Selasa, 30 Maret 2021

Rupatku Molek

Oleh Griven H. Putera

Ketapang Beach.

Ke Ketapang lagi? Ya, beta ke Pantai Ketapang lagi. Bahkan bukan hanya ke Ketapang di Kecamatan Rupat saja, kini sampai pula ke Pantai Lapin dan Pantai Pesona, Rupat Utara. Dari Jauh, walaupun langit sedikit berkabut, tugu api (menara suar) di Tanjung Medang sudah membayang. Sayang petang ini belum dapat ke sana. Sungguh belum. Niat hati memang hendak ke situ, hasrat hati bergejolak bagai ombak pasang yang menghempas tebing, dan Sekcam Rupat Utara, Tuan Ahmad Tarmizi memang mengajak ke sana. Tapi, waktu tak dapat dilawan. Petang segera berganti senja. Beta tak dapat pula mengubah rencana semula; bahwa kami akan menikmati senja di Lapin, Rupat Utara. Bermain dengan gelombang sambil bergulat dengan pasir putih yang terentang, memanjang sejauh mata memandang.

Pada siang ba’da Jumat, 30 Oktober 2020 beta bersama keluarga menuju Pulau Rupat, Bengkalis, Riau. Ini merupakan program vocation tahun ini. Bagi beta, ini bukan hanya sekadar perjalanan liburan semata tapi seperti untuk ‘ngecas bateri’. Ya, mengecas bateri kemelayuan. Tol Pekanbaru-Dumai amat berjasa mengantarkan kami cepat dan lekas tiba ke lokasi walaupun badan letih juga karena antrean panjang di roro (roll-on/roll of) Dumai-Rupat. Ya, sungguh melelahkan. Kurang lebih empat jam di tengah kendaraan panjang mengular apa tidak melelahkan dan meresahkan?

No rose without a thorn: tak ada mawar yang tak berduri. Pagi di Pantai Ketapang membuat rasa lelah akibat menunggu antrean dan menelusuri jalan semalam terasa hilang. Langit biru jernih. Angin yang bertiup dari tengah laut membuat perasaan senang nian. Pantai berpasir putih yang dipagari pokok-pokok pinus yang rapi berjajar ini membuat jiwa menjadi damai dan nyaman. Seolah badan tak mau beranjak dari sini. Istriku menemani si kecil kami, Hanan melukis pasir dan membuat istana.

Sementara Fikraneil dan Mursyidan, setelah berlari dan bermain ombak di tepi pantai, mereka pun menaikkan layang-layang yang sengaja mereka bawa dari Pekanbaru. Mereka memang suka bermain layang-layang. Saya berharap, mereka menyukai lenlayang karena ingin naik tinggi. Dan layang-layang naik ke awan karena melawan angin, jika perlu melawan dan menantang badai, dan semoga mereka dalam hidup selalu berusaha begitu.

Selain itu, saya gembira dan bangga. Saya yakin, lenlayang yang dinaikkan mereka suatu ketika akan menginspirasi pengunjung atau pengelola pantai ini untuk menerbangkan layang-layang di pantai yang berangin cukup kencang ini. Bisa saja pantai yang dikelola Pemerintah Desa Sungai Cingam ini akan menjadi tempat Festival Layang-Layang suatu ketika. Atau sebagai ajang kenduri seni sastra, dan event-event lainnya.

Sambil menunggu anak dan istri dengan kegiatan mereka masing-masing, beta pun duduk menyendiri, menghalakan pandang ke samping kanan. Sebuah kantin lengkap dengan toilet sudah berdiri. Di sampingnya aneka tempat bermain anak pun sudah tersedia. Dulu, ketika pertama kali sampai di sini semua tempat itu belum ada. Kemudian kualihkan pandangan ke tengah laut. Sebuah perahu motor tampak terombang ambing dihempas gelombang. Beberapa pengunjung sibuk berkuncah di tepi pantai, menikmati terjangan ombak berbuih putih. Tak jauh dari situ dua banana boat tampak tersadai di atas pasir. Di sampingnya berlalu lalang orang-orang menaiki ATV dan sepeda motor anak. Tak jauh di belakang, di dahan sebatang pinus yang meranggas, seekor gagak bertengger. Celingak-celinguk. Kulihat ia memerhatikan saya. Kubidikkan kamera hp. Agaknya, merasa daku akan memotretnya, burung hitam mengilat yang seperti kehilangan pasangan itu pun kembali mengepakkan sayap. Barangkali ia malu atau juga marah, atau juga kesal. Entahlah. Ia pun terbang menuju ke tengah belukar di belakang pantai. Mungkin burung berbulu lincap dan bersuara lantang itu sedang galau. Mungkin.

Saat matahari hampir tercacak di atas kepala, kami pun pulang ke penginapan di Sungai Nyirih. Pada mulanya istri saya tak mau berganjak, ia ingin menikmati matahari tenggelam di sini. Tapi akhirnya ia mengalah setelah kuyakinkan, bahwa Pantai Lapin juga punya pesona yang tak kalah memukau daripada pantai ini.

Pantai Lapin.

Jalan dari Pangkalan Nyirih ke Desa Tanjung Punak, tempat Pantai Lapin tak sejauh dan separah dari roro ke Sungai Nyirih. Tak sampai satu jam mobil kami sudah tersergam di bibir pantai. Dugaanku tidak meleset. Robbana ma khalaqta haza bahtila… Pantai ini memang memiliki pesona yang luar biasa. Panjang pantai pasir putih berpagar pohon-pohon pinus ini sungguh memukau. Ini bagai lempengan mutiara surga yang terjatuh ke bumi Riau. Pemandangan di sini semakin tak terkatakan suasananya kala petang dengan tersergamnya sebuah jembatan dermaga tak sudah, yang menjura ke tengah laut. Tiang-tiang yang mencancang mengingatkan saya bahwa pembangunan di Riau ini sedang terbengkalai. Ya, bukan hanya di sini tapi juga di tempat lain. Kini Riau memang sedang terbengkalai. Riau mesti terus berbenah.

Tak begitu lama di sini, beta pun berjumpa senior saat kuliah sekitar duapuluh tahun lalu. Rupanya ia pejabat kini, Sekcam Rupat Utara. Setelah berbincang sejenak ihwal pembangunan Rupat Utara, terutama tentang pantai-pantainya, kami pun beringsut menuju Pantai Pesona, Desa Teluk Rhu. Pantai yang konon berdepan muka dengan Port Dickson Malaysia. Hari semakin petang, langit kian berkabut, deburan ombak pasang menghantam tebing semakin kuat. Angin semakin kencang. Pantai pesona yang telah berdiri beberapa penginapan yang menjulur hampir ke bibir pantai ini tak tampak pasir putihnya. Hanya buih ombak yang setiap sekejap memecah tebing yang dipagari batu-batu.

Pak Sekcam pun mengabarkan jika ingin Pulau Beting Aceh dapat bertolak dari sini. Kemudian ia menunjuk menara suar di belah kiri kami. Ia mengajak ke sana. Akan tetapi karena jadwal semula kami untuk menikmati sunset di Pantai Lapin, hajat itu pun terpaksa tak dapat dikabulkan. Rencana kami berjalan sesuai jadwal.

Bukan matahari yang tenggelam di laut akan tetapi rembulan kiranya yang mengapung di Pantai Lapin. Kini ia bagai hampir ditusuk besi-besi dermaga tak sudah yang mencancang bagai duri-duri tembaga yang berdegam di kaki pantai. Pemandangan senja ini menghadirkan kesan lain. Sungguh tak tertuliskan. Tak terlukiskan. Tak terkatakan.

Ombak semakin kuat memecah pantai. Di kejauhan, beberapa pengunjung masih menceburkan diri di atas pasir putih yang tinggal sedikit karena direndam pasang. Membiarkan buih-buih ombak melumuri tubuh mereka. Anak-anakku sudah tak sabar bergelut dengan pasang. Mereka ingin menikmati sapaan gelombang.

Senja dengan bulan sedikit merah ini, kami pun berendam air pasang sambil menanti azan maghrib mengalun. Kami lupa kalau ancaman ubur-ubur beracun saban saat bisa saja tiba. Setelah puas bermain gelombang dan bergolek-gelempang dengan pasir yang menyimpan kerang, kami pun pulang.

Malam sudah hitam. Anak-anakku tampak puas dan gembira sangat. Kendaraan kami pun beringsut menuju musholla di tepi jalan pulang. Seusai maghrib kami teruskan perjalanan ke penginapan. Anak-anakku tidur di belakang. Entah mimpi apa mereka.

Daku bermain dengan pikiran sendiri. Seandainya akses transportasi mudah dan lancar sampai ke Pulau Rupat ini, seandainya di roro penyeberangan tidak terjadi antrean panjang dan melelahkan, seandainya jembatan penyeberangan Dumai-Rupat sudah ada seperti jembatan dari Johor ke Singapura (Malaysia-Singapore Second Link), seandainya ekonomi masyarakat global mulai membaik, seandainya covid-19 sudah pergi, seandainya di setiap pantai ada penginapan dan tempat ibadah, seandainya semua masyarakat sudah menjadi darwis (sadar wisata), seandainya semua pihak peduli, seandainya, seandainya…, maka orang-orang dari berbagai negeri akan himpun-pepat datang kemari, apalagi tol Pekanbaru-Dumai sudah mulus lempang. Akan tetapi itu hanya andai-andai saya. Namun harapan tetap terbentang, Kabupaten Bengkalis sekejap lagi akan memilih kepala daerah baru, semoga yang terpilih nanti dapat memerhatikan secara serius kepingan pulau surga ini. Dan semoga mereka tidak ditangkap orang-orang Jakarta lagi. ***


(Pernah dimuat di lamanriau.com pada 06/11/2020)

Manusia Kursani


Oleh Griven H. Putera

MANUSIA kursani? Ya, manusia kursani. Insan kursani merupakan manusia baja yang sempurna jasmani dan rohaninya. Ia tidak saja sempurna fisiknya tetapi juga tinggi rohaninya.

Hidup di dunia memang serba bertunangan, serba berpasangan. Kadang-kadang pasangannya berlawanan, terkadang berteman. Baik pasangannya buruk. Cantik pasangannya jelek. Malam tunangannya siang. Begitu juga dengan jasmani berpasangan dengan rohani, dan lain sebagainya.

Manusia memiliki dua unsur yaitu jasmani dan rohani. Jasmani memerlukan makanan dan minuman. Memerlukan pakaian dan lain sebagainya. Rohani pun demikian juga adanya. Akan tetapi banyak manusia yang hanya memenuhi kebutuhan jasmaninya dan mengabaikan keperluan rohaninya.

Kalau jasmani memerlukan makanan, pakaian, kendaraan, rumah dan fasilitas lainnya, rohani pun sesungguhnya demikian juga. Manusia mati-matian berusaha untuk memenuhi kebutuhan jasmaninya hingga terkadang tak tentu siang dan malam, tak kenal pagi dan petang, ia terus mencari, mencari dan mencari. Ia berusaha, berusaha dan berusaha.

Demi memenuhi kebutuhan jasmani yang berasal dari tanah dan akan pulang ke tanah itu, ia pun mengabaikan keperluan rohaninya yang bakal kekal dan abadi, tak jarang haram, halal hantam saja. Padahal perbuatan yang menghalalkan segala cara itu merusak rohaninya bahkan dapat membuat rohaninya sekarat. Ia semakin lama semakin haus karena meminum laut hawa nafsu yang tak sudah-sudahnya. Ia timba laut nafsunya hingga ia makin haus dan akhirnya mati dalam laut ambisi akibat hawa nafsu  buruk yang diperturutkan seturut-turutnya. Ia akan mati sebelum kematian yang sesungguhnya tiba. Ya, yang mati itu rasa nikmat ibadahnya, yang bertambah rasa cinta dunia berlebihan dan takut pada kematian. Ya, ia akan semakin hubb a-dunya wa karohiyat al-maut.

Bagaimana mungkin kalbu akan bersinar, sedangkan bayang-bayang dunia masih terpampang di cerminnya? Bagaimana mungkin akan pergi menyongsong Ilahi, sedangkan ia masih terbelenggu nafsunya? Bagaimana mungkin akan bertamu kehadiratNya sedangkan ia belum bersuci  dari kotoran kelalaiannya? Bagaimana mungkin diharapkan dapat menyingkap berbagai rahasia, sedangkan ia belum bertobat dari kekeliruannya. (Ibnu ‘Athoillah al-Iskandari) 

Kalau makanan jasmani adalah nasi, lauk dan sejumlah makanan lainnya, makanan rohani adalah ibadah kepada Allah Swt. Kesempurnaan ibadah ditunjang oleh iman, ilmu dan amal saleh. Jika semakin banyak ibadahnya, maka semakin kenyang rohaninya. Semakin tinggi derajatnya di sisi Allah Swt dan makhluk ciptaan-Nya.

Kata Jalaluddin Rumi: Orang makin memerhatikan dunia materi, dia akan makin terlena terhadap dunia rohani. Apabila jiwa kita sudah terlena di depan Tuhan, yang lain, yang tak terlena mendekati pintu rahmat Ilahi.

Menuju manusia kursani mesti semakin meningkatkan iman dengan cara semakin lama semakin menyempurnakan segala yang diperintahkan Ilahi dan meningglkan semua larangan-Nya. Mengikuti perintah-Nya sekuat kemampuan. Meninggalkan larangan-Nya mutlak sepenuhnya, bukan sekuat daya upaya.

Menurut Ali bin Abi Thalib kw, iman adalah ucapan dengan lidah, kepercayaan yang benar dengan hati, dan perbuatan dengan anggota badan. Ia baru disebut mukmin sejati ketika  memiliki rasa takut kepada Allah Swt; khusyuk melaksanakan shalat; senang mendengar dan membaca kalam Ilahi; menunaikan zakat, infak, wakaf dan sedekah; meneladani rasul; bertawakkal; selalu bersyukur; serta memiliki akhlak yang terpuji.

Niscaya Allah akan meninggikan orang-orang beriman di antaramu, dan orang-orang yang diberi pengetahuan beberapa derajat… (Q.S: Al-Mujadalah: 11)

Selain meningkatkan ibadahnya, menuju manusia kursani juga perlu meningkatkan ilmu pengetahuan, memperluas wawasan dan pengalamannya. Baik pengetahuan dan wawasan untuk memenuhi jasmaninya maupun untuk menyempurnakan rohaninya.

Man arada al-dunya fa ‘alaihi bi al-’ilmi waman arada al-akhirah fa ‘alaihi bi al-‘ilmi waman arada huma fa ‘alaihi bi al-‘ilmi: siapa yang ingin dunia maka dengan ilmu, siapa yang ingin akhirat dengan ilmu, siapa yang ingin kedua-duanya juga dengan ilmu.

Agar memperoleh ilmu Allah Swt yang luas tak berbatas diperlukan menjauhi kemaksiatan atau kejahatan dan keburukan. Al ‘ilmu nurun wa nur Allah la yu’thi / la yuhda li al-’ashi: ilmu pengetahuan itu cahaya, dan cahaya Allah tidak akan dianugerahkan atau ditunjukkan kepada orang yang berbuat maksiat.

Ali bin Abi Thalib kw bertutur: Seluruh orang berilmu celaka, kecuali yang mengamalkan ilmunya; seluruh orang beramal celaka, kecuali yang ikhlas dalam beramal.

Kesempurnaan iman dan ilmu baru lengkap pepat jika dibuktikan dengan amal saleh atau perbuatan baik dan bajik di tengah kehidupan. Jika sudah begitu maka sudah menjadi manusia kursanilah dia. Ya, mungkin begitulah.

Demi masa, sesungguhnya manusia dalam kerugian kecuali orang-orang yang beriman dan orang-orang yang  beramal saleh, dan orang-orang yang saling berwasiat dengan kebenaran dan kesabaran. (Q.S: al-‘Ashr: 1-3)

Wallahu a’lam. ***


(Pernah dimuat di lamanriau.com pada 08/12/2020)

Desember Haru

 Oleh Griven H. Putera

DESEMBER haru. Sungguh haru ketika banyak hal terjadi di luar dugaan. Desember tahun ini juga bisa jadi kelabu karena terjadi berbagai peristiwa kelu dan pilu. Ya, kawan jadi lawan, lawan jadi teman. Cinta pun jadi darah. Muntah bisa jadi muah. Semua menyisakan berbagai rasa. Ya, ada yang suka, ada pula yang kecewa. Ada yang kemak, semak dan muak. Ada pula yang merasa bagak dan tegak. Untuk itu renungi pantun ini: Jangan dilurut batang keladi, kalau dilurut banyak miangnya, jangan diturut kehendak hati, kalau diturut banyak malangnya.

Demikianlah hidup. Selalu saja berada di antara dua kutub yang kadang berlawanan, berseberangan, tak jarang pula beriringan. Yang terpenting, semua yang terjadi di masa lalu menjadi pelajaran dan pengajaran untuk hari esok. Jangan terlalu berlebihan. Jangan melampau batas.

Tahun 2020 akan pergi dengan sejumlah rasa dan setumpuk kenangan. Pahit, payau, pedas, asam, manis sama dicecah. Luka dan tawa sama dirasa. Yang pahit dimuntahkan, yang manis jangan tak ditelan. Yang pahit dan pedas jadikan obat, yang manis, asam dan payau jadikan sahabat untuk melangkah ke depan.

Jika diri pernah bergelimang noktah malam, dalam lubang-lubang hitam, maka esok berjalanlah dengan matahari yang selalu membawa cahaya. Jinjing hari esok dengan senyum mentari yang menyinari bilik-bilik gelap kehidupan karena hidup manusia di dunia semakin pendek dan amat terbatas maka manfaatkan untuk memperpanjangnya dengan kebaikan.

Nabi Muhammad Saw berpesan, “Sebaik-baik kalian adalah yang panjang umurnya dan baik amalnya.” (HR. Al-Hakim)

Mari sonsong hari esok dengan kemenangan dan kecemerlangan. Kegemilangan hanya dapat diraih dan dipagut erat dengan menabung amal kebaikan. Usah pikir langkah yang silap di hari lampau. Esok bawa keranjang kebajikan, taburkan ia di sepanjang jalan biar jadi kenangan. Usah pikirkan orang-orang yang bertanam tebu di pinggir bibir dan rebung berduri di hati yang pernah menyakiti sanubarimu. Walau lunglai, berjalanlah. Tapaki hari esok sekuat daya. Pasang niat untuk hijrah. Pasang badan untuk bersabung marwah di gelanggang. Mari bertaruh nyawa untuk jiwa dan mengikut perintah Allah.

Bagimu yang muda lagi kuat kuasa. Gunakan masa muda sebelum tua menghampirimu. Ketika mudalah engkau dapat melakukan segalanya. Selagi tampuk masih bergetah, berusahalah meraih segalanya dengan sekuat daya dan tidak melampaui koridor Allah. Setelah menjadi tua dan renta, engkau hanya dapat mengintipnya dari lubang kecil yang malap cahaya. Untuk itu, jangan lewatkan masa masa mudamu, masa bungamu yang indah dan penuh gelora.

Manfaatkan kesehatan yang ada di jiwa dan badanmu sebelum rasa sakit menderamu. Sebelum engkau tidak berdaya upaya, terkapar dalam merasa serba salah. Gunakan kekayaan, rezeki melimpah titipan Ilahi kepadamu untuk membantu sesama, sebelum kemiskinan itu tiba. Sebelum kepakiran itu datang. Ya, sebelum kau tak memiliki apa-apa, dan memakai apa-apa. Akan tiba masanya pakaian sutra dan mahalmu akan tinggal, dan kau akan hanya memakai kain putih tak berjahit. Saat kau tak ekslusiv lagi. Saat kau mendelik dengan mata sayu, ketika kau terbaring lemah tak berdaya. Kau akan pulang dalam kesederhanaan. Kau akan kembali dengan pertangung jawaban. Maka sederhanalah dalam hidup. Singikirkanlah sejengkal demi sejengkal, sehasata demi sehasta rasa angkuh yang pernah bermastautin dalam dada. Karena pada saatnya kesombongan itu akan membuat engkau malu dan hina.

Gunakan waktu yang tersisa untuk terus melangkah dalam meniti jalan kebenaran, kesabaran dan kebaikan. Jangan lalai sedikitpun untuk berbuat, berjuang dan bertarung untuk kebenaran dan kebaikan. Buktikan bahwa kau tidak sia-sia diciptakan Tuhan di dunia ini untuk menjadi hamba-Nya.

Manfaatkan kehidupan ini sebelum kematian yang pasti tiba menghampiri siapa saja. Termasuk dirimu yang bukan siapa-siapa. Matikanlah dirimu sebelum kematian yang sesungguhnya tiba. Matikan ambisi nafsu jahatmu. Matikan perbuatan-perbuatanmu yang membuat orang lain dan alam semesta dapat menjadi rusak binasa.

Manfaatkan lima perkara sebelum lima perkara, masa mudamu sebelum masa tuamu, kesehatanmu sebelum sakitmu, kecukupanmu sebelum engkau miskin, waktu luangmu sebelum kesibukanmu, kehidupanmu sebelum kematianmu. (HR. Al-Hakim)

Pesan Jalaluddin Rumi: Di dunia ini kau berpakaian dan menjadi kaya, tapi bila kau keluar dari dunia ini, bagaimana jadinya kau? Belajarlah berdagang yang akan memberimu pengampunan. Di akhirat juga ada lalu lintas dan perdagangan. Di samping penghasilan, dunia hanyalah permainan. Seperti anak-anak berpelukan dalam hubungan fantasi, atau membuka toko manisan, dunia ini adalah sebuah pertandingan. Malam tiba, dan si anak pulang kelaparan, tak dengan teman-teman.

Selamat tahun baru 2021. Semoga kita peluk cahaya dalam kesadaran yang sesadar-sadarnya. Amin. ***

(Pernah dimuat di lamanriau.com pada 25/12/2020)

Semesta 2021

Oleh Griven H. Putera

 2021 sudah diinjak semesta. 2020 telah telah lewat, sudah menjadi lipatan kenangan. Ya, di 2020, yang baik diingat selalu, yang buruk jadikan pelajaran untuk menapaki esok yang entah berapa lama dihirup. Entah satu hari, dua hari atau sampai umurmu di ujung tahun. Yang jelas, anggaplah ini hari merupakan masa terakhirmu, saatmu terakhirmu untuk melakukan yang terbaik dalam segala aktivitas.

Bagi seorang mukmin maka selalulah menambah rasa takut akan azab Tuhan dan meningkatkan segala amal yang bermanfaat sebagai defosito dalam perjalanan panjang yang tak terpermanai. Selain itu tingkatkan rasa harap akan ampunan Ilahi atas semua silap dan salah di masa lampau. Segeralah kembali. Segeralah rengkuh dan peluk cinta Ilahi. Segeralah bertaubat atas semua sikap yang melawan kehendak Rabbi dan hati nurani selama ini. Buang penyakit diri berupa keangkuhan, kedengkian, kebencian, kesewenang-wenangan serta kebatilan lainnya.

Segeralah berupaya menjadi manusia yang berpikiran dan berwawasan panjang serta luas. Bahwa hidup di dunia bukan akhir dari sebuah perjalanan insan. Ini masa, baru sebagian trip dari beberapa trip lain yang lebih terjal, curam, kelam dan mencemaskan. Bila di trip ini dirimu gagal, maka di trip berikutnya juga akan melalui jalan licin, hitam dan berlubang serta membahayakan yang membuat engkau menyesal tak bertepi. Jangan sampai tenggelam. Jangan sampai karam. Jangan ada penyesalan di akhir. Sekali lagi bertakwalah kepada-Nya karena Ia Mahatahu segala apa yang engkau lakukan di dunia ini. Dan jangan alpa bahwa semua yang dirimu perbuat akan dipertanggungjawabkan di hadapan-Nya karena dirimu telah diangkat menjadi khalifah fi al-ardh.

Hai orang-orang beriman, bertakwalah kepada Allah dan hendaklah setiap diri memerhatikan apa yang telah diperbuatnya untuk hari esok  (akhirat); dan bertakwalah kepada Allah, sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan. (Q.S: Al-Hasyr: 18)

Evaluasi imanmu, jangan sampai hatimu dimasuki syirik kepada Allah Swt. Jangan sampai engkau bertuhankan nafsumu, atasanmu, hartamu, jabatanmu, atau mungkin istri dan anakmu, Islammu juga dikoreksi,. Sudahkah rukun Islam mampu kau kerjakan sempurna dengan ikhlas dan sepenuh hati serta sesuai dengan tuntunan Rasulullah Saw? Ihsanmu. Ya, ihsanmu, sudahkah kau betul-betul merasa Tuhanmu melihat dan memperhatikan semua gerak-gerikmu? Jika dirimu tak tak dapat melihat Tuhanmu, pastilah Tuhanmu melihatmu. Pasti.

Selama engkau hidup jangan lupa diri. Engkau ini seorang hamba, seorang budak, seorang pelayan Tuhan-Mu. Engkau itu ‘abdullah. Tidaklah Aku ciptakan jin dan manusia kecuali untuk menyembah-Ku (menjadi abdi-Ku). Demikian pesan Ilahi dalam Alquran Surat Al-Dzariyat ayat 56 buatmu. Untuk itu, Jadilah hamba yang baik. Jadilah pelayan yang prima. Jangan mendurhaka. Jangan berbuat semena-mena. Ingat, pada dirimu tempatnya dhaif dan papa.

Wahai muda kenali dirimu/ ialah perahu tamsil tubuhmu/ tiadalah berapa lama hidupmu/ ke akhirat jua kekal diammu. Itulah syair Hamzah Fansury buatmu. Kau camkan itu. Kau renungkan itu.

Simak lagi pesan Hamzah ini: Lengkapkan pendarat dan tali sauh/ derasmu banyak bertemu musuh/ selebu rencam ombaknya cabuh/ la ilaha illallahu akan tali yang teguh//… Wujud Allah nama perahunya/ ilmu Allah akan dayungnya/ iman Allah nama kemudinya/ yakin akan Allah nama pawangnya.

Ketika engkau berlayar di lautan kehidupan  ini jangan pernah lalai. Ombak, gelombang, badai, batu karang ada di setiap nadimu, untuk itu berhati-hatilah. Kata pantun Melayu yang ditulis Tenas Effendy: Pandai-pandai mencari akar/ karena rotan banyak onaknya/ pandai-pandai pergi berlayar/ karena lautan banyak ombaknya.

Tahun 2020 telah meninggalkan sejumlah kenangan bagimu. Pahit, manis, asam, masin, payau telah kau cecap. Belajarlah dari semua itu. Belajarlah untuk memperbaiki diri di 2021 ini. Jika dikau resah dan risau dengan berbagai kejadian yang engkau saksikan di televise, di gadjet, dan dunia maya. Yang kau dengan dari radio dank au baca dari media cetak. Maka matikan sejenak televisimu, off –kan sementara hp dan gadjetmu. Lipat dan simpan koran serta majalahmu. Renunglah. Tafakkurlah. Ingat Tuhan-Mu. Sebut nama-Nya dalam galau dan risaumu. Ingat diri-Nya dalam termangumu. Kembalilah engkau menyapa-Nya dengan khusyu’ dan tawadhu’, dengan bersepi-sepi, bersunyi-bersunyi, dan tengadahkan wajahmu ke langit. Tampungkan tanganmu. Merintihlah dalam hina kepada-Nya. Mintalah petunjuk-Nya menghadapi zaman yang penuh katidak pastian dan ketidak menentuan ini. Yakinlah dengan seyakin-yakinnya, bahwa Dialah sebaik-baik pemberi petunjuk.

Seperti dirimu, daku juga sedang termenung, tersadai, luruh dalam diam, mencari jawab segumpal pertanyaan. Di antaranya; apakah hidupku ini tak lebih daripada makhluk Ilahi yang lain? Sudahkah daku menjadi al-insan yang al-hayawan al-natiq? Atau barangkali baru setakat al-hayawan? Yang hanya memikirkan naluri badaniyah dan mengenyampingkan potensi ruhaniyah? Kalau hanya itu, celakalah badan. Sungguh terhinalah diri. Yang dari tanah ‘kan kembali ke tanah, ia akan lapuk dan  busuk. Sementara yang datangnya dari ruh Ilahi ‘kan pulang ke haribaan-Nya.

Akan tetapi daku tetap berharap, Tuhanku yang Mahakasih memanggilku nanti: Wahai jiwa yang tenang. Kembalilah kepada Tuhanmu dengan hati yang puas lagi diridhai-Nya. Maka maasuklah ke dalam jamaah hamba-hamba-Ku. Masuklah ke dalam surge-Ku. (QS: Al-Fajr: 27-30)

Ya, semoga Dia yang al-Rahman dan al-Rahim memanggil daku dan dirimu dengan senandung yang indah itu di akhir hayat kita. Semoga kita raih ridha-Nya. Amin.

Wallahu a’lam.***


(Pernah dimuat di lamanriau.com pada 01/01/2021)

Tahu?

Oleh Griven H. Putera 

TAHU di sini bukan tahu dan tempe yang kini sulit diproduksi karena melambungnya harga kedelai di negara ini. Bukan. Sungguh bukan itu. Tapi tahu (pengetahuan) yang mestinya dimiliki semua manusia dalam rangka menutupi ketidaktahuannya.

Kewajiban menuntut dan menimba ilmu pengetahuan itu sejak lahir hingga hayat berakhir. Wajib bagi semua orang, tidak lelaki, tidak perempuan, tidak anak kecil, tidak pula orangtua, tidak kulit putih, tidak pula kulit hitam maupun sawo matang. Semua punya kewajiban untuk menambah ilmu dan wawasan.

Di zaman serba sulit sekarang, terasa nian pengetahuan amat berguna untuk menemukan solusi dari berbagai persoalan yang kian lama semakin menggelisahkan. Untuk itulah banyak sekali ayat Alquran dan hadits Nabi Muhammad Saw memotivasi manusia agar memiliki dan menguasai pengetahuan. Di samping untuk memudahkan kehidupan atau mencapai hidup sejahtera di dunia, ilmu pengetahuan, terutama dituntut dan dipelajari agar diri yang kecil tahu Diri Yang Besar (Ilahi). Dengan tahu itu, maka semakin kenal dia pada Yang Kuasa, Sang Pemilik ilmu sejati (Al-‘Alim).

Oleh karena kecendrungan manusia selalu lupa diri, sehingga berbuat rendah seperti angkuh, congkak, sombong atau jumawa karena kekuasaan dan kecanggihan pengetahuannya, maka pengetahuan yang bersumber dari Al ‘Alim itu diharapkan membuat ia takut kepada Tuhan yang Al-’Alim tersebut. Digariskan dalam Alquran bahwa hanya ulama (ilmuan) yang takut kepada Rab-nya. Innama yakhsya Allahu min ‘ibadihi al-‘ulama. (Q.S. Fathir: 28).

Semakin banyak tahunya manusia, maka akan semakin banyak pula tak tahunya pada keluasan ilmu Tuhannya. Semakin luas pengtahuannya, semakin ia merasa kecil dan tak berarti di hadapan Rabnya. Di ujung tahunya, ia menjadi tidak tahu. Di puncak ketidaktahuannya, di situ ia tahu bahwa Tuhannya pasti tahu. Maka semakin bukan apa-apa dia. Semakin takut dan kagum ia pada Tuhannya.

Wabah covid 19 yang belum reda membuat ilmuan beriman, terutama dalam dunia kedokteran, merasa kecil dan bukan siapa-siapa. Kematian akibat wabah tak dapat dicegah dengan ilmu dan teknologi kedokteran. Vaksinasi yang dicanangkan baru setakat usaha preventif yang barangkali belum dapat menyelesaikan segala persoalan. Akhirnya, siapa yang mampu menyelesaikan? Siapa yang benar-benar dapat menyelamatkan? Wah, di keluasan kekuasaan ilmu Ilahi, beta siapa cuma?

Surat Al-‘Alaq 1- 5 yang dipercaya sebagai Ayat-ayat yang pertama diturunkan dalam Alquran sesungguhnya memotivasi umat manusia agar senatiasa membaca, mengamati, meneliti dan memahami realitas Tuhan dan alam semesta. Sebagai makhluk termulia dan tersempurna (ahsan takwim), manusia dipercaya menjadi khalifah fi al-ardh. Agar ia sukses menjalankan amanah sebagai pemimpin semesta maka ia mesti memiliki pengetahuan tentang semesta.

Atas motivasi wahyu dan panggilan jiwa itulah para ilmuan muslim dalam sejarah dunia menjadi inspirator dalam pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi. Sebut saja misalnya Al-Farabi, Ibnu Sina, Ibnu Khaldun, Al-Khawarizmi, Ibnu Arabi (sekadar menyebut beberapa nama). Mereka menyadari bahwa kedudukan penimba ilmu atau ilmuan begitu tinggi, ia dapat dipandang sebagai mujahid atau jendral di gelanggang perang suci, juga bisa dipandang sebagai pewaris tahta kenabian. Sungguh tinggi dan mulia rupanya menjadi ulama atau ilmuan tersebut.

Ilmu itu muncul dari kekuasaan Ilahi dan akan dianugerahkan kepada hamba-hamba-Nya yang pantas menerima nur-Nya. Hamba yang pantas itu merupakan makhluk yang berusaha meninggalkan hal-hal yang kotor, baik prilaku secara fisik maupun metafisik. Ann al-‘ ilma nurun wa nur Allah la yuhda li ‘ash. Demikian ungkap Imam As-Syafii yang termaktub dalam kitab I’anatu al-Tholibin.

Para ilmuan memperoleh pengetahuan melalui usaha kerasnya, baik menggunakan akal atau rasionya maupun dengan panca indranya. Ilmu yang dipelajari tidak hanya dalam bentuk fisik yang bisa dicerap indra akan tetapi juga metafisik yang tak mampu dicerna rasio atau akal.

Ketika ada sesuatu yang tak dapat dirasa, diraba, dicecap, dicium, dilihat, didengar, diamati dan diteliti serta dipikir oleh akal dan panca indra, maka di sinilah wahyu mengambil peran utama. Untuk itu, kepercayaan kepada Kitab menjadi rukun iman.

Hari ini, dunia Islam dalam keprihatinan, di belahan dunia mana pun, mereka seperti dilindas zaman, dipinggirkan kekuasaan, dan termarginalkan dari kegemilangan peradaban, sebagai akibat karena pengetahuan dan teknologi diabaikan dan tidak dikuasai, selain itu, iman kepada Tuhan pun tak sepenuhnya dijalankan dalam bentuk amal perbuatan.

Iman dan ilmu menjadi dua sisi mata uang dalam kehidupan agar memperoleh kejayaan dan kesejahteraan. Setidaknya inilah yang digambar Alquran dalam surat Al-Mujadalah ayat 11… Yarfa’illahu al-lazina amanu minkum wa al-lazina utu al-‘ilma darojat…

Iman tanpa ilmu bagaikan lentera di tangan bayi, namun ilmu tanpa iman bagaikan lentera di tangan pencuri. (Buya Hamka)

Iman dan ilmu menjadi lengkap dan sempurna ketika ia dibuktikan dengan amal. Iman bertaut dengan kasih. Ilmu berkelindan dengan perbuatan nyata. Iman, ilmu dan amal tak dapat dipisahkan jika ingin menjadi insan kamil. Ya, jika ingin menjadi manusia yang tahu kesejatian, amal saleh atau laku nyata yang bajik dan baik menjadi buah dari pohon iman dan ilmu harus dihasilkan. Buah dari iman dan ilmu harus menjadi kado manis bagi alam semesta. Al-‘ilmu bila ‘amalin ka al-syajarati bila tsamarin. Ilmu tanpa amal seperti pohon tak berbuah.

Untuk apa meramu samak/ kalau tidak dengan pangkalnya/ untuk apa berilmu banyak/ kalau tidak dengan amalnya. (Tenas Effendy)

Wallahu a’lam. ***


(Pernah dimuat di lamanriau.com pada 08/01/2021)

Sayang?

 Oleh: Griven H. Putera

KASIH sayang merupakan sifat Ilahi. Prilaku itu sejatinya ditiru para hamba-Nya karena ia mengemban jabatan khalifah di muka bumi.

Di antara 99 Asma al-Husna, kasih dan sayang (Al-Rahman dan Al-Rahim) itu merupakan nama-Nya yang paling dominan setelah nama Allah. Menurut Qurays Shihab, kata Al-Rahman terulang sebanyak 57 kali dalam Alquran, sedangkan Al-Rahim sebanyak 95 kali. Mayoritas ulama menyebut dua kata ini berakar dari kata yang sama yaitu kata rahmat. Menurut para ulama, Al-Rahman merupakan sifat kasih Ilahi bersifat umum dan sementara, merupakan bentuk kasih-Nya kepada semua makhluk ciptaan-Nya, termasuk manusia yang ingkar kepada-Nya sekalipun. Kasih itu hanya mereka peroleh ketika hidup di dunia. Akan tetapi berbeda dengan Al-Rahim yang merupakan kasih sayang Ilahi yang mendalam kepada hamba-Nya yang beriman. Kasih sayang jenis ini akan tetap kekal dan abadi hingga ukhrawi.

Bagaimana caranya agar meraih Al-Rahim Ilahi?

“Sesungguhnya rahmat Allah amat dekat kepada orang-orang yang berbuat baik.” (Q.S. Al A’raf: 56).

Bertolak dari ayat di atas, kunci mendapatkan sayang yang mendalam dari Ilahi adalah dengan cara berbuat ihsan atau menjadi muhsin (orang yang baik). Kata ihsan dapat bermakna sebagai berbuat baik seolah tak berbatas. Dalam Alquran misalnya dikatakan wa bi al-walidaini ihsana: Kepada dua orang tuamu maka berbuat ihsanlah. Hal ini dapat dilihat dan dihubung-kaitkan pada perintah Allah dalam ayat lain, yaitu waqul lahuma qaulan karima. (Berkatalah kepada kedua orangtuamu dengan ucapan yang sangat mulia). Kata karima itu merupakan sifat dan nama Tuhan yang bermakna sangat mulia. Artinya, seorang anak mesti memperlakukankan orang tua mereka dengan tindakan “sangat mulia”, yaitu di atas mulia biasa.


Kenapa kebaikan kepada orang tua mesti ihsan (kebaikan seolah tak berbatas)? Karena kasih mereka kepada anak-anak mereka juga ihsan. Itu telah dibuktikan mereka. Bukankah kebaikan kedua orangtuamu kepadamu seolah tanpa tepi? Mereka rela tidak menyuap nasi hingga kenyang demi anak-anaknya agar tidak kelaparan? Mereka rela hidup dalam kesederhanaan bahkan dalam kekurangan dan keprihatinan agar suatu ketika dirimu menjadi kaya, terhormat dan terpandang?


Di antara penyebab kenapa tak boleh durhaka kepada kedua orang tua karena besar mudaratnya bila kasih yang tulus dikhianati. Cinta dan sayang kedua orang tua kepada anaknya amatlah tulus dan seolah tak berhingga. Untuk itu jaga ketulusan itu dengan ketulusan dan kebaikan tanpa batas juga.

Jika ingin memperoleh Al-Rahim-Nya, perlakuan ihsan (baik seolah tak berbatas atau sayang seumpama tak berhingga) ini bukan saja kepada kedua orang tua yang melahirkan tapi kepada semua orang yang dipandang tua, baik umur maupun akhlak mereka, bahkan berbuat ihsan ini mesti dilakukan kepada semua makhluk Ilahi.

Prilaku ihsan juga dapat dipandang sebagai perbuatan baik sebagai balasan dari perbuatan jahat orang lain. Berbuat baik kepada orang yang berlaku baik kepada kita itu merupakan kebaikan biasa. Akan tetapi prilaku baik kepada orang yang berbuat jahat, orang yang menzalimi dan menganiaya kita, itulah perbuatan baik yang sesungguhnya atau yang dikenal dengan istilah ihsan.

Prilaku ihsan ini bukan sesuatu yang utopia. Bukan sebuah cita-cita yang tak tercapai, bukan imajinasi atau hayalan semata. Prilaku agung dan terpuji ini pernah dipraktikkan para nabi dan Rasulullah serta para kekasih-Nya yang lain. Ketika nabi Muhammad Saw dilempari penduduk Thaif dengan batu dan taik unta, beliau malah mendoakan mereka dengan ucapan, “Ya Allah tunjukilah kaumku sesungguhnya mereka tidak mengetahui.”

Tradisi itu juga diikuti para manusia muhsinin lainnya, di antaranya seperti Dzunnun Al-Mishri yang mendoakan manusia yang mengingkari perintah Tuhannya, seperti mabuk-mabuk, lupa diri dalam pesta pora saat berlayar di laut dengan ucapan, “Ya Allah, sebagaimana Engkau telah memberikan orang-orang itu kehidupan yang menyenangkan di dunia ini, beri juga mereka kehidupan yang menyenangkan di akhirat.” Para murid Dzunnun saat itu terkejut, mereka minta Dzunnun mendoakan orang-orang tersesat tersebut agar karam di laut karena berlaku maksiat. Dalam satu riwayat diceritakan bahwa mereka tidak hanya berbuat maksiat akan tetapi juga mengejek Dzunnun dan murid-muridnya yang sibuk berzikir saat berlayar.

Dzunnun malah mendoakan mereka agar memperoleh kebaikan. Dan pada akhirnya semua kisah itu menjadi happy ending ketika orang-orang mabuk dunia itu melihat wajah Dzunnun dari dekat, hati mereka tergerak untuk bertobat.

Adakah yang mau mengikuti jejak mulia Nabi Muhammad Saw dan Dzunnun Al-Mishri ini?

Kata ihsan dapat pula bermakna sembahlah Allah seolah-olah kamu melihat-Nya. Seandainya kamu tidak melihat-Nya, sesungguhnya Dia melihatmu. Ini sesuai dengan hadits Nabi Muhammad Saw tentang Iman, Islam dan Ihsan yang juga termaktub dalam kitab Al-Arba’in Al-Nawawiyah, yaitu kitab yang tipis halamannya namun amat tebal dan bernas kandungannya.

Artinya jika ingin mendapatkan Al-Rahim Ilahi maka sadari bahwa apa yang dilakukan di dunia ini selalu dalam pengawasan-Nya. Selalulah muraqabah. Selalu merasa diintai, diawasi dan direkam setiap ucapan dan tindakannya oleh Dia yang Maha Melihat (Al-Bashir). Semua rekaman itu suatu ketika akan diperlihatkan kembali dan akan diminta pertanggung jawaban. Jika kesadaran itu muncul kini dan di sini, tentu saja berimplikasi pada perbuatan baik, bajik dan bijak yang selalu ditabur, disemai dan diimplementasikan setiap manusia dalam hidupnya.

Secara umum, jika ingin memperoleh sayang kasih Ilahi yang sekasih-kasihnya itu maka seorang hamba mesti melakukan semua perbuatan yang diperintah Ilahi sedaya upayanya, dan meninggalkan seluruh larangan Tuhannya secara mutlak. Selalu meningkatkan kadar keimanan, keislaman dan keihsanan. Selalu berusaha menyerap sifat-sifat mulia Tuhan, dan meniru serta mengaplikasikannya dalam kehidupan, termasuk Al-Rahman dan Al-Rahim. Jadilah ‘Abd Al-Rahman (hamba Yang Pengasih) dan ‘Abd Al-Rahim (hamba Yang Penyayang).

Wallahu a’lam.

(Pernah dimuat di lamanriau.com pada 15/01/2021)

Sakit Hati?

Griven H. Putera

Sakit Hati?

Di dalam hati mereka ada penyakit. “fi qulubihim maradh”. Demikian Alquran menegaskan. Akan tetapi karena keadilan-Nya, kata nabi Muhammad Saw; likulli da in, dawa un... setiap penyakit ada obatnya.

Semua orang tak mau sakit. Mereka ingin selalu sehat sepanjang waktu, akan tetapi sakit tak dapat dielakkan,  ia tetap akan terus datang, datang dan datang karena tak ada arti rasa sehat kalau tak pernah merasa sakit. Rasa sakit tetap akan ada selama alam dunia masih dicecah, selama bumi masih dianjak dan langit sebagai payungnya.

Kebanyakan manusia sangat risau dengan penyakit yang menimpanya, terutama penyakit lahiriah. Mereka akan berusaha mengobatinya sehabis daya dan upaya. Tak berkira lagi dengan tenaga, waktu, uang dan pengorbanan lainnya habis dan luncai demi kesembuhan. Mereka lupa ada penyakit yang lebih berbahaya daripada sakit mata, sakit telinga, sakit perut, sakit kepala dan berbagai macam penyakit lainnya, yang membuat mereka runsing tak bertepi. Penyakit yang amat membahayakan itu adalah penyakit hati, yang semestinya lebih mereka takuti dan risaukan, lebih mereka bersusah payah mencari oabatnya daripada penyakit jasmani yang menimpa, karena sumber segala penyakit jasmani itu sesungguhnya berasal dari hatinya, dari ruhaninya.

Kerisauan hati membuat orang mengidap banyak penyakit lahiriyah. Lagi pula, penyakit lahir akan lenyap ketika tubuh bersatu dengan tanah, ketika nyawa berpisah dari raga. Bahkan penyakit lahiriah juga dapat menggugurkan dosa-dosa. Sebaliknya penyakit batin atau penyakit hati akan terus menggerogoti manusia jika tak segera diobati walaupun ia telah mati karena sakit itu akan berpengaruh bagi kehidupan selanjutnya.

Iyyakum wa al-hasad, fa innahu ya’kulu al-hasanat kama ya’kulu al-nar al-khatab. (HR. Abu Dawud). Jauhi sifat hasad karena sifat itu sesungguhnya memakan kebaikan-kebaikan seperti api yang melahap kayu kering.

Tak ada arti kebaikan yang pernah dilakukan ketika dalam diri dijangkiti penyakit ruhaniyah tersebut. Semua prilaku baik akan terkikis. Semua akan luncai, licin bagaikan debu di atas batu yang ditimpa hujan. Ia ‘kan hilang. Arang habis besi binasa. Berbuat begitu banyak amal tapi tak bernilai apapun karena menyimpan penyakit berbahaya yaitu al-hasad.

Apa obatnya?

Pertama, mengingat-Nya. Ala bizikrillah tathmainn al-qulub. (Q.S. 13: 28). Ingat, dengan berzikir kepada Allah hati akan tenteram. Ayat ini berada dalam surat al-Ra’d yang bermakna halilintar atau petir. Apa yang terbayang ketika melihat atau mendengar petir menggelegar?

Apa itu zikir? Bisa berarti menyebut dapat pula bermakna mengingat. Menyebut kalimat-kalimat yang baik, seperti subhanallah, alhamdulillah, allahu akabar, la ilaha illallah, dan lain-lain. Bagaimana mengingat Allah? Di antaranya dengan mengingat zat-Nya, mengingat dan memahami kebesaran-Nya, mengingat azab-Nya, mengingat nikmat-Nya.  Menurut para ulama, zikir dapat dilakukan dengan lidah juga bisa dengan hati.

Kedua, dengan berdoa, wazkur robbaka fi nafsika tadharruan wakhifatan wa dun al-jahri minal qaul: bi ai-ghuduwwi wa al-ashal wala takun min al-ghafilin... Dan sebutlah (nama) Tuhanmu dalam hatimu dengan merendahkan diri dan rasa takut, dan dengan tidak mengeraskan suara, di waktu pagi dan petang, dan janganlah kamu termasuk orang-orang yang lalai. (Q.S. 7: 205)

Bangunlah tengah malam. Dirikan tahajjud. Sebelum itu lihat wajah anak dan istri dengan teliti. Merenunglah. Apakah mereka telah sejahtera selama ini bersama kita dalam ridha-Nya? Apakah kita akan bersatu kembali dengan mereka saat sudah kembali ke hadirat Ilahi, atau kita bersama saat hidup di dunia ini semata? Berdoalah kepada Allah agar diselamatkan di dunia dan akhirat. Berdoalah agar disembuhkan dari penyakit hati, terutama hasad.

Ketiga, bacalah Alquran karena ia juga disebut al-zikr/zikir. Inna nahnu nazzalna al-zikra wa inna lahu lahafizun: (Q.S. 15:9). Alquran itu merupakan obat yang paling mujarab. Wanunazzilu min al-qurani ma huwa syaifa un warahmatun li al-mukminin wala yazidu al-zalimina illa khasara: "Dan Kami turunkan dari Alquran suatu yang menjadi penawar dan rahmat bagi orang-orang yang beriman." (QS. 17: 82)

Keempat perbanyak shalat. Karena kata para ulama, puncak zikir itu ada dalam pelaksanaan ibadah shalat. Innani anallahu la ilaha ila ana fa’budni wa aqimu al-sholata lizikri: Sesungguhnya Akulah Allah. Tidak ada tuhan, melainkan Aku. Oleh karena itu, sembahlah Aku, dan dirikanlah shalat, untuk mengingat Aku. (Q.S Thaha 20:14)

Saya, tuan, puan serta encik-encik sekalian, mari segera berobat. Mari sembuhkan hati yang sakit. Mari.

Wallahu a’lam.


(Tulisan ini pernah dimuat di lamanriau.com pada 22/01/2021)

Generasi Bintang

 Griven H. Putera

 Generasi Bintang

Dan hendaklah semua orang takut kepada Allah, seandainya mereka meninggalkan generasi sesudahnya dalam keadaan lemah. Yang mereka khawatir terhadap kesejahteraan mereka. Maka bertakwalah kepada Allah, dan hendaklah mereka mengucapkan perkataan yang benar [QS: An Nisa’: 9]

Ayat ini sepertinya ditujukan untuk umum, untuk semua orang, apakah ia muslim atau bukan. Semua umat manusia punya kewajiban sama. Mereka harus memikirkan keadaan atau nasib anak-cucunya di belakang hari nanti. Jangan sampai mereka meninggalkan generasi yang bakal dilindas zaman. Mafhum mukhalafah (pemahaman terbalik) ayat di atas adalah, supaya mereka harus menyiapkan generasi bintang, generasi yang kuat-kawi sepeninggalnya nanti. Bukan generasi yang menderita di dunia dan celaka di akhirat.

Menurut ulama, secara sederhana, kata dhi’afa (lemah) pada ayat di atas adalah: Pertama, dhi’f al-jasadi (lemah fisik); kedua, dhi’f al-‘ilmi (lemah pengetahuan); ketiga, dhi’f al-iqtishadi (lemah ekonomi); keempat, dhi’f al-imani (lemah iman).

Lemah Fisik (dhi’f al-jasadi)

Mukmin yang kuat lebih aku cintai daripada mukmin yang lemah. Namun keduanya tetap memiliki kebaikan. Bersemangatlah atas hal-hal yang bermanfaat bagimu. Minta tolongl;ah pada Allah, jangan engkau lemah. Jika engkau tertimpa suatu musibah, maka janganlah engkau katakan ‘seandainya’ aku lakukan demikian dan demikian, akan tetapi hendaklah engkau katakan, “Ini adalah takir Allah”. Setiap apa yang dikehendaki-Nya pasti terjadi, karena perkataan ‘seandainya’  dapat membuka pintu Setan.[HR. Muslim]

Di tengah beratnya persaingan hidup dewasa ini, kekuatan dan kesempurnaan jasmani manusia menjadi salah-satu hal pokok yang mesti diperhatikan. Manusia yang lemah fisik, sepertinya akan tergilas kerasnya cobaan kehidupan. Manusia yang fisiknya tidak kuat dan kurang sehat selalu menjadi objek. Untuk itu, bagi semua orang atau suatu bangsa, pembentukan fisik generasi pengganti mereka menjadi hal urgen yang mesti dipikirkan demi terciptanya generasi unggul atau generasi cemerlang di masa depan. Oleh karena itu, generasi baru tersebut mestilah diberi asupan gizi yang memadai, berolahraga dengan teratur serta menjaga kebugaran jasmani sepanjang waktu. Dan tampaknya, hampir banyak orang dan semua bangsa di dunia memahami ini. Sebagai salah-satu contoh, kata gizi buruk menjadi monster yang amat menakutkan di mana-mana. Mulai orang tua di rumah tangga hingga kepala Negara di istana pun dibuat pusing tujuh keliling oleh masalah ini. Sehingga biaya untuk kesehatan menjadi membengkak setiap tahunnya. Walaupun begitu, kenyataannya, kondisi gizi buruk bagi anak-anak bangsa selalu menghiasi laman muka media massa di mana-mana.

Lemah Ilmu Pengetahuan (Dhi’f al-‘Ilmi)

Siapa yang ingin meraih dunia kuasailah dengan ilmu pengetahuan. Siapa yang ingin meraih akhirat kuasailah dengan ilmu pengetahuan. Siapa yang ingin meraih kedua-duanya kuasai juga dengan ilmu pengetahuan. 

Ilmu pengetahuan dan teknologi telah menjadi raja bagi tumbuhnya peradaban cemerlang hari ini. Dan itu pun telah pula tertayang terang benderang dalam lintas peradaban umat manusia sepanjang masa. Kelihatannya, siapa yang menguasai ilmu pengetahuan dan teknologi maka ia akan menggenggam dunia. Yang gagap ilmu pengetahuan dan teknologi akan terlindas perkembangan dan kemajuan zaman yang semakin tak menentu. Setiap orang atau setiap bangsa yang lalai mengikuti lajunya perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi akan menjadi objek dan santapan dari kemajuan zaman. Sementara pemegang ilmu pengetahuan dan teknologi akan menjadi subjek pengendali sesuka hati.

Pun, setelah fase di dunia ini berakhir, manusia yang menguasai ilmu pengetahuan akan mendapat tempat yang tinggi di hadapan Tuhan selama pemegangnya tak lupa kepada Tuhan, Sang Pemilik Pengetahuan itu sendiri. Kenyataan ini menghendaki adanya penghilangan dikotomi ilmu dalam kehidupan. Setiap generasi harus menguasai ilmu duniawi dan ukhrawi secara sepadan dan seimbang.

…..Allah akan angkat derajat orang beriman dan berilmu pengetahuan di antara kamu beberapa derajat. Dan Allah Maha mengetahui apa yang kamu kerjakan. [QS: Al Mujadalah: 11]

Lemah Ekonomi (Dhi’f al- Iktishadi)

Hampir saja kefakiran itu membuat orang menjadi kafir. [HR. Thabrani]

Wabah kemiskinan yang menjalar di mana-mana merupakan ancaman serius bagi cita-cita berdirinya peradaban umat manusia yang gilang-gemilang di masa depan. Tak akan muncul umat terdepan yang sesungguhnya kalau persoalan ekonomi umat tidak menjadi perhatian serius. Tanpa ekonomi yang mapan bagaimana mungkin umat bisa nyaman beribadah dan membangun bumi ini dengan baik?

Ada lima bahaya dan ancaman serius akibat lemah ekonomi menurut Yusuf Qardhawi:

Pertama, kemiskinan membahayakan akidah. Kedua, kemiskinan membahayakan akhlak dan moral. Ketiga, kemiskinan mengancam kestabilan pemikiran. Keempat, kemiskinan membahayakan keluarga. Kelima, kemiskinan mengancam kestabilan masyarakat.

Lemah Iman (Dhi’f al-Imani)

…Sesungguhnya bumi ini diwariskan kepada hamba-hamba-Ku yang shaleh. Sesungguhnya (apa yang disebutkan) dalam (surat) ini benar-benar menjadi peringatan bagi kaum yang menyembah (Allah). [QS. An Nur: 55]

Ancaman yang paling membahayakan adalah lemah iman bagi generasi bangsa. Sekuat dan sekokoh apapun pondasi ilmu pengetahuan-teknologi, ekonomi dan fisik anak bangsa tanpa disertai dan didukung kekuatan iman dan akhlak yang mantap, maka generasi itu akan menjadi rapuh dan peradaban pun niscaya runtuh dalam sesaat. Banyak contoh telah terhidang di depan mata, bagaimana gemilang dan cemerlangnya peradaban bangsa-bangsa besar di dunia sepanjang sejarah telah hancur dalam sekejap mata lantaran mereka mengenyampingkan persoalan iman dan akhlak.

Sesungguhnya kejayaan suatu bangsa tergantung akhlaknya. Manakala akhlak mereka rusak, maka hancurlah bangsa itu. (Imam Syauki Rahimahullah).

Untuk itu, di samping menyiapkan generasi yang kuat fisik, canggih ilmu pengetahuan dan maju ekonomi demi terciptanya umat yang berperadaban menjulang di masa depan, mempersiapkan generasi yang kuat iman-akhlaknya menjadi hal yang lebih penting daripada semua itu. Apalagi, kegemilangan dan kecemerlangan yang sesungguhnya, bukan saja maujud ketika bumi ini masih terbentang atau ketika napas kehidupan masih berdenyut di dada, tapi juga setelah nyawa meninggalkan raga. Kegemilangan peradaban sesungguhnya adalah ketika manusia mampu meraih kebahagiaan di dunia dan mendapat kasih-sayang Tuhan kelak di alam baka.


(Tulisan ini pernah dimuat di lamanriau.com pada 29/01/2021)

 

Kritik?

 Griven H. Putera

Kritik?

Kritik merupakan proses analisis dan evaluasi terhadap sesuatu dengan tujuan untuk meningkatkan pemahaman, memperluas apresiasi, atau membantu memperbaiki pekerjaan. Kritik berasal dari bahasa Yunani kritikos yang berarti "dapat didiskusikan". Kata kritikos diambil dari kata krenein yang berarti memisahkan, mengamati, menimbang, dan membandingkan. Demikian yang saya kutip dari Wikipedia.

Secara umum, orang membagi kritik dua macam, yaitu konstruktif (yang membangun) dan destruktif (yang merusak). Bagi yang dikritik, awalnya baik bersifat konstruktif maupun desruktif, keduanya sama-sama terdengar menyakitkan. Pada dasarnya semua manusia ingin dipuji bukan dikritik. Untuk itu setiap kritik selalu menyakitkan pada awalnya.

Namun pengetahuan dan pengalaman hidup membuat orang mengerti bahwa kritik amat diperlukan, amat dibutuhkan, baik untuk diri pribadi maupun bagi suatu kelompok, baik untuk masyarakat biasa maupun penguasa karena pada kritik akan menghasilkan sesuatu amat baik yang menuju kesempurnaan.

Manusia yang anti kritik akan hidup stagnan. Ia merasa sudah berjalan jauh tapi ternyata tak lebih dari si pandir yang jongkok, melihat ladang dari bawah selangkangannya karena yang ia lingat adalah langit yang membentang di atas sana. Ia melihat langit setengah menelentang. Ia hanya merasa besar dan benar sendiri sehingga yang diperolehnya hanya kesenangan dan kepuasan semu. Ia lupa bahwa ukuran panjang dan jauhnya perjalanan, luas atau sempitnya hasil yang ia kerjakan diukur dari meteran. Meteran merupakan salah satu alat ukur. Dan itu merupakan sesuatu yang berada di luar dirinya.

Pandangan orang lain terhadap diri kita merupakan meteran. Yang mengukur baju kita adalah tukang jahit dengan meterannya. Jangan ukur diri kita dengan ukuran-ukuran kita. Kita boleh berharap baju kita sesuai dengan yang kita inginkan akan tetapi yang mengukur dan melihat sisi indah dan selesanya pakaian dikenakan tetap melibatkan orang lain. Dan akhirnya, orang lain juga yang menilainya. Kita tak dapat menutup mulut orang seperti menutup mulut tempayan. Mulut manusia dinamis karena hidup, bergerak, sementara mulut tempayan tetap tertutup akalu tidak dibuka oleh orang lain.    

Kritik seumpama obat bagi pasien. Ia pahit tapi dapat menyembuhkan jika sabar menelannya. Ia bagaikan cambuk bagi kuda untuk kencang berpacu dalam berlari. Manusia anti kritik sebenarnya merupakan insan yang menyalahi kodratnya sebagai tempat salah dan lupa karena pada dirinya himpun pepat dhaif dan papa.

Akan tetapi bagi seorang kritikus, tentunya menyadarai bahwa kritik punya etika dan aturannya sendiri. Buat siapa lontaran kritik dialamatkan. Pada masa apa dan di tempat mana kritik diucapkan. Untuk apa dan berdasarkan apa kritik dinyatakan. Kalau semua itu diabaikan maka kritik akan melahirkan sesuatu yang meresahkan. Kalau kritik keluar dari hati yang penuh dengki maka kritik hanya melahirkan kerusakan dan malapetaka. Bila kritik didasari rasa cinta maka semua akan berakhir bahagia. Tapi sebaliknya jika kritik dilahirkan karena prasangka membabi buta maka semua akan sia-sia, bahkan akan berakhir dengan perselisihan, permusuhan dan perpecahan yang berujung neraka.

Ada tujuh bentuk komunikasi menurut Ade Muzaini Aziz dalam Alquran yang sejatinya hemat saya perlu diperhatikan seorang pengritik ketika melontarkan kritikan dan gagasan-gagasannya: Pertama, sampaikan kritik dengan perkataan yang baik atau arif (qawlun ma'rufun). Perkataan jenis ini identik dengan kesantunan dan kerendahan hati. Alquran mensinyalir bahwa mengucapkan qawlun ma'ruf lebih baik daripada bersedekah yang disertai kedengkian (QS Albaqarah [2]: 263). Kedua, lontarkan kritik ucapan yang teguh (qawlun tsabitun). Perkataan ini punya argumentasi yang kuat serta dilandasi keimanan yang kokoh. Tidak ada keraguan yang menyelimutinya. Kezaliman yang nyata patut dihadapi dengan perkataan jenis ini (QS Ibrahim [14]: 27).

Ketiga, ucapkan kritik dengan perkataan yang benar (qawlun sadidun). Tiada dusta dan kebatilan dalam ucapan ini. Kata sadid berasal dari sadda yang berarti menutup, membendung, atau menghalangi. Qawlun sadid yang diucapkan berfungsi untuk mencegah terjadinya kemungkaran dan kezaliman. Bukti ketakwaan seorang Mukmin di antaranya gemar mengucapkan perkataan ini (QS Al-Ahzab [33]: 70). Keempat, nyatak kritik dengan ucapan yang efektif dan efisien (qawlun balighun). Ini adalah jenis ucapan yang cermat, padat berisi, mudah dipahami, dan tepat mengenai sasaran alias tidak ngelantur. Tipe perkataan seperti ini akan berpengaruh kuat bagi pendengarnya (QS Annisa [4]: 63).

Kelima, layangkan kritik dengan ucapan yang mulia (qawlun karimun). Ini merupakan tutur kata yang bersih dari unsur kesombongan dan nada merendahkan atau meremehkan lawan bicara. Terdapat semangat memuliakan, menghormati, dan menghargai terhadap lawan bicara dalam qawlun karim tersebut (QS Al-Isra [17]: 23). Kata karim bermakna sangat mulia. Perintah untuk berkomunikasi kepada kedua orangtua dianjurkan Ilahi dengan komunikasi gaya ini.  Keenam, sampaikan kritik dengan ucapan yang layak dan pantas atau dalam Alquran dengan istilah qawlun maysurun. Maysur arti asalnya adalah yang memudahkan. Ucapan ini mengandung unsur memudahkan segala kesukaran yang menimpa orang lain, dan menghiburnya guna meringankan beban kesedihan (QS Al-Isra [17]: 28).

Ketujuh, utarakan kritik dengan kata dan suara yang lemah lembut dan menyejukkan, yang diitilah Alquran dengan qawlun layyinun. Kelembutan diharapkan dapat menundukkan kekerasan, sebagaimana air dapat memadamkan api. Inilah pesan Allah kepada Nabi Musa dan Nabi Harun ketika keduanya hendak menghadap Firaun yang lalim (QS Thaha [20]: 44).

Ibnu Taimiyah dalam al-Fatawa mengatakan, “Wajib bagi setiap orang yang memerintahkan kebaikan dan mengingkari kemungkaran berlaku ikhlas dalam tindakannya dan menyadari bahwa tindakannya tersebut adalah ketaatan kepada Allah. Dia berniat untuk memperbaiki kondisi orang lain dan menegakkan hujah atasnya, bukan untuk mencari kedudukan bagi diri dan kelompok, tidak pula untuk melecehkan orang lain."

Sebenarnya memberi kritik merupakan ibadah jika ditujukan untuk amar makruf nahi munkar (untuk menegakkan kebenaran dan memerangi kejahatan). Akan tetapi tidak asal mengritik. Kritik punya etika tersendiri, selain tuju prinsip komunikasi yang disebutkan di atas, maka perlu juga diperhatikan lagi di antaranya: si pengritik meniatkan itu semua dalam rangka mengingatkan yang dikritik untuk berbuat benar, yaitu benar dalam pandang Ilahi. Kemudian, sampaikan kritik dengan cara, bahasa yang sopan dan kata-kata yang santun. Tengok dan lihatlah kepada siapa kritik ditujukan. Setelahnya, kritik sejatinya berdasarkan ilmu bukan perasaan tak berdasar. Dengan ilmu, seorang kritikus akan adil dalam menilai. Ia tidak akan terbawa dengan nafsu atau pandangan sempit serta keinginan hawa nafsu. Dengan ilmu dan keadilan dalam menilai maka pandangan dan kritikannya akan terasa arif. Kearifan merupakan modal dasar bagi seorang kritikus untuk mengritik sesuatu sehingga kritik dapat melahirkan sesuatu yang baik demi perubahan ke arah yang lebih baik di masa depan.

Wallahu a’lam.

 (Pernah dimuat di lamanriau.com pada 19/02/2021)

Shalat dan Kehidupan

 Griven H. Putera

Shalat dan Kehidupan

Shalat merupakan rukun kedua dalam Islam. Begitu pentingnya ibadah ini bagi seorang muslim, maka perintah ini dijemput langsung oleh Nabi Muhammad Saw ke Sidrat al-Mmuntaha saat melaksanakan israk dan mikraj. Dan pristiwa israk dan mikraj ini merupakan kejadian luar biasa (khariq al-‘adah) yang hanya pernah dilaksanakan oleh seorang manusia paling mulia di muka bumi yaitu nabi Muhammad Saw. Dan bagi seorang mukmin, shalat merupakan mikrajnya. Al-shalatu mikraj al-mukminin. Selain menjadi sarana mikraj, shalat juga menjadi tiang dari agama. Al-shalatu ‘imad al-din. Betapa urgennya tiang bagi sebuah bangunan. Shalat juga ibadah utama dan pertama yang dihitung di hari kiamat, bahkan tidak diperhitungkan ibadah lain sebelum ibadah ini dievaluasi oleh Ilahi. Inna awwala ma yuhasabu bihi al-‘abd yaum al-qiyamah al-sholah. Dan sejatinya ibadah shalat yang didirikan menjadi sarana untuk meminta pertolongan dari segala bentuk kesulitan. Wasta’inu bi al-shabri wa-alshalata innaha lakabiratun illa ‘ala al-khasyi’in. Serta mencegah seseorang agar tidak melaksanakan perbuatan yang fakhsya (keji) dan munkar (jahat). Inna al-shalata tanha ‘an al-fakhsya i wa al-munkar.

Bagaimana caranya agar shalat itu bisa menjadi sarana mikraj bagi seorang mukmin, menjadi tiang agama, menjadi senjata ampuh untuk keluar dari berbagai persoalan, dan mencegah orang dari berbuat keji dan munkar?

Sebelum mendirikan shalat, seseorang mesti bersuci dari najis dan hadats, karena tidak sah shalat kalau tidak bersuci. Di antara cara bersuci paling utama adalah dengan berwudhu’. Untuk itu sempurnakan wudhu’ sebelum mendirikan shalat. Kesempurnaan wudhu’ tersebut baik secara lahir maupun bathin. Setelah berwudhu’ jangan lupa berdoa kepada Allah Swt, di antaranya berbunyi: Asyhadu an la ilaha illallah wahdahu la syarika lahu wa asyhadu anna Muhammdan ‘abduhu wa rasuluh, allahummaj’alni min al-tawwabina, waj’alni min al-mutathahhrin, waj’alni min ‘ibadik al-shalihin. “Aku bersaksi tiada Tuhan melainkan Allah dan tidak ada yang menyekutukan bagi-Nya, dan aku bersaksi bahwa nabi Muhammad Saw adalah hamba-Nya dan utusan-Nya. Ya Allah, jadikanlah aku orang yang ahli taubat dan jadikanlah aku orang yang suci dan jadikanlah aku dari golongan orang-orang yang saleh.”

Dari doa itu dapat diambil beberapa pemahaman, bahwa sesudah bersuci, sebelum shalat rasul ajarkan agar pertama: bersyahadat dengan sungguh-sungguh bahwa Allah Swt semata Tuhan yang hak untuk disembah, dan bersyahadat bahwa Nabi Muhammad Saw benar-benar abdullah dan Rasulullah. Kedua, bertaubat. Kata taubat secara sederhana bermakna kembali. Jika tersesat dalam perjalanan, maka kembalilah ke pangkal jalan. Jika dalam hidup yang awalnya difitrahi Ilahi untuk berbuat yang baik, benar, lurus dan prilaku terpuji lainnya, maka kembalilah untuk melakukan yang terpuji itu. Jangan lagi mengulangi dan meneruskan perjalanan yang gelap, suram dan sesat tersebut. Kembalilah kepada nilai-nilai yang digariskan Ilahi dalam kehidupan. Kata taubat dapat juga diartikan menyucikan diri dari penyakit-penyakit ruhani, seperti ujub, ria, sum’ah, takabur, hasad dan penyakit rohani lainnya. Jadilah suci hati dari penyakit batin yang akan merusak kekhusuyu’an shalat. Ketiga, waj’alni min al-mutahahhirin; sejatinya juga membersihkan diri dari kekotoran-kekotoran zahir, seperti hadats dan najis. Maka mandilah, berwudhu’lah, kenakan pakaian yang paling bersih, bagus serta memakai wewangianlah sebelum mendirikan shalat.

Setelah suci, bersih dan wangi lahir dan batin, maka yang keempat, yaitu melaksanakan buah dari menyucikan diri lahir dan batin, yaitu waj’alni min ‘ibadika al-shalihin: berprilakulah yang baik dan bermanfaat dalam kehidupan.  Saleh dapat bermakna sebagai sesuatu yang baik atau sesuatu yang bermanfaat. Sesuatu yang baik dan bermanfaat itu terbagi dua, ada yang hanya berlaku di dan untuk dunia, dan ada pula yang bermanfaat bagi dunia dan akhirat. Kebaikan untuk dunia dilakukan atas dorongan naluri insaniah semata, dan itu dapat dilakukan oleh semua manusia. Jadi saleh ini hanya saleh dunia. Sementara kebaikan untuk dunia dan akhirat adalah atas dorongan perintah Ilahi dan dorongan rasa kemanusiaan itu sendiri. Ini merupakan kebaikan yang dilakukan oleh seorang muslim mukmin yang semua itu dinilai ibadah oleh Allah Swt, dan mendatang ganjaran pahala. Inilah saleh yang sebenarnya, yaitu saleh dunia dan akhirat.

Begitu dahsyatnya doa sesudah berwudhu’ tersebut. Dan semua nilai ideal, yaitu menjadi orang bertauhid, orang yang bertaubat dengan sebenar taubat, menjadi orang yang suci sebenar suci, menjadi orang saleh atau baik itu perlu diusahakan, tetapi pada intinya hanya Dia, yaitu Allah Swt jualah yang punya hak prerogatif untuk menyucikan manusia secara lahir dan batin karena Dialah Zat Yang Maha Suci, dan Dia jualah yang dapat menjadikan seseorang menjadi saleh. Manusia itu pada hakikatnya lemah dan tak mampu melakukan apa-apa. Untuk itulah maka setiap mukmin yang hendak mendirikan shalat agar ia  berdoa, dan menyerahkan diri kepada Allah Swt.

Selain itu, seperti yang diisyaratkan dalam Alquran surat al-Baqarah ayat 45-46, maka shalat sebagai sarana untuk mendapat pertolongan Ilahi mesti dimulai dengan sikap sabar. Apa itu sabar? Sabar artinya menahan diri dari sesuatu yang tidak berkenan di hati. Ia juga berarti ketabahan. Imam Ghazali mendefinisikan sabar sebagai ketetapan hati melaksanakan tuntunan agama menghadapi rayuan nafsu. Kemudian, apa itu shalat? Dari segi bahasa, shalat adalah doa sedangkan dari segi pengertian syariat Islam adalah “Ucapan dan perbuatan tertentu yang dimulai dengan takbir dan diakhiri dengan salam. Shalat juga mengandung pujian kepada Allah atas limpahan karunia-Nya, mengingat Allah dan karunia-Nya mengantar seseorang untuk melaksanakan perintah dan menjauhi larangan-Nya serta membuatnya tabah dan sabar menerima cobaan dan tugas yang berat saat menjadi khalifah fi al-ard.

Shalat tidak akan bermakna apa-apa kecuali bagi orang yang khusyu’. Innaha lakabiratun illa ‘ala al-khasyi’in. Dari redaksi ini terlihat, ternyata khusyu’ sudah ada sebelum shalat. Lalu siapakah orang yang khusyuk itu? Allazina yazunnuna annahum mulaqu rabbihim wa annahum ilaihi raji’un: yaitu orang-orang yakin bahwa mereka pasti menemui Tuhan mereka, dan mereka yakin bahwa kepada-Nya mereka akan kembali. Tumbuhkan keyakinan dengan sebenar-benar yakin bahwa kita akan menemui Tuhan dalam shalat, dan anggaplah itu merupakan shalat terakhir dalam kehidupan ini, anggaplah setelah shalat ini kita akan menemui ajal, karena, Iza shollaita fasholli shalatal muwaddi’: maka apabila Engkau shalat, maka shalatlah seperti shalat yang terakhir, demikian pesan Nabi Muhammad Saw kepada sahabat, Abu Ayyub al-Anshory.

Oleh karena makna pengertian shalat adalah ucapan dan perbuatan tertentu yang dimulai dengan takbir dan diakhiri dengan salam, maka yang amat diperhatikan dalam shalat adalah takbir. Takbir secara sederhana bermakna membesarkan, mengagungkan, maka besarkan dan agungkan Allah Swt. Bahwa Dialah sumber dari segalanya. Tidak ada yang agung dan besar dalam hidup ini kecuali Dia. La haula wala quwwata illa billahi al-‘aliy al-‘azhim.  

Lalu salam. Salam seakar katanya dengan Islam dan muslim. Salam secara harfiah dapat juga bermakna menyerahkan diri, keselamatan dan kesejahteraan. Setelah shalat didirikan, maka menjadi muslimlah, menjadilah orang benar-benar menyerahkan diri secara total kepada Allah Swt, lakukan perbuatan yang menebarkan  Islam, yaitu penuh kedamaian, keselamatan dan kesejahteraan bagi alam semesta. Jadilah “Muhammad kecil”, yaitu manusia yang selalu berusaha menebarkan rahmatan li al-‘alamin, manusia yang mencoba mengikuti manusia panutan, yaitu mengikuti Nabi Muhammad Saw.

Wallahu a’lam.

 

 (Pernah dimuat di lamanriau.com pada 05/03/2021)

Bersiap di Syakban

 Griven H. Putera

Bersiap di Syakban

Menurut hitungan kalender, hari ini sudah 12 Sya’ban/Syakban. Artinya tinggal beberapa pekan lagi akan masuk bulan Ramadhan. Pada bulan ini ada doa yang selalu dilantunkan Rasulullah Saw dan kaum muslimin, yaitu: Allahumma barik lana fi Rajaba wa Sya’ban, wa ballighna Ramadhan. (Ya Allah, berkatilah kami pada bulan Rajab dan Syakban, dan sampaikan umur kami pada bulan Ramadhan).

Kenapa Rasulullah selalu mengucapkan doa tersebut? Zalika syahrun yaghfulu al-nasa ‘anhu baina rajaba wa ramadhan. (Karena pada bulan itu manusia lalai memperhatikannya. Bulan tersebut adalah yang berada di antara Rajab dan Ramadhan).

Bulan Ramadhan diperhatikan dan dimuliakan manusia karena pada saat itu ada sebuah bonus istimewa dari Allah Swt. yaitu diturunkan Lailat al-Qadar. Mukmin yang beribadah pada saat itu sama dengan beribadah selama seribu bulan, bahkan lebih daripada itu. Rajab diagungkan karena bulan tersebut termasuk syahr al-haram (bulan mulia), pada bulan tersebut turunnya perintah shalat wajib setelah Rasulullah Saw. melakukan rihlah akbar Isra dan Mikraj. Sementara bulan Syakban dimuliakan, karena  Rasulullah Saw. bersabda, “Wa huwa syahrun turfa’u fiihi al-a’malu, wa uhibbu an yurfa’a ‘amali wa ‘amali shaim”. (Pada bulan itu diangkat amalan, dan aku mencintai Allah Swt mengangkat amalanku dan amal orang yang berpuasa).

“Sesungguhnya Allah memperhatikan  malam pertengahan Sya’ban. Maka Dia mengampuni semua makhluk-Nya, kecuali orang musyrik dan orang yang bermusuhan. Pada saat itu semua dosa hamba yang beribadah diampuni kecuali;fayaghfiru lijami’i khalqihi illa limusyrikin wa musyahin. (Semua dosa diampuni kecuali dosa musyrik dan dosa orang yang tidak mau berdamai dengan orang lain).

Ada beberapa persiapan yang sejatinya dilakukan hamba pada Syakban demi menyambut kedatangan Ramadhan. Di antaranya: pertama melakukan muhasabah (perenungan diri). Seorang mukmin yang baik hendaknya menyediakan suatu waktu di mana ia menyendiri (berkontemplasi); mengaji diri; siapa dia; dari mana ia berasal; sedang di mana kini; dan akan kemana nanti. Kalau ia seorang hamba Allah, sudahkah semua kehendak Allah dilakukan dalam hidupnya selama ini. Jangan-jangan ia telah berubah menjadi hamba dunia, hamba nafsu, hamba setan, hamba harta, budak jabatan, budak atasan atau hamba istri dan anaknya. Jika itu terjadi, menyesallah.

Kedua, lakukan taubat nasuha. Sesali kekhilafan, kesali dan tangisi kesalahan dan semua dosa yang pernah dilakukan. Setelah itu ucapkan banyak-banyak kalimat istighfar (Astaghfirullah a-‘ aziem). Rasulullah Saw. saja yang bebas dari dosa (al-ma’shum) melakukan istighfar 100 kali sehari semalam, maka sebagai umatnya, tentulah dituntut lebih banyak lagi. Setelah itu, bertekadlah dalam hati untuk tidak mengulangi lagi kesalahan tersebut.

Taubat atau tawbah (bahasa Arab) itu terdiri dari huruf T, W, B, H (ta marbuthah). Menurut beberapa ulama, T itu merupakan tarku ‘an al-mukhalafat (meninggalkan semua kesalahan) wa al-nadmu min al-zunubi (menyesali semua kesalahan yang telah dilakukan). W: wushulu ila tha’atillah (melakukan ketaatan kepada Allah). B: barakatillah (mendapat berkah Allah). H: Hidayatullah. (menuai hidayah Allah). Artinya, orang taubat adalah orang yang berusaha meninggalkan kebiasaan buruknya, menyesali perangai tak baik yang pernah dilakukannya, kemudian ia pun melakukan ketaatan kepada perintah Allah dan rasul-Nya. Selanjutnya ia akan menerima berkah Allah dan mendapat hidayah-Nya.

Ketiga, perbaiki hubungan dengan sesama manusia. Islam ini intinya adalah agama yang mendorong umat manusia hidup rukun dan damai dalam kebersamaan. Pada bulan Syakban jangan ragu minta maaf dan memaafkan kepada orang tua, tetangga, karib kerabat, sanak saudara, handai taulan, bawahan dan atasan. Jalin silaturrahim dengan sesama manusia. “La yadkhul al-jannah qathi’u al- rahmi wa jaru al- su,i”. (Tidak masuk syurga manusia yang memutuskan tali silaturrahim dan tetangga yang jahat). Dalam tradisi Melayu, terjadi jenguk menjenguk sanak keluarga di bulan Syakban, biasanya usai melaksanakan petang megang di petang terakhir Syakban, sebelum melakukan ibadah puasa. Yang muda mengunjungi rumah yang tua, sang adik bertamu ke rumah kakak atau abangnya, hamba rakyat bersilaturrahim ke rumah para tetua adat, tokoh agama, dan peneraju lembaga pemerintahan. Memutihkan hati demi menyambut bulan putih (Ramadhan). Ini merupakan implementasi orang Melayu dalam memahami hadits di atas.

Keempat, bagi yang kurang sehat fisiknya, di pengujung Syakban mengurangi aktivitas berlebihan, agar ketika masa Ramadhan tiba, ia mampu melakukan puasa di siang hari dan kuasa mendirikan shalat tarawih serta ibadah lainnya ketika malam.

Kelima, mempersiapkan Alquran. Sebagai kitab suci umat Islam, sejatinya muslim memiliki Alquran baru setiap tahunnya. Kaum muslim biasanya akan membeli baju baru, mengecat rumahnya dengan warna baru, kalau perlu membeli mobil baru di penghujung Ramadhan, tapi sebagian mereka lupa pada Alquran dengan corak dan kelengkapan baru yang lebih sempurna. Lebih baiknya, Alquran baru tersebut ada petunjuk membacanya, baik dari segi tajwid, seni maupun makna dan tafsirannya. Bagaimana Alquran jadi pedoman dan petunjuk kehidupan, sementara isi kandungannya tidak diketahui dan dipahami. Jika merasa kesulitan membawa Alquran besar, maka Alquran digital menjadi solusi terbaik. Isilah handphone dan gadget dengan versi Alquran dari berbagai ragam seni bacaan dan tafsirannya yang diakui ijmak ulama. Yang terpenting lagi adalah bagaimana memperbaharui tersus menerus pengalaman nilai Alquran dalam kehidupan ini.

Keenam, mengqadha puasa yang luput di tahun lalu. “Man mata wa ‘alaihi shiyamun, shama ‘anhu waliyyuhu.” (Orang yang telah meninggal dunia dan ia punya utang puasa, maka keluarganya yang membayarnya). Jadi, bagi yang belum mengqadha puasa yang tidak dilaksanakan pada Ramadhan lalu, maka pada bulan Syakban ini merupakan masa tersisa untuk membayar utang tersebut karena itu merupakan utang kepada Allah. Jika itu tak dibayar, dan ia meninggal dunia, maka utang itu dibebankan kepada ahli warisnya.

Ketujuh, mengetahui seluk beluk Ramadhan. Memiliki buku atau kitab tentang Ramadhan merupakan hal yang mustahak dilakukan. Mengetahui apa itu puasa, apa amalan utama serta pantang larang yang dilakukan selama Ramadhan. Mulai metode zikir, cara bertarawih yang baik dan benar serta mengetahui pentingnya sahur serta amalan-amalan sunat lainnya.

Kedelapan, mempersiapkan logistik berlebih sebagai stok selama Ramadhan. Persiapan lebih ini bukan hanya untuk pribadi dan keluarga tapi untuk dibagi bersama saudara seiman dan se-iktikad selama bulan Ramadhan. Berbagi perbukaan puasa saja demikian besar ganjarannya apalagi membantu biaya kehidupan yang lebih besar. “Man fatthara shaiman kana lahu mistlu ajrihi.” (Orang yang memberi perbukaan bagi yang puasa, ganjarannya sama dengan orang yang puasa tersebut).  

Sembilan, sebagai seorang muslim-mukmin yang jati, kaum muslim mulai saat Syakban ini sejatinya telah melakukan survey kecil-kecilan bagi saudara dan tetangganya yang memerlukan bantuan.  Ia jenguk kaum miskin di kampung kumuh dan panti jompo, ia tengok saudara sesama muslim di rumah sakit, melakukan ziarah ke pusara ayah-bunda dan sanak keluarga yang telah berpulang ke rahmatullah. Dengan melakukan itu semua, hati menjadi peka, menjadi lembut (lathif dan hanif), sehingga ia pun mulai mengulurkan pertolongan. Ketika nanti Ramadhan tiba, uluran bantuan tersebut pun makin berlimpah sehingga jadilah ia sebagai mukmin yang insan al-kamil, manusia yang memperoleh award berupa muttaqin. Kehadirannya dinantikan, kepergiannya ditangiskan. Di dunia bahagia, balik ke alam baka dalam naungan ridha Allah Swt.

Wallahu ‘alam.

(Tulisan ini pernah dipublikasikan di lamanriau.com pada 26/03/2021)