu berlebihan. Jangan melampau batas.

Tahun 2020 akan pergi dengan sejumlah rasa dan setumpuk kenangan. Pahit, payau, pedas, asam, manis sama dicecah. Luka dan tawa sama dirasa. Yang pahit dimuntahkan, yang manis jangan tak ditelan. Yang pahit dan pedas jadikan obat, yang manis, asam dan payau jadikan sahabat untuk melangkah ke depan.

Jika diri pernah bergelimang noktah malam, dalam lubang-lubang hitam, maka esok berjalanlah dengan matahari yang selalu membawa cahaya. Jinjing hari esok dengan senyum mentari yang menyinari bilik-bilik gelap kehidupan karena hidup manusia di dunia semakin pendek dan amat terbatas maka manfaatkan untuk memperpanjangnya dengan kebaikan.

Nabi Muhammad Saw berpesan, “Sebaik-baik kalian adalah yang panjang umurnya dan baik amalnya.” (HR. Al-Hakim)

Mari sonsong hari esok dengan kemenangan dan kecemerlangan. Kegemilangan hanya dapat diraih dan dipagut erat dengan menabung amal kebaikan. Usah pikir langkah yang silap di hari lampau. Esok bawa keranjang kebajikan, taburkan ia di sepanjang jalan biar jadi kenangan. Usah pikirkan orang-orang yang bertanam tebu di pinggir bibir dan rebung berduri di hati yang pernah menyakiti sanubarimu. Walau lunglai, berjalanlah. Tapaki hari esok sekuat daya. Pasang niat untuk hijrah. Pasang badan untuk bersabung marwah di gelanggang. Mari bertaruh nyawa untuk jiwa dan mengikut perintah Allah.

Bagimu yang muda lagi kuat kuasa. Gunakan masa muda sebelum tua menghampirimu. Ketika mudalah engkau dapat melakukan segalanya. Selagi tampuk masih bergetah, berusahalah meraih segalanya dengan sekuat daya dan tidak melampaui koridor Allah. Setelah menjadi tua dan renta, engkau hanya dapat mengintipnya dari lubang kecil yang malap cahaya. Untuk itu, jangan lewatkan masa masa mudamu, masa bungamu yang indah dan penuh gelora.

Manfaatkan kesehatan yang ada di jiwa dan badanmu sebelum rasa sakit menderamu. Sebelum engkau tidak berdaya upaya, terkapar dalam merasa serba salah. Gunakan kekayaan, rezeki melimpah titipan Ilahi kepadamu untuk membantu sesama, sebelum kemiskinan itu tiba. Sebelum kepakiran itu datang. Ya, sebelum kau tak memiliki apa-apa, dan memakai apa-apa. Akan tiba masanya pakaian sutra dan mahalmu akan tinggal, dan kau akan hanya memakai kain putih tak berjahit. Saat kau tak ekslusiv lagi. Saat kau mendelik dengan mata sayu, ketika kau terbaring lemah tak berdaya. Kau akan pulang dalam kesederhanaan. Kau akan kembali dengan pertangung jawaban. Maka sederhanalah dalam hidup. Singikirkanlah sejengkal demi sejengkal, sehasata demi sehasta rasa angkuh yang pernah bermastautin dalam dada. Karena pada saatnya kesombongan itu akan membuat engkau malu dan hina.

Gunakan waktu yang tersisa untuk terus melangkah dalam meniti jalan kebenaran, kesabaran dan kebaikan. Jangan lalai sedikitpun untuk berbuat, berjuang dan bertarung untuk kebenaran dan kebaikan. Buktikan bahwa kau tidak sia-sia diciptakan Tuhan di dunia ini untuk menjadi hamba-Nya.

Manfaatkan kehidupan ini sebelum kematian yang pasti tiba menghampiri siapa saja. Termasuk dirimu yang bukan siapa-siapa. Matikanlah dirimu sebelum kematian yang sesungguhnya tiba. Matikan ambisi nafsu jahatmu. Matikan perbuatan-perbuatanmu yang membuat orang lain dan alam semesta dapat menjadi rusak binasa.

Manfaatkan lima perkara sebelum lima perkara, masa mudamu sebelum masa tuamu, kesehatanmu sebelum sakitmu, kecukupanmu sebelum engkau miskin, waktu luangmu sebelum kesibukanmu, kehidupanmu sebelum kematianmu. (HR. Al-Hakim)

Pesan Jalaluddin Rumi: Di dunia ini kau berpakaian dan menjadi kaya, tapi bila kau keluar dari dunia ini, bagaimana jadinya kau? Belajarlah berdagang yang akan memberimu pengampunan. Di akhirat juga ada lalu lintas dan perdagangan. Di samping penghasilan, dunia hanyalah permainan. Seperti anak-anak berpelukan dalam hubungan fantasi, atau membuka toko manisan, dunia ini adalah sebuah pertandingan. Malam tiba, dan si anak pulang kelaparan, tak dengan teman-teman.

Selamat tahun baru 2021. Semoga kita peluk cahaya dalam kesadaran yang sesadar-sadarnya. Amin. ***

(Pernah dimuat di lamanriau.com pada 25/12/2020)

Semesta 2021

Oleh Griven H. Putera

 2021 sudah diinjak semesta. 2020 telah telah lewat, sudah menjadi lipatan kenangan. Ya, di 2020, yang baik diingat selalu, yang buruk jadikan pelajaran untuk menapaki esok yang entah berapa lama dihirup. Entah satu hari, dua hari atau sampai umurmu di ujung tahun. Yang jelas, anggaplah ini hari merupakan masa terakhirmu, saatmu terakhirmu untuk melakukan yang terbaik dalam segala aktivitas.

Bagi seorang mukmin maka selalulah menambah rasa takut akan azab Tuhan dan meningkatkan segala amal yang bermanfaat sebagai defosito dalam perjalanan panjang yang tak terpermanai. Selain itu tingkatkan rasa harap akan ampunan Ilahi atas semua silap dan salah di masa lampau. Segeralah kembali. Segeralah rengkuh dan peluk cinta Ilahi. Segeralah bertaubat atas semua sikap yang melawan kehendak Rabbi dan hati nurani selama ini. Buang penyakit diri berupa keangkuhan, kedengkian, kebencian, kesewenang-wenangan serta kebatilan lainnya.

Segeralah berupaya menjadi manusia yang berpikiran dan berwawasan panjang serta luas. Bahwa hidup di dunia bukan akhir dari sebuah perjalanan insan. Ini masa, baru sebagian trip dari beberapa trip lain yang lebih terjal, curam, kelam dan mencemaskan. Bila di trip ini dirimu gagal, maka di trip berikutnya juga akan melalui jalan licin, hitam dan berlubang serta membahayakan yang membuat engkau menyesal tak bertepi. Jangan sampai tenggelam. Jangan sampai karam. Jangan ada penyesalan di akhir. Sekali lagi bertakwalah kepada-Nya karena Ia Mahatahu segala apa yang engkau lakukan di dunia ini. Dan jangan alpa bahwa semua yang dirimu perbuat akan dipertanggungjawabkan di hadapan-Nya karena dirimu telah diangkat menjadi khalifah fi al-ardh.

Hai orang-orang beriman, bertakwalah kepada Allah dan hendaklah setiap diri memerhatikan apa yang telah diperbuatnya untuk hari esok  (akhirat); dan bertakwalah kepada Allah, sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan. (Q.S: Al-Hasyr: 18)

Evaluasi imanmu, jangan sampai hatimu dimasuki syirik kepada Allah Swt. Jangan sampai engkau bertuhankan nafsumu, atasanmu, hartamu, jabatanmu, atau mungkin istri dan anakmu, Islammu juga dikoreksi,. Sudahkah rukun Islam mampu kau kerjakan sempurna dengan ikhlas dan sepenuh hati serta sesuai dengan tuntunan Rasulullah Saw? Ihsanmu. Ya, ihsanmu, sudahkah kau betul-betul merasa Tuhanmu melihat dan memperhatikan semua gerak-gerikmu? Jika dirimu tak tak dapat melihat Tuhanmu, pastilah Tuhanmu melihatmu. Pasti.

Selama engkau hidup jangan lupa diri. Engkau ini seorang hamba, seorang budak, seorang pelayan Tuhan-Mu. Engkau itu ‘abdullah. Tidaklah Aku ciptakan jin dan manusia kecuali untuk menyembah-Ku (menjadi abdi-Ku). Demikian pesan Ilahi dalam Alquran Surat Al-Dzariyat ayat 56 buatmu. Untuk itu, Jadilah hamba yang baik. Jadilah pelayan yang prima. Jangan mendurhaka. Jangan berbuat semena-mena. Ingat, pada dirimu tempatnya dhaif dan papa.

Wahai muda kenali dirimu/ ialah perahu tamsil tubuhmu/ tiadalah berapa lama hidupmu/ ke akhirat jua kekal diammu. Itulah syair Hamzah Fansury buatmu. Kau camkan itu. Kau renungkan itu.

Simak lagi pesan Hamzah ini: Lengkapkan pendarat dan tali sauh/ derasmu banyak bertemu musuh/ selebu rencam ombaknya cabuh/ la ilaha illallahu akan tali yang teguh//… Wujud Allah nama perahunya/ ilmu Allah akan dayungnya/ iman Allah nama kemudinya/ yakin akan Allah nama pawangnya.

Ketika engkau berlayar di lautan kehidupan  ini jangan pernah lalai. Ombak, gelombang, badai, batu karang ada di setiap nadimu, untuk itu berhati-hatilah. Kata pantun Melayu yang ditulis Tenas Effendy: Pandai-pandai mencari akar/ karena rotan banyak onaknya/ pandai-pandai pergi berlayar/ karena lautan banyak ombaknya.

Tahun 2020 telah meninggalkan sejumlah kenangan bagimu. Pahit, manis, asam, masin, payau telah kau cecap. Belajarlah dari semua itu. Belajarlah untuk memperbaiki diri di 2021 ini. Jika dikau resah dan risau dengan berbagai kejadian yang engkau saksikan di televise, di gadjet, dan dunia maya. Yang kau dengan dari radio dank au baca dari media cetak. Maka matikan sejenak televisimu, off –kan sementara hp dan gadjetmu. Lipat dan simpan koran serta majalahmu. Renunglah. Tafakkurlah. Ingat Tuhan-Mu. Sebut nama-Nya dalam galau dan risaumu. Ingat diri-Nya dalam termangumu. Kembalilah engkau menyapa-Nya dengan khusyu’ dan tawadhu’, dengan bersepi-sepi, bersunyi-bersunyi, dan tengadahkan wajahmu ke langit. Tampungkan tanganmu. Merintihlah dalam hina kepada-Nya. Mintalah petunjuk-Nya menghadapi zaman yang penuh katidak pastian dan ketidak menentuan ini. Yakinlah dengan seyakin-yakinnya, bahwa Dialah sebaik-baik pemberi petunjuk.

Seperti dirimu, daku juga sedang termenung, tersadai, luruh dalam diam, mencari jawab segumpal pertanyaan. Di antaranya; apakah hidupku ini tak lebih daripada makhluk Ilahi yang lain? Sudahkah daku menjadi al-insan yang al-hayawan al-natiq? Atau barangkali baru setakat al-hayawan? Yang hanya memikirkan naluri badaniyah dan mengenyampingkan potensi ruhaniyah? Kalau hanya itu, celakalah badan. Sungguh terhinalah diri. Yang dari tanah ‘kan kembali ke tanah, ia akan lapuk dan  busuk. Sementara yang datangnya dari ruh Ilahi ‘kan pulang ke haribaan-Nya.

Akan tetapi daku tetap berharap, Tuhanku yang Mahakasih memanggilku nanti: Wahai jiwa yang tenang. Kembalilah kepada Tuhanmu dengan hati yang puas lagi diridhai-Nya. Maka maasuklah ke dalam jamaah hamba-hamba-Ku. Masuklah ke dalam surge-Ku. (QS: Al-Fajr: 27-30)

Ya, semoga Dia yang al-Rahman dan al-Rahim memanggil daku dan dirimu dengan senandung yang indah itu di akhir hayat kita. Semoga kita raih ridha-Nya. Amin.

Wallahu a’lam.***


(Pernah dimuat di lamanriau.com pada 01/01/2021)

Tahu?

Oleh Griven H. Putera 

TAHU di sini bukan tahu dan tempe yang kini sulit diproduksi karena melambungnya harga kedelai di negara ini. Bukan. Sungguh bukan itu. Tapi tahu (pengetahuan) yang mestinya dimiliki semua manusia dalam rangka menutupi ketidaktahuannya.

Kewajiban menuntut dan menimba ilmu pengetahuan itu sejak lahir hingga hayat berakhir. Wajib bagi semua orang, tidak lelaki, tidak perempuan, tidak anak kecil, tidak pula orangtua, tidak kulit putih, tidak pula kulit hitam maupun sawo matang. Semua punya kewajiban untuk menambah ilmu dan wawasan.

Di zaman serba sulit sekarang, terasa nian pengetahuan amat berguna untuk menemukan solusi dari berbagai persoalan yang kian lama semakin menggelisahkan. Untuk itulah banyak sekali ayat Alquran dan hadits Nabi Muhammad Saw memotivasi manusia agar memiliki dan menguasai pengetahuan. Di samping untuk memudahkan kehidupan atau mencapai hidup sejahtera di dunia, ilmu pengetahuan, terutama dituntut dan dipelajari agar diri yang kecil tahu Diri Yang Besar (Ilahi). Dengan tahu itu, maka semakin kenal dia pada Yang Kuasa, Sang Pemilik ilmu sejati (Al-‘Alim).

Oleh karena kecendrungan manusia selalu lupa diri, sehingga berbuat rendah seperti angkuh, congkak, sombong atau jumawa karena kekuasaan dan kecanggihan pengetahuannya, maka pengetahuan yang bersumber dari Al ‘Alim itu diharapkan membuat ia takut kepada Tuhan yang Al-’Alim tersebut. Digariskan dalam Alquran bahwa hanya ulama (ilmuan) yang takut kepada Rab-nya. Innama yakhsya Allahu min ‘ibadihi al-‘ulama. (Q.S. Fathir: 28).

Semakin banyak tahunya manusia, maka akan semakin banyak pula tak tahunya pada keluasan ilmu Tuhannya. Semakin luas pengtahuannya, semakin ia merasa kecil dan tak berarti di hadapan Rabnya. Di ujung tahunya, ia menjadi tidak tahu. Di puncak ketidaktahuannya, di situ ia tahu bahwa Tuhannya pasti tahu. Maka semakin bukan apa-apa dia. Semakin takut dan kagum ia pada Tuhannya.

Wabah covid 19 yang belum reda membuat ilmuan beriman, terutama dalam dunia kedokteran, merasa kecil dan bukan siapa-siapa. Kematian akibat wabah tak dapat dicegah dengan ilmu dan teknologi kedokteran. Vaksinasi yang dicanangkan baru setakat usaha preventif yang barangkali belum dapat menyelesaikan segala persoalan. Akhirnya, siapa yang mampu menyelesaikan? Siapa yang benar-benar dapat menyelamatkan? Wah, di keluasan kekuasaan ilmu Ilahi, beta siapa cuma?

Surat Al-‘Alaq 1- 5 yang dipercaya sebagai Ayat-ayat yang pertama diturunkan dalam Alquran sesungguhnya memotivasi umat manusia agar senatiasa membaca, mengamati, meneliti dan memahami realitas Tuhan dan alam semesta. Sebagai makhluk termulia dan tersempurna (ahsan takwim), manusia dipercaya menjadi khalifah fi al-ardh. Agar ia sukses menjalankan amanah sebagai pemimpin semesta maka ia mesti memiliki pengetahuan tentang semesta.

Atas motivasi wahyu dan panggilan jiwa itulah para ilmuan muslim dalam sejarah dunia menjadi inspirator dalam pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi. Sebut saja misalnya Al-Farabi, Ibnu Sina, Ibnu Khaldun, Al-Khawarizmi, Ibnu Arabi (sekadar menyebut beberapa nama). Mereka menyadari bahwa kedudukan penimba ilmu atau ilmuan begitu tinggi, ia dapat dipandang sebagai mujahid atau jendral di gelanggang perang suci, juga bisa dipandang sebagai pewaris tahta kenabian. Sungguh tinggi dan mulia rupanya menjadi ulama atau ilmuan tersebut.

Ilmu itu muncul dari kekuasaan Ilahi dan akan dianugerahkan kepada hamba-hamba-Nya yang pantas menerima nur-Nya. Hamba yang pantas itu merupakan makhluk yang berusaha meninggalkan hal-hal yang kotor, baik prilaku secara fisik maupun metafisik. Ann al-‘ ilma nurun wa nur Allah la yuhda li ‘ash. Demikian ungkap Imam As-Syafii yang termaktub dalam kitab I’anatu al-Tholibin.

Para ilmuan memperoleh pengetahuan melalui usaha kerasnya, baik menggunakan akal atau rasionya maupun dengan panca indranya. Ilmu yang dipelajari tidak hanya dalam bentuk fisik yang bisa dicerap indra akan tetapi juga metafisik yang tak mampu dicerna rasio atau akal.

Ketika ada sesuatu yang tak dapat dirasa, diraba, dicecap, dicium, dilihat, didengar, diamati dan diteliti serta dipikir oleh akal dan panca indra, maka di sinilah wahyu mengambil peran utama. Untuk itu, kepercayaan kepada Kitab menjadi rukun iman.

Hari ini, dunia Islam dalam keprihatinan, di belahan dunia mana pun, mereka seperti dilindas zaman, dipinggirkan kekuasaan, dan termarginalkan dari kegemilangan peradaban, sebagai akibat karena pengetahuan dan teknologi diabaikan dan tidak dikuasai, selain itu, iman kepada Tuhan pun tak sepenuhnya dijalankan dalam bentuk amal perbuatan.

Iman dan ilmu menjadi dua sisi mata uang dalam kehidupan agar memperoleh kejayaan dan kesejahteraan. Setidaknya inilah yang digambar Alquran dalam surat Al-Mujadalah ayat 11… Yarfa’illahu al-lazina amanu minkum wa al-lazina utu al-‘ilma darojat…

Iman tanpa ilmu bagaikan lentera di tangan bayi, namun ilmu tanpa iman bagaikan lentera di tangan pencuri. (Buya Hamka)

Iman dan ilmu menjadi lengkap dan sempurna ketika ia dibuktikan dengan amal. Iman bertaut dengan kasih. Ilmu berkelindan dengan perbuatan nyata. Iman, ilmu dan amal tak dapat dipisahkan jika ingin menjadi insan kamil. Ya, jika ingin menjadi manusia yang tahu kesejatian, amal saleh atau laku nyata yang bajik dan baik menjadi buah dari pohon iman dan ilmu harus dihasilkan. Buah dari iman dan ilmu harus menjadi kado manis bagi alam semesta. Al-‘ilmu bila ‘amalin ka al-syajarati bila tsamarin. Ilmu tanpa amal seperti pohon tak berbuah.

Untuk apa meramu samak/ kalau tidak dengan pangkalnya/ untuk apa berilmu banyak/ kalau tidak dengan amalnya. (Tenas Effendy)

Wallahu a’lam. ***


(Pernah dimuat di lamanriau.com pada 08/01/2021)

Sayang?

 Oleh: Griven H. Putera

KASIH sayang merupakan sifat Ilahi. Prilaku itu sejatinya ditiru para hamba-Nya karena ia mengemban jabatan khalifah di muka bumi.

Di antara 99 Asma al-Husna, kasih dan sayang (Al-Rahman dan Al-Rahim) itu merupakan nama-Nya yang paling dominan setelah nama Allah. Menurut Qurays Shihab, kata Al-Rahman terulang sebanyak 57 kali dalam Alquran, sedangkan Al-Rahim sebanyak 95 kali. Mayoritas ulama menyebut dua kata ini berakar dari kata yang sama yaitu kata rahmat. Menurut para ulama, Al-Rahman merupakan sifat kasih Ilahi bersifat umum dan sementara, merupakan bentuk kasih-Nya kepada semua makhluk ciptaan-Nya, termasuk manusia yang ingkar kepada-Nya sekalipun. Kasih itu hanya mereka peroleh ketika hidup di dunia. Akan tetapi berbeda dengan Al-Rahim yang merupakan kasih sayang Ilahi yang mendalam kepada hamba-Nya yang beriman. Kasih sayang jenis ini akan tetap kekal dan abadi hingga ukhrawi.

Bagaimana caranya agar meraih Al-Rahim Ilahi?

“Sesungguhnya rahmat Allah amat dekat kepada orang-orang yang berbuat baik.” (Q.S. Al A’raf: 56).

Bertolak dari ayat di atas, kunci mendapatkan sayang yang mendalam dari Ilahi adalah dengan cara berbuat ihsan atau menjadi muhsin (orang yang baik). Kata ihsan dapat bermakna sebagai berbuat baik seolah tak berbatas. Dalam Alquran misalnya dikatakan wa bi al-walidaini ihsana: Kepada dua orang tuamu maka berbuat ihsanlah. Hal ini dapat dilihat dan dihubung-kaitkan pada perintah Allah dalam ayat lain, yaitu waqul lahuma qaulan karima. (Berkatalah kepada kedua orangtuamu dengan ucapan yang sangat mulia). Kata karima itu merupakan sifat dan nama Tuhan yang bermakna sangat mulia. Artinya, seorang anak mesti memperlakukankan orang tua mereka dengan tindakan “sangat mulia”, yaitu di atas mulia biasa.


Kenapa kebaikan kepada orang tua mesti ihsan (kebaikan seolah tak berbatas)? Karena kasih mereka kepada anak-anak mereka juga ihsan. Itu telah dibuktikan mereka. Bukankah kebaikan kedua orangtuamu kepadamu seolah tanpa tepi? Mereka rela tidak menyuap nasi hingga kenyang demi anak-anaknya agar tidak kelaparan? Mereka rela hidup dalam kesederhanaan bahkan dalam kekurangan dan keprihatinan agar suatu ketika dirimu menjadi kaya, terhormat dan terpandang?


Di antara penyebab kenapa tak boleh durhaka kepada kedua orang tua karena besar mudaratnya bila kasih yang tulus dikhianati. Cinta dan sayang kedua orang tua kepada anaknya amatlah tulus dan seolah tak berhingga. Untuk itu jaga ketulusan itu dengan ketulusan dan kebaikan tanpa batas juga.

Jika ingin memperoleh Al-Rahim-Nya, perlakuan ihsan (baik seolah tak berbatas atau sayang seumpama tak berhingga) ini bukan saja kepada kedua orang tua yang melahirkan tapi kepada semua orang yang dipandang tua, baik umur maupun akhlak mereka, bahkan berbuat ihsan ini mesti dilakukan kepada semua makhluk Ilahi.

Prilaku ihsan juga dapat dipandang sebagai perbuatan baik sebagai balasan dari perbuatan jahat orang lain. Berbuat baik kepada orang yang berlaku baik kepada kita itu merupakan kebaikan biasa. Akan tetapi prilaku baik kepada orang yang berbuat jahat, orang yang menzalimi dan menganiaya kita, itulah perbuatan baik yang sesungguhnya atau yang dikenal dengan istilah ihsan.

Prilaku ihsan ini bukan sesuatu yang utopia. Bukan sebuah cita-cita yang tak tercapai, bukan imajinasi atau hayalan semata. Prilaku agung dan terpuji ini pernah dipraktikkan para nabi dan Rasulullah serta para kekasih-Nya yang lain. Ketika nabi Muhammad Saw dilempari penduduk Thaif dengan batu dan taik unta, beliau malah mendoakan mereka dengan ucapan, “Ya Allah tunjukilah kaumku sesungguhnya mereka tidak mengetahui.”

Tradisi itu juga diikuti para manusia muhsinin lainnya, di antaranya seperti Dzunnun Al-Mishri yang mendoakan manusia yang mengingkari perintah Tuhannya, seperti mabuk-mabuk, lupa diri dalam pesta pora saat berlayar di laut dengan ucapan, “Ya Allah, sebagaimana Engkau telah memberikan orang-orang itu kehidupan yang menyenangkan di dunia ini, beri juga mereka kehidupan yang menyenangkan di akhirat.” Para murid Dzunnun saat itu terkejut, mereka minta Dzunnun mendoakan orang-orang tersesat tersebut agar karam di laut karena berlaku maksiat. Dalam satu riwayat diceritakan bahwa mereka tidak hanya berbuat maksiat akan tetapi juga mengejek Dzunnun dan murid-muridnya yang sibuk berzikir saat berlayar.

Dzunnun malah mendoakan mereka agar memperoleh kebaikan. Dan pada akhirnya semua kisah itu menjadi happy ending ketika orang-orang mabuk dunia itu melihat wajah Dzunnun dari dekat, hati mereka tergerak untuk bertobat.

Adakah yang mau mengikuti jejak mulia Nabi Muhammad Saw dan Dzunnun Al-Mishri ini?

Kata ihsan dapat pula bermakna sembahlah Allah seolah-olah kamu melihat-Nya. Seandainya kamu tidak melihat-Nya, sesungguhnya Dia melihatmu. Ini sesuai dengan hadits Nabi Muhammad Saw tentang Iman, Islam dan Ihsan yang juga termaktub dalam kitab Al-Arba’in Al-Nawawiyah, yaitu kitab yang tipis halamannya namun amat tebal dan bernas kandungannya.

Artinya jika ingin mendapatkan Al-Rahim Ilahi maka sadari bahwa apa yang dilakukan di dunia ini selalu dalam pengawasan-Nya. Selalulah muraqabah. Selalu merasa diintai, diawasi dan direkam setiap ucapan dan tindakannya oleh Dia yang Maha Melihat (Al-Bashir). Semua rekaman itu suatu ketika akan diperlihatkan kembali dan akan diminta pertanggung jawaban. Jika kesadaran itu muncul kini dan di sini, tentu saja berimplikasi pada perbuatan baik, bajik dan bijak yang selalu ditabur, disemai dan diimplementasikan setiap manusia dalam hidupnya.

Secara umum, jika ingin memperoleh sayang kasih Ilahi yang sekasih-kasihnya itu maka seorang hamba mesti melakukan semua perbuatan yang diperintah Ilahi sedaya upayanya, dan meninggalkan seluruh larangan Tuhannya secara mutlak. Selalu meningkatkan kadar keimanan, keislaman dan keihsanan. Selalu berusaha menyerap sifat-sifat mulia Tuhan, dan meniru serta mengaplikasikannya dalam kehidupan, termasuk Al-Rahman dan Al-Rahim. Jadilah ‘Abd Al-Rahman (hamba Yang Pengasih) dan ‘Abd Al-Rahim (hamba Yang Penyayang).

Wallahu a’lam.

(Pernah dimuat di lamanriau.com pada 15/01/2021)

Sakit Hati?

Griven H. Putera

Sakit Hati?

Di dalam hati mereka ada penyakit. “fi qulubihim maradh”. Demikian Alquran menegaskan. Akan tetapi karena keadilan-Nya, kata nabi Muhammad Saw; likulli da in, dawa un... setiap penyakit ada obatnya.

Semua orang tak mau sakit. Mereka ingin selalu sehat sepanjang waktu, akan tetapi sakit tak dapat dielakkan,  ia tetap akan terus datang, datang dan datang karena tak ada arti rasa sehat kalau tak pernah merasa sakit. Rasa sakit tetap akan ada selama alam dunia masih dicecah, selama bumi masih dianjak dan langit sebagai payungnya.

Kebanyakan manusia sangat risau dengan penyakit yang menimpanya, terutama penyakit lahiriah. Mereka akan berusaha mengobatinya sehabis daya dan upaya. Tak berkira lagi dengan tenaga, waktu, uang dan pengorbanan lainnya habis dan luncai demi kesembuhan. Mereka lupa ada penyakit yang lebih berbahaya daripada sakit mata, sakit telinga, sakit perut, sakit kepala dan berbagai macam penyakit lainnya, yang membuat mereka runsing tak bertepi. Penyakit yang amat membahayakan itu adalah penyakit hati, yang semestinya lebih mereka takuti dan risaukan, lebih mereka bersusah payah mencari oabatnya daripada penyakit jasmani yang menimpa, karena sumber segala penyakit jasmani itu sesungguhnya berasal dari hatinya, dari ruhaninya.

Kerisauan hati membuat orang mengidap banyak penyakit lahiriyah. Lagi pula, penyakit lahir akan lenyap ketika tubuh bersatu dengan tanah, ketika nyawa berpisah dari raga. Bahkan penyakit lahiriah juga dapat menggugurkan dosa-dosa. Sebaliknya penyakit batin atau penyakit hati akan terus menggerogoti manusia jika tak segera diobati walaupun ia telah mati karena sakit itu akan berpengaruh bagi kehidupan selanjutnya.

Iyyakum wa al-hasad, fa innahu ya’kulu al-hasanat kama ya’kulu al-nar al-khatab. (HR. Abu Dawud). Jauhi sifat hasad karena sifat itu sesungguhnya memakan kebaikan-kebaikan seperti api yang melahap kayu kering.

Tak ada arti kebaikan yang pernah dilakukan ketika dalam diri dijangkiti penyakit ruhaniyah tersebut. Semua prilaku baik akan terkikis. Semua akan luncai, licin bagaikan debu di atas batu yang ditimpa hujan. Ia ‘kan hilang. Arang habis besi binasa. Berbuat begitu banyak amal tapi tak bernilai apapun karena menyimpan penyakit berbahaya yaitu al-hasad.

Apa obatnya?

Pertama, mengingat-Nya. Ala bizikrillah tathmainn al-qulub. (Q.S. 13: 28). Ingat, dengan berzikir kepada Allah hati akan tenteram. Ayat ini berada dalam surat al-Ra’d yang bermakna halilintar atau petir. Apa yang terbayang ketika melihat atau mendengar petir menggelegar?

Apa itu zikir? Bisa berarti menyebut dapat pula bermakna mengingat. Menyebut kalimat-kalimat yang baik, seperti subhanallah, alhamdulillah, allahu akabar, la ilaha illallah, dan lain-lain. Bagaimana mengingat Allah? Di antaranya dengan mengingat zat-Nya, mengingat dan memahami kebesaran-Nya, mengingat azab-Nya, mengingat nikmat-Nya.  Menurut para ulama, zikir dapat dilakukan dengan lidah juga bisa dengan hati.

Kedua, dengan berdoa, wazkur robbaka fi nafsika tadharruan wakhifatan wa dun al-jahri minal qaul: bi ai-ghuduwwi wa al-ashal wala takun min al-ghafilin... Dan sebutlah (nama) Tuhanmu dalam hatimu dengan merendahkan diri dan rasa takut, dan dengan tidak mengeraskan suara, di waktu pagi dan petang, dan janganlah kamu termasuk orang-orang yang lalai. (Q.S. 7: 205)

Bangunlah tengah malam. Dirikan tahajjud. Sebelum itu lihat wajah anak dan istri dengan teliti. Merenunglah. Apakah mereka telah sejahtera selama ini bersama kita dalam ridha-Nya? Apakah kita akan bersatu kembali dengan mereka saat sudah kembali ke hadirat Ilahi, atau kita bersama saat hidup di dunia ini semata? Berdoalah kepada Allah agar diselamatkan di dunia dan akhirat. Berdoalah agar disembuhkan dari penyakit hati, terutama hasad.

Ketiga, bacalah Alquran karena ia juga disebut al-zikr/zikir. Inna nahnu nazzalna al-zikra wa inna lahu lahafizun: (Q.S. 15:9). Alquran itu merupakan obat yang paling mujarab. Wanunazzilu min al-qurani ma huwa syaifa un warahmatun li al-mukminin wala yazidu al-zalimina illa khasara: "Dan Kami turunkan dari Alquran suatu yang menjadi penawar dan rahmat bagi orang-orang yang beriman." (QS. 17: 82)

Keempat perbanyak shalat. Karena kata para ulama, puncak zikir itu ada dalam pelaksanaan ibadah shalat. Innani anallahu la ilaha ila ana fa’budni wa aqimu al-sholata lizikri: Sesungguhnya Akulah Allah. Tidak ada tuhan, melainkan Aku. Oleh karena itu, sembahlah Aku, dan dirikanlah shalat, untuk mengingat Aku. (Q.S Thaha 20:14)

Saya, tuan, puan serta encik-encik sekalian, mari segera berobat. Mari sembuhkan hati yang sakit. Mari.

Wallahu a’lam.


(Tulisan ini pernah dimuat di lamanriau.com pada 22/01/2021)