Oleh Griven H. Putera
Dalam beberapa cerita rakyat Melayu dikisahkan tentang teroris yang memporak porandakan negeri Melayu disebut Raja Portuka, atau Ajo Potuka. Di sisi lain juga disebut sebagai Raja Hidung Panjang, Nek Gergasi dan lain sebagainya.
Raja Portuka atau Raja Hidung Panjang tersebut merupakan tokoh antagonis. Ia dapat dijadikan simbol sosok penjajah, yaitu bangsa Portugis yang pernah menjajah bumi Melayu, dapat juga sebagai penjajah asing (Barat) yang ciri khas mereka di antaranya adalah berbadan besar dan berhidung panjang. Selain itu, banyak juga sastrawan Melayu lama membuat umpama kalau kancil (makhluk kecil) sebagai simbol orang Melayu dapat mengalahkan buaya (simbol penjahat atau penjajah) yang berbadan besar tapi bodoh dan dungu.
Cerita ini sebenarnya ditujukan sang pengarang untuk “menghasut” anak muda Melayu agar walaupun kecil tapi harus berotak besar seperti kancil. Karena ciri khas orang Melayu berbadan kecil.
Kehadiran penjajah di negeri Melayu memang amat memprihatinkan. Manusia serumpun Melayu pun berpisah, bercerai berai akibat kedatangan mereka. Hal ini salah satunya dapat dilihat dari akibat Traktat London 1824 yang memisahkan Riau dari Malaysia dan Negara serumpun Melayu lainnya.
Hidup dijajah bangsa asing memang amat pahit, tapi sungguh lebih menyakitkan jika dijajah bangsa sendiri. Saya mengutip pernyataan Bung Karno, katanya “Perjuanganku lebih mudah karena mengusir penjajah, tapi perjuanganmu akan lebih sulit karena melawan bangsamu sendiri.”
Soekarno memang jumawa dan futuris, jauh di masa lalu ia telah mengingatkan tentang beratnya perjuangan dihadapi bangsanya di masa akan datang, bahwa banyak sekali bangsa sendiri bakal menjajah kaumnya.
Fenomena lahirya pemimpin di era sekarang tidak sedikit yang berprilaku seperti yang diingatkan Bung Karno tersebut. Ketika seorang calon Gubernur, Bupati sampai Kepala Desa terpilih dan berkuasa, maka ada yang akan melakukan sesuatu di luar kewajaran kepada lawan politik dan para pendukungnya yang kalah. Bahkan para pendukung lawan politik pun amat menderita. Penguasa dan tim sukses tak segan-segan memisahkan suami dengan istri dan anak-anak mereka kalau mereka bekerja di pemerintahan. Sang suami ditempatkan di pangkal kampung sedangkan sang istri dibuang jauh ke hilir negeri. Mereka menjadi orang buangan, seperti juga yang dirasakan Bung Karno di zaman penjajahan.
Selain itu, para aparat di segala lini pun diisi dengan para pendukung walaupun terkadang tidak berdasarkan pada "the right man on the righ place".
Hal ini tentu saja disebabkan karena banyak hal, di antaranya biaya politik zaman ini sangat besar. Selain itu juga karena keterlibatan masyarakat dalam pemilihan kepala daerah sangat terasa. Hal ini tentu juga akibat kesadaran berpolitik masyarakat cukup tinggi dan mengalami peningkatan saban tahun.
Kehadiran Raja Portuka baru di negeri Melayu sangat tidak diharapkan karena tidak sesuai dengan nilai kearifan Melayu dan bertentangan dengan rasa kemanusiaan universal.
Indonesia, termasuk Provinsi Riau memerlukan pemimpin baru yang tentu saja bakal membawa daerah ini menjadi daerah yang sejahtera lahir dan batin. Mencari pemimpin di sini tentu tidak mudah. Apalagi pemimpin yang dapat membawa banyak perubahan bagi daerah, dan pemimpin yang tidak bergaya “kolonial”, (Raja Portuka) tersebut.
Hemat saya, selain itu Provinsi Riau memerlukan pemimpin yang dapat berbuat banyak, bukan pemimpin yang bicara banyak (pembual). Yaitu pemimpin yang dapat membangun material dan spiritual masyarakat secara nyata (tidak setakat wacana). Membangun material di sini bukan saja membangun gedung sekolah, jalan-jalan, mencari investor, membangun kanal sebagai solusi banjir, dan lain sebagainya tapi lebih daripada itu adalah membangun jiwa masyarakat, membangun jiwa aparat, menempatkan posisi aparat bukan berdasarkan kolusi, korupsi dan nepotisme.
Pemimpin yang diharapkan ke depan bukan pemimpin yang “menindas” dan “menjajah” orang-orang yang berseberangan dengan pemimpin terpilih, tapi merangkul mereka untuk pembangunan manusia seutuhnya secara bersama.
Pemimpin yang berkuasa nanti hendaknya menjadi negarawan. Bukan untuk kepentingannya, keluarganya, para pendukungnya dan ideologinya semata tapi untuk kesejahteraan bersama.
Sang pemimpin yang dimaksud hendaknya menjalani hidup selalu berakhlak dan menjadi panutan masyarakat (berjiwa agama). Yang dalam bahasa Melayu lama disebut pemimpin yang, “pepat di luar, pepat di dalam, runcing di luar, runcing di dalam. Kuat tempat bergantung, cerdik jadi penyambung lidah, kaya tempat mengadu dan meminta. Orang yang bermata terang dan berdada lapang”. Tabik…
Pernah dimuat di Koran Riau, 29 April 2016
Tidak ada komentar:
Posting Komentar