Kamis, 28 Juli 2016
Balik?
Griven H. Putera
Balik?
Mudik, saya membahasakannya menjadi balik. Karena saya dan kebudayaan yang membesarkan saya, kata balik lebih banyak dipakai dalam berkomunikasi bila dibandingkan dengan kata mudik jika tujuannya untuk pulang kampung. Kata mudik hanya kami gunakan kalau ingin memudiki sungai menuju ke hulu. Misalnya saya mudik ke Langgam saat pasar hari Rabu, karena kampung saya Rantaubaru memang di hilir kampung Langgam. Atau semasa sekolah di Pesantren Daarun Nahdhah Thawalib Bangkinang dulu, saya memudiki sungai Kampar ke Bangkinang melalui Teratak Buluh. Maka kami menyebutnya mudik ke Bangkinang.
Bagi saya yang kini tinggal di Pekanbaru, maka tak sanggam juga kalau memakai kata mudik ke kampung, karena kampung saya kini berada di hilir Pekanbaru. Untuk kasus kampung saya tersebut, yang pas rasanya saya hilir ke kampung karena Pekanbaru di hulu kampung saya.
Selain itu, saya lebih mau memakai kata balik ketimbang mudik karena sewaktu kecil sering mendengar lagu Melayu berjudul “Balik Kampung” yang didendangkan Sudirman Haji Arsyad. Lagu ini sering saya dengar diputar radio RTM (Radio Televisi Malaysia) menjelang datangnya idul fitri. Cuma pada waktu itu saya bertanya dalam hati, saya mau balik kemana? Karena saya memang sedang tinggal di kampung waktu itu. Sekarang barulah saya dapat menikmati lagu itu karena saya sudah tidak di kampung lagi. Sekarang saya di kota, (he he he...). Dan kini ungkapan lagu itu memang terasa sedap di hati dan telinga saya karena saya punya kampung halaman. Saya membayangkan bagaimana kalau orang yang tak punya kampung? Mau balik ke mana dia? Okh, sungguh berbahagianya menjadi perantau rupanya.
Konon menurut wikipedia, kata mudik berasal dari sandi kata bahasa Jawa ngoko yaitu mulih dilik yang berarti pulang sebentar. Mudik adalah kegiatan perantau/pekerja migran untuk kembali ke kampung halamannya. Mudik di Indonesia identik dengan tradisi tahunan yang terjadi menjelang hari raya besar keagamaan misalnya menjelang lebaran. Pada saat itulah ada kesempatan untuk berkumpul dengan sanak saudara yang tersebar di perantauan, selain tentunya juga sowan dengan orang tua.
Tapi kata mudik tersebut mungkin berkait kelindan juga dengan kata ‘udik’. Kata udik selalu dikaitkan dengan kata kampungan. Tapi kalau itu dipakai dan dimaksudkan oleh penuturnya, maka terselip sesuatu yang kurang nyaman. Ada perasaan merendahkan suatu kelompok masyarakat. Jadi, esok dan esoknya lagi, hemat saya lebih elok dan patut dipakai kata “balik”.
Akh. Persoalan kata mudik atau balik ini ditinggalkan dulu. Terserah kepada siapa yang mau memakainya. Yang jelas, perkara mudik atau balik kampung ini menjadi tradisi lain dan unik di nusantara, khususnya di Indonesia. Dengan adanya tradisi ini maka banyak imbas yang terjadi. Roda ekonomi berputar kencang. Berkah sanak keluarga di kampung semakin terasa karena baliknya para perantau membawa banyak uang dan benda materi lain sebagainya. Pemerintah pun mesti ekstra serius menyiapkan moda transportasi dan pengamanan di jalan raya serta menyediakan pos kesehatan di terminal, stasiun dan bandar udara. Perusahaan kue-kuean dan pakaian semakin meningkat pendapatannya. Media cetak maupun elektronik pun sibuk memberitakannya. Sampai-sampai membuat liputan khusus tentang prosesi balik kampung tersebut hingga sepekan. Pokoknya, dari tradisi mudik, banyak hal positif dapat diraup banyak orang.
Selain yang positifnya, terdapat pula sejumlah hal negatif. Hampir saban tahun proses balik kampung menjelang idul fitri ini memakan korban jiwa. Di jalan raya mayat bergelimpangan saban hari. Pun, di kota semakin banyak pula masyarakat kampung melakukan proses urbanisasi seusai idul fitri karena setiap pemudik biasanya membawa saudara-maranya ke kota, karena dalam pandangan mereka, kota menjanjikan masa depan. Padahal kenyataannya tak seperti yang diceritakan dan dibayangkan, sehingga dulu lahirlah ungkapan, kejamnya ibu tiri tak sekejam ibu kota. Akibat itu pula, maka Ahok melakukan penggusuran bagi masyarakat pinggiran Jakarta, karena sebagian mereka datang ke Jakarta memang dari tradisi mudik ini. Akibatnya banyak yang tak memiliki KTP dan surat murat resmi pemerintahan lainnya. Dari akibat mudik ini, maka pemerintah melalui Menpan RB pun membuat surat edaran yang melarang keras Aparatur Sipil Negara atau PNS agar tidak menambah libur seusai masa cuti yang ditetapkan pemerintah.
Selain tersebut di atas, akibat adanya tradisi balik kampung menjelang idulfitri ini, esensi puasa Ramadhan menjadi terabaikan. Jika menengok ke masa lampau, Rasulullah Saw, keluarganya dan para sahabat makin intens ke mesjid pada akhir bulan Ramadhan. Mereka melakukan i’tikaf dalam rangka menjadi manusia bertaqwa. Pun, dari i’tikaf yang dilakukan semoga mereka bertemu dengan malam lailat al-qadr (malam yang nilai pahala ibadahnya lebih baik dari seribu bulan. Di mana mereka akan dikunjungi tamu-tamu dari langit, yaitu malaikat. Sehingga malam itu benar-benar menjadi malam yang damai, yang tentram. Malam penuh dengan kebahagiaan dan kesejahteraan hingga cahaya fajar bersinar di langit timur). Malam penuh berkah itu tak pernah diperoleh umat sebelumnya. Sungguh tak pernah dirasakan umat sebelum pengikut nabi Muhammad Saw.
Akan tetapi kini, di akhir Ramadhan, umat Islam malah disibukkan dengan pasar, stasiun, terminal dan bandara. Tradisi ini sungguh jauh dari tradisi yang pernah ada di zaman Rasul dan sahabatnya. Padahal Rasullah Saw dan sahabatnya punya kampung juga. Rasullah Saw lahir di kota Mekkah lalu hijrah ke Madinah. Artinya kampung halaman nabi itu adalah Mekkah. Tapi ketika di akhir Ramdhan ia tak balik ke Mekkah, ke kampung halamannya. Ia sibuk dengan istri dan sahabatnya melakukan ibadah hingga bengkak kakinya untuk bekal persiapan ke kampung halaman yang sesungguhnya. Pun, Rasul sering menangis sendiri di tengah malam akhir-akhir Ramadhan. Ummu Salamah pernah bertanya, kenapa Rasululah menangis, bukankah Nabi Muhammad Saw itu ma’shum (tak berdosa)? Lalu jawaban Nabi, “Saya merasa belum menjadi hamba yang bersyukur”.
Akhir Ramadhan dengan melakukan serangkaian ibadah intens dan sepenuh konsentrasi, sebenarnya bagian dari proses balik kampung juga. Balik kampung abadi. Karena semua manusia pasti balik ke kampung abadi, balik ke alam akhirat. Untuk balik kampung yang jati itu perlu persiapan bekal. Sebaik-baik bekal kata Allah adalah taqwa. “Watazawwadu fainna khaira zad al-taqwa. Wattaqullah ya uli albab...” .Berbekallah, dan sungguh sebaik-baik bekal adalah taqwa, dan bertaqwalah kepada-Ku hai orang-orang yang berakal”. (Q.S. Al-Baqarah: 197).
Kini umat Islam di akhir Ramadhan disibukkan dengan mencari bekal juga tapi bekal untuk kampung halaman yang nisbi. Mereka sibuk ke sana ke mari mencari rizki demi mengecat rumah dan pagarnya agar terlihat baru, membeli pakaian baru, menyiapkan kue-mue sebagai hidangan penanti tamu sesuadah idul fitri serta menyiapkan uang sebagai bekal balik kampung.
Bagi yang bekerja di kantor, tak sedikit dari pekerjanya yang tak berada di kantor pada jam-jam dinas hanya karena mencari rezki tambahan di luar buat persiapan balik kampung nanti. Mereka tak disibukkan dengan zikir, menjaga batin dari puasanya, menjaga malam-malamnya dengan shalat tarawih sepenuh khusyuk, membaca Alquran sejagat jiwa. Bermunajat di tengah malam buta dalam rintihan doa seorang pendosa. Mengingat segala kekhilafan dan kesalahan yang pernah dilakukan selama ini, lalu membaca kalimat istighfar sebanyak-banyaknya agar kemurahan Allah berupa ampunan segera tiba dari Tuhannya. Dan jika tak lama lagi Tuhan memanggilnya balik ke kampung abadi, ia pun dalam suasana hati yang tenang dan rela dengan panggilan itu. Semoga Allah Swt memanggilnya, “Ya ayyatuhan nafs almuthmainnah irji’i ila robbiki radhiatan mardhiyyah, fadkhuli fi ‘ibadi wadkhuli jannati.” Wahai jiwa yang tenang. Kembalilah kepada Tuhanmu dengan hati yang ridha dan diridhai-Nya. Maka masuklah ke dalam golongan hamba-hamba-Ku, dan masuklah ke dalam surga-Ku. (QS. Al-Fajr: 27-30)
Pernah dimuat di Koran Riau, Jumat 01 Juli 2016
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar