Oleh Griven H Putera
Hampir setiap bulan dalam Islam memiliki nilai sejarah. Muharram misalnya diingatkan dengan pristiwa hijrah. Ramadhan pristiwa Nuzul al Quran. Bicara Zulhijjah, diingatkan dengan pristiwa haji dan kurban. Syawal ada pristiwa idul fitri. Rabi al Awwal ad pristiwa Maulid Nabi Muhammad Saw. Bulan Rajab, diingatkan dengan pristiwa israk dan mikraj.
Alquran memang bukan kitab sejarah, tapi Alquran banyak menceritakan tentang pristiwa bersejarah. Dan kalau diperhatikan, gaya bahasa yang digunakan Alquran dalam menceritakan pristiwa-pristiwa bersejarah itu berbeda antara satu dengan lainnya. Khusus, bahwa menceritakan isra dan mikraj, Allah memulai ayatNya dengan menggunakan kalimat tasbih seperti yang dibaca dalam Surat Bani Israil ayat pertama. Subhanallazi… lailan ….. Maha Suci Allah yang telah memperjalankan hamba-Nya pada suatu malam dari Masjid al Haram di Mekkah ke Mesjid al Aqsa di Palestina.
Bila ayat ini didekati perkalimat, maka akan memudahkan pengertian dalam memahami pristiwa israk dan mikraj ini. Ayat ini dimulai dengan kalimat subhanallazi.
Dalam ilmu balaghah, kalimat semacam ini disebut dengan kalimat I’jaz. Yaitu kalimat yang redaksinya ringkas namun isinya padat. Di situ ada kalimat yang tersirat yaitu lafz al jalalah. Sehingga kalimatnya subahanallahillazi, Maha Suci Allah.
Memang banyak pristiwa bersejarah yang diceritakan Alquran. Tapi jarang diawali dengan kalimat tasbih. Allah menceritakan nabi Adam tidak dimulai dengan kalimat tasbih. Cerita Firaun dan bala tentaranya yang ditenggelamkan di lautan merah, dan itu merupakan kejadian hebat, tidak dimulai dengan kalimat tasbih. Pun Alquran menceritakan umat nabi Soleh, umat nabi Hud dan lain sebagainya, tidak dimulai dengan kalimat tasbih. Semua itu diceritakan Alquran tetapi tidak satupun diawali dengan kalimat tasbih.
Khasais, Allah menceritakan pristiwa israk mikraj ini dengan kalimat tasbih. Subhanallazi, Maha Suci Allah. Maha suci dari kekurangan, maha suci dari kelemahan. Maha suci dari ketidak mampuan. Allah mempertaruhkan kesucian-Nya untuk menjamin kebenaran pristiwa israk dan mikraj. Dan ini sebagai pertanda bahwa israk dan mikraj bukan sekadar pristiwa biasa. Tapi merupakan pristiwa yang amat luar biasa. Sampai Allah memulainya dengan alimat tasbih.
Apa hikmah yang bisa diambil dari kalimat tasbih ini?
Kata selanjutnya adalah asro, maha suci Allah yang telah memperjalankan hamba-Nya. Asal kalimat ini adalah saro, yasri, siiru. Lalu dibentuk dalam kalimat muta'addi menjadi asro. Asro, yusri, isro-an. Maha suci Allah yang telah memperjalankan. Dari ayat ini tampak bahwa yang aktif itu sebenarnya Allah. Nabi pasif. Allah yang memperjalankan, sedangkan nabi diperjalankan. Maka tidak heran beliau berangkat dari Mekkah ke Palestina, lalu naik ke langit pertama, kedua, ketiga, sampai ketujuh lalu naik ke rafraf al akhdar, sampai ke sidrat al muntaha, sampai ke ‘arsy, menerima perintah shalat, mengunjungi syurga dan neraka, lalu kembali lagi ke Mekkah tidak lebih dari sepertiga malam. Kenapa bisa?
Karena Rasulullah diperjalankan.
Andaikata Nabi berjalan sendiri, tentu dia tidak akan mampu menempuh jarak yang demikian jauh dalam waktu yang relatif singkat. Artinya, dalam memahami pristiwa israk dan mikraj ini, yang dipakai bukan logika intelektual manusia biasa tetapi logika kemahakuasaaan yang mutlak dari Allah Swt. Ini kehendak Allah bukan kehendak nabi Muhammad saw. Akal manusia belum mampu memahaminya (bukan tidak mampu tapi belum mampu).
Kemudian kalimat bi’abdihi. Maha suci Allah yang telah memperjalankan Hamba-Nya.
Kenapa Allah memakai kalimat tidak langsung, kenapa tidak langsung memakai maha suci Allah yang telah memperjalankan Muhammad. Kenapa memakai bia’abdihi. Maha suci Allah yang telah memperjalankan hamba;Nya. Apa maksudnya?
Dalam kalimat hamba, terdapat dua hal; pertama, kata hamba di sini menjelaskan bahwa nabi Muhammad Saw israk dan mikraj dengan ruh dan jasadnya sekaligus. Sebab, orang akan dipanggil hamba kalau punya ruh dan jasad. Jadi, israk mikraj terjadi dengan jasad dan ruh. Kedua, bia’bdihi itu, oleh Allah menjelaskan bahwa Nabi Muhammad itu benar-benar diakui Allah sebagai hamba. Lalu timbul pertanyaan, apakah kita ini hamba Allah?
Ya, kita ini hamba Allah, tapi itu pengakuan kita. Cuma apa itu diakui atau tidak?
Berapa banyak manusia dalam hidup, mulutnya berkata saya hamba Allah tapi perbuatannya membuktikan ia hamba dunia. Hamba nafsu. Budak jabatan, budak pangkat. Tindakan tidak sesuai dengan ucapannya.
Dari kalimat bia’bdihi ini dapat ditarik hikmah; sekali mengaku hamba Allah jangan menghamba kepada yang selain Allah. Sebab syahadat yang diucapkan punya konsekwensi. Asyhadu an la ilaha illallah, waasyhadu anna muhammadan rasulullah. Maka itu berarti, saya tidak akan menyembah kecuali hanya kepada Allah. Saya tidak akan pernah takut kecuali hanya kepada Allah. Saya tidak akan pernah minta tolong kecuali hanya kepada Allah. Saya tidak akan menggantungkan hidup kecuali kepada Allah. Itulah konsekwensi logis dari kalimat syahadat itu.
Adapun nabi, sebelum dipanggil bi’abdihi dalam ayat ini, terbaca dalam sejarah, tahun-tahun ia sebelum dipanggil dengan bi’abdihi tersebut sebagai tahun kelabu, tahun duka cita (‘amul huzni). Beliau ditinggal paman tercinta Abu Thalib, ditinggal istri tersayang Khadijatul Kubro. Wafatnya dua orang pelindung ini, makin meningkat tekanan kafir Qurays. Dihina, dicemoohkan, dicaci maki. Dilempari dengan kotoran onta. Bahkan diancam untuk dibunuh. Lulus dalam semua itu, Allah panggil beliau bi’abdihi.
Lalu apa tujuan dari israk dan mikraj itu. Hakikatnya tentu Allah yang tahu. Namun kalu dilihat pada penghujung ayat kita akan menemukan kalimat linuriyahu min ayatina. Keseluruhan perjalanan yang ajaib itu, sejak berangkat sampai kembali ke Mekkah, tujuannya linuriyahu min ayatina. Untuk perlihatkan kepada nabi Muhammad itu sebagian kecil dari tanda-tanda kekuasaan Kami.
Pernah dimuat di Koran Riau, Jumat, 13 Mei 2016
Tidak ada komentar:
Posting Komentar