Ramadhan dikenal juga dengan bulan Alquran (Syahr al-Quran). Pernyataan ini disebabkan beberapa hal, di antaranya karena pada bulan ini turunnya Alquran sebagai sebuah kitab petunjuk penyempurna dan paling sempurna dari beberapa kitab suci yang pernah diturunkan Allah Swt kepada umat manusia sepanjang masa.
Oleh karena pada bulan ini turunnya Alquran, maka sejatinya umat Islam mesti berkomunikasi intens dengan Alquran. Menjadikan Alquran sebagai sahabat, bacaan utama dan imam yang sebenar imam agar benar-benar menjadi muslim yang jati. Yang dunianya menuai berkah, dan akhiratnya memeluk Syurga.
Ramadhan memang bulan yang baik menginstal kembali banyak hal dalam kehidupan seorang muslim. Termasuk menginstal cara dan proses bergaul dekat dengan Alquran. Alquran bagi seorang muslim jangan menjadi pajangan di rak buku. Jangan hanya dibaca ketika ada orang meninggal dunia. Jangan hanya dibaca ayat tanpa tahu makna dan artinya. Jangan hanya dipajang ayatnya, terutama ayat kursi di dinding rumah atau mesjid tapi ia tak lebih dari sebuah lukisan kosong tanpa makna dan tanpa pesan apa-apa.
Alquran baru menjadi kitab petunjuk ke jalan lurus bagi manusia jika ia dicintai, dibaca, dipahami arti dan maknanya dan diimplementasikan nilai-nilai agungnya dalam kehidupan. Ia baru punya pengaruh ketika dibaca sendiri dalam hati yang berkonsentrasi tinggi, tidak dibaca dengan hingar bingar apalagi sampai “mengganggu” orang lain. Kata mengganggu ini muncul ketika di sebagian pengurus mesjid dan mushalla pada bulan Ramadhan membiarkan jemaahnya melantunkan Alquran dengan suara tengik hingga jauh malam bahkan sampai dinihari memakai pengeras suara serak. Sebagian orang menyebut, kalau ada orang terganggu dengan lantunan Alquran di tengah malam, berarti hatinya yang belum dapat menerima Alquran. Artinya hatinya sakit. Perlu diobati.
Cuma pertanyaan dari orang yang merasa terganggu, kalau pun ingin beribadah, kenapa harus diperdengarkan kuat lagi keras kepada orang lain ketika orang lain ingin menikmati malam sebagai tempat dan masa untuk beristirahat. Selain itu, bukankah Alquran juga menyebut bahwa malam itu untuk istirahat? Untuk bersunyi-sunyi dalam dialog bernas dengan Tuhan yang Maha Pengasih?
Bukankah Alquran itu kalam Allah, di mana ketika orang sedang membacanya, berarti ia sedang berdialog dengan Allah? Dapatkah berdialog dengan Tuhan yang maha lembut (hanif) dalam suara kasar dan besar tanpa rasa? Lagi pula, di negeri ini, penduduknya bukan hanya muslim tapi ada umat lain di mana mereka juga punya hak hidup tenang dan damai bersebelahan dengan umat lainnya?
Bulan Ramadhan memang bulan yang penuh dengan ingar bingar Alquran. Di mana-mana terdengar orang mengaji. Di mana-mana dilaksanakan MTQ. Di mana-mana terjadi perbincangan hebat mengenai Alquran, baik melalui mimbar dakwah maupun dalam forum diskusi hotel dan kampus. Saban tahun itu terus saja dilakukan umat muslim dalam rangka eforia musiman Ramadhan. Ketika dilihat hasil pembacaan dan diskusi menarik tersebut, sayang belum terlihat jelas hasilnya.
Alquran memberi informasi dan inspirasi bagi banyak hal, seperti bagi kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi. Tapi sejauh ini, sudah berapa banyak ilmuwan muslim lahir yang dapat mewarnai dan memberi pengaruh besar bagi dunia, sebagaimana pernah ada di masa lalu seperti Ibnu Sina, Albiruni, Ibnu Khawarizmi dan lain-lain? Memang ada beberapa orang ilmuwan muslim akhir-akhir ini sampai di puncak award seperti Nobel Prize bidang ilmu pengetahuan tapi bila dibandingkan dengan umat lain, tentu saja kaum muslim tertinggal. Padahal tak ada kitab suci yang paling banyak membicarakan kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi selain Alquran, walaupun Alquran tersebut tidak disepakati ulama sebagai kitab ilmiah.
Selain itu, sebagian umat muslim hanya menghitung kuantitas banyak ayat dan juz yang dibaca selama Ramadhan. Sebanyak berapa kali ia mampu mengkhatamkan Alquran selama bulan penuh berkah ini. Sehingga akibat mengejar banyaknya jumlah ayat, surah dan juzuk yang mesti dibaca dan dikhatamkan, maka sedikit pun dari bacaan tersebut tidak dipahami oleh sang pembaca. Bahkan tajwidnya lintang pukang tak tentu arah. Jika begitu pemahamannya, maka itu tak akan memberi dampak apa-apa bagi pribadi yang membacanya. Jangankan mendapat pahala, malah si pembaca akan mengidap dosa karena membaca tidak sesuai dengan petunjuk membacanya. Maka tidak heran kalau ada orang yang sering membaca Alquran tapi tidak memberi perubahan apa-apa dalam prilaku hidupnya. Alquran yang didengungkan seolah tak lebih daripada suara musik dari pita kosong saja. Padahal, “Kalau sekiranya Kami menurunkan Al Qur’an ini kepada sebuah gunung, pasti kamu akan melihatnya tunduk terpecah belah disebabkan takut kepada Allah. Dan perumpamaan-perumpamaan itu kami buat untuk manusia supaya mereka berpikir”. (QS. Al Hasyr: 21). Tapi ketika Alquran dibaca seseorang, kenapa tak terjadi apa-apa bagi sebagian pembacanya tersebut?
Kebanyakan pembaca Alquran kini hanya seperti seekor tiung yang pandai mengucapkan salam tapi ia sendiri tidak memahami apa yang diucapkannya. Banyak di antara kaum muslim hari ini melupakan kualitas bacaan tersebut. Kualitas yang saya maksud adalah, sejauh mana seseorang memahami isi kandungan, dan makna batin dari Alquran tersebut serta mengimplementasikan nilai yang dibacanya itu dalam kehidupan.
Untuk itu, membaca ayat per-ayat, atau membaca terjemahannya dari ayat per-ayat. Lalu membaca tafsirannya dari para ulama, mulai ayat per-ayat perlu menjadi tradisi bagi pribadi muslim. Merenungi bacaannya dalam sunyi, mencoba memahami makna batin dari setiap ayat, meminta petunjuk kepada Allah terhadap pesan dari yang dibaca tersebut. Hal ini tidak cukup dilakukan oleh ilmuan Alquran atau mufassirin saja tapi bagi semua orang, sehingga Alquran nantinya benar-benar menjadi hudan ( petunjuk), menjadi syifa’ (obat zahir batin), dan rahmah (kasih sayang dalam kedamaian) dalam kehidupannya.
Untuk itu setiap muslim sudah saatnya memiliki Alquran yang lengkap terjemahannya, tafsirannya dan cara membacanya atau tajwidnya. Sehingga nanti umat Islam benarlah disebut dengan Ummatan Wasathan (umat pilihan). Pun, ketika ditanya Munkar dan Nakir dikubur tentang siapa imamnya nanti, maka ia akan mudah dan senang menjawab, bahwa imamnya adalah Alquran. Wallahu a’lam. (by Griven H Putera)
Pernah dimuat di Koran Riau Jumat 17 Juni 2017
Tidak ada komentar:
Posting Komentar