Griven H. Putera
Kritik?
Kritik
merupakan proses analisis dan evaluasi terhadap sesuatu dengan tujuan untuk
meningkatkan pemahaman, memperluas apresiasi, atau membantu memperbaiki
pekerjaan. Kritik berasal dari bahasa Yunani kritikos yang berarti "dapat didiskusikan". Kata kritikos diambil dari kata krenein yang berarti memisahkan,
mengamati, menimbang, dan membandingkan. Demikian yang saya kutip dari
Wikipedia.
Secara umum,
orang membagi kritik dua macam, yaitu konstruktif (yang membangun) dan
destruktif (yang merusak). Bagi yang dikritik, awalnya baik bersifat
konstruktif maupun desruktif, keduanya sama-sama terdengar menyakitkan. Pada
dasarnya semua manusia ingin dipuji bukan dikritik. Untuk itu setiap kritik
selalu menyakitkan pada awalnya.
Namun
pengetahuan dan pengalaman hidup membuat orang mengerti bahwa kritik amat
diperlukan, amat dibutuhkan, baik untuk diri pribadi maupun bagi suatu
kelompok, baik untuk masyarakat biasa maupun penguasa karena pada kritik akan
menghasilkan sesuatu amat baik yang menuju kesempurnaan.
Manusia yang
anti kritik akan hidup stagnan. Ia merasa sudah berjalan jauh tapi ternyata tak
lebih dari si pandir yang jongkok, melihat ladang dari bawah selangkangannya
karena yang ia lingat adalah langit yang membentang di atas sana. Ia melihat
langit setengah menelentang. Ia hanya merasa besar dan benar sendiri sehingga
yang diperolehnya hanya kesenangan dan kepuasan semu. Ia lupa bahwa ukuran
panjang dan jauhnya perjalanan, luas atau sempitnya hasil yang ia kerjakan
diukur dari meteran. Meteran merupakan salah satu alat ukur. Dan itu merupakan
sesuatu yang berada di luar dirinya.
Pandangan
orang lain terhadap diri kita merupakan meteran. Yang mengukur baju kita adalah
tukang jahit dengan meterannya. Jangan ukur diri kita dengan ukuran-ukuran
kita. Kita boleh berharap baju kita sesuai dengan yang kita inginkan akan
tetapi yang mengukur dan melihat sisi indah dan selesanya pakaian dikenakan
tetap melibatkan orang lain. Dan akhirnya, orang lain juga yang menilainya.
Kita tak dapat menutup mulut orang seperti menutup mulut tempayan. Mulut
manusia dinamis karena hidup, bergerak, sementara mulut tempayan tetap tertutup
akalu tidak dibuka oleh orang lain.
Kritik
seumpama obat bagi pasien. Ia pahit tapi dapat menyembuhkan jika sabar
menelannya. Ia bagaikan cambuk bagi kuda untuk kencang berpacu dalam berlari.
Manusia anti kritik sebenarnya merupakan insan yang menyalahi kodratnya sebagai
tempat salah dan lupa karena pada dirinya himpun pepat dhaif dan papa.
Akan tetapi
bagi seorang kritikus, tentunya menyadarai bahwa kritik punya etika dan
aturannya sendiri. Buat siapa lontaran kritik dialamatkan. Pada masa apa dan di
tempat mana kritik diucapkan. Untuk apa dan berdasarkan apa kritik dinyatakan. Kalau
semua itu diabaikan maka kritik akan melahirkan sesuatu yang meresahkan. Kalau
kritik keluar dari hati yang penuh dengki maka kritik hanya melahirkan kerusakan
dan malapetaka. Bila kritik didasari rasa cinta maka semua akan berakhir
bahagia. Tapi sebaliknya jika kritik dilahirkan karena prasangka membabi buta
maka semua akan sia-sia, bahkan akan berakhir dengan perselisihan, permusuhan
dan perpecahan yang berujung neraka.
Ada tujuh
bentuk komunikasi menurut Ade Muzaini Aziz dalam Alquran yang sejatinya hemat
saya perlu diperhatikan seorang pengritik ketika melontarkan kritikan dan
gagasan-gagasannya: Pertama, sampaikan
kritik dengan perkataan yang baik atau arif (qawlun ma'rufun). Perkataan jenis ini identik dengan kesantunan dan
kerendahan hati. Alquran mensinyalir bahwa mengucapkan qawlun ma'ruf lebih baik
daripada bersedekah yang disertai kedengkian (QS Albaqarah [2]: 263). Kedua, lontarkan kritik ucapan yang
teguh (qawlun tsabitun). Perkataan
ini punya argumentasi yang kuat serta dilandasi keimanan yang kokoh. Tidak ada
keraguan yang menyelimutinya. Kezaliman yang nyata patut dihadapi dengan
perkataan jenis ini (QS Ibrahim [14]: 27).
Ketiga, ucapkan
kritik dengan perkataan yang benar (qawlun
sadidun). Tiada dusta dan kebatilan dalam ucapan ini. Kata sadid berasal
dari sadda yang berarti menutup,
membendung, atau menghalangi. Qawlun sadid yang diucapkan berfungsi untuk
mencegah terjadinya kemungkaran dan kezaliman. Bukti ketakwaan seorang Mukmin
di antaranya gemar mengucapkan perkataan ini (QS Al-Ahzab [33]: 70). Keempat, nyatak kritik dengan ucapan
yang efektif dan efisien (qawlun balighun).
Ini adalah jenis ucapan yang cermat, padat berisi, mudah dipahami, dan tepat
mengenai sasaran alias tidak ngelantur. Tipe perkataan seperti ini akan
berpengaruh kuat bagi pendengarnya (QS Annisa [4]: 63).
Kelima, layangkan
kritik dengan ucapan yang mulia (qawlun
karimun). Ini merupakan tutur kata yang bersih dari unsur kesombongan dan
nada merendahkan atau meremehkan lawan bicara. Terdapat semangat memuliakan,
menghormati, dan menghargai terhadap lawan bicara dalam qawlun karim tersebut (QS Al-Isra [17]: 23). Kata karim bermakna
sangat mulia. Perintah untuk berkomunikasi kepada kedua orangtua dianjurkan
Ilahi dengan komunikasi gaya ini. Keenam, sampaikan kritik dengan ucapan
yang layak dan pantas atau dalam Alquran dengan istilah qawlun maysurun. Maysur arti asalnya adalah yang memudahkan. Ucapan
ini mengandung unsur memudahkan segala kesukaran yang menimpa orang lain, dan
menghiburnya guna meringankan beban kesedihan (QS Al-Isra [17]: 28).
Ketujuh, utarakan
kritik dengan kata dan suara yang lemah lembut dan menyejukkan, yang diitilah
Alquran dengan qawlun layyinun.
Kelembutan diharapkan dapat menundukkan kekerasan, sebagaimana air dapat memadamkan
api. Inilah pesan Allah kepada Nabi Musa dan Nabi Harun ketika keduanya hendak
menghadap Firaun yang lalim (QS Thaha [20]: 44).
Ibnu Taimiyah
dalam al-Fatawa mengatakan, “Wajib
bagi setiap orang yang memerintahkan kebaikan dan mengingkari kemungkaran
berlaku ikhlas dalam tindakannya dan menyadari bahwa tindakannya tersebut
adalah ketaatan kepada Allah. Dia berniat untuk memperbaiki kondisi orang lain
dan menegakkan hujah atasnya, bukan untuk mencari kedudukan bagi diri dan
kelompok, tidak pula untuk melecehkan orang lain."
Sebenarnya
memberi kritik merupakan ibadah jika ditujukan untuk amar makruf nahi munkar
(untuk menegakkan kebenaran dan memerangi kejahatan). Akan tetapi tidak asal
mengritik. Kritik punya etika tersendiri, selain tuju prinsip komunikasi yang
disebutkan di atas, maka perlu juga diperhatikan lagi di antaranya: si
pengritik meniatkan itu semua dalam rangka mengingatkan yang dikritik untuk
berbuat benar, yaitu benar dalam pandang Ilahi. Kemudian, sampaikan kritik
dengan cara, bahasa yang sopan dan kata-kata yang santun. Tengok dan lihatlah
kepada siapa kritik ditujukan. Setelahnya, kritik sejatinya berdasarkan ilmu
bukan perasaan tak berdasar. Dengan ilmu, seorang kritikus akan adil dalam
menilai. Ia tidak akan terbawa dengan nafsu atau pandangan sempit serta keinginan
hawa nafsu. Dengan ilmu dan keadilan dalam menilai maka pandangan dan
kritikannya akan terasa arif. Kearifan merupakan modal dasar bagi seorang
kritikus untuk mengritik sesuatu sehingga kritik dapat melahirkan sesuatu yang
baik demi perubahan ke arah yang lebih baik di masa depan.
Wallahu a’lam.
(Pernah dimuat di lamanriau.com pada 19/02/2021)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar