Ramadhan sekejap lagi ‘kan datang. Umat muslim amat beruntung karena masih diberi Allah SWT. kesempatan menjumpai saat-saat penuh rahmah, berkah dan maghfirah itu. Saat untuk menambah bekal buat ”mudik abadi”.
Sebelum Ramadhan tiba, biasanya sebagian umat muslim di Provinsi Riau melakukan banyak ritual sebagai salah-satu bentuk implementasi anjuran Nabi Muhammad SAW dalam menyambut bulan suci ini. Tradisi Petang Megang, Balimau Kasai, Mandi Berlimau dan Mandi Sultan biasanya merupakan bentuk dari ritual kegembiraan tersebut.
Selain merupakan ekspresi luapan kegembiraan karena Allah SWT. masih memberi kesempatan untuk memperbanyak amal saleh sebagai bekal hidup abadi di akhirat kelak pada bulan Ramadhan, peristiwa mandi Petang Megang konon dahulunya memang dilakukan umat muslim di Riau untuk menyucikan diri sebelum datangnya bulan suci, karena orang yang telah menyucikan dirilah yang bakal mendapatkan berkah dari kehadiran bulan suci dan agung tersebut. Dan jika perjanjian sampai (meninggal), maka hanya orang yang selalu menyucikan diri pulalah yang akan tenang bersama Zat Yang Maha Suci.
Konon, mandi pada petang menjelang puasa tersebut diniatkan untuk bertobat dari segala dosa dan memegang janji untuk melaksanakan puasa sepenuh jiwa raga. Puasa dengan niat yang ikhlas untuk mengikuti segala aturan puasa dengan sungguh-sungguh dan menjauhi seluruh pantang larangnya sesuai dengan syariat Allah SWT. dan Rasulullah SAW.
Pada awalnya, ritual mandi tersebut dilaksanakan pada petang menjelang magrib di rumah atau di tepian masing-masing, dan dilakukan secara sendiri-sendiri, bukan dipesta porakan seperti sekarang.
Air mandi (Air Pecung) tersebut dicampur bedak tepung beras dan berbagai macam tumbuhan harum yang direbus, mulai daun pandan wangi, serai ekuk, daun keteman, akar rusa-rusa dan buah limau yang iris, hingga aneka bunga-bungaan yang mendatangkan aroma harum penyedap hidung dan pelemak hati seperti bunga melati, bunga tanjung dan lain-lain.
Seusai mandi tersebut, yang dahulunya diiringi azam untuk melakukan puasa, dan azam meninggalkan segala perangai dan tingkah tak baik selama ini, maka terjadilah proses silaturrahim antara keluarga dan sanak saudara. Yang muda mendatangi yang tua, rakyat mendatangi pemimpinnya. Terjadi tradisi saling memberi maaf. Terciptalah hati yang penuh dengan kesucian dan kelembutan. Diharapkan dengan hati yang suci dan lembut maka hati akan dapat menyerap nilai Ilahiyah selama melaksanakan ritual ibadah selama bulan Ramadhan.
Bagi orang yang terbiasa melakukan ritual ini, serasa ada yang kurang dari puasanya kalau mandi di petang Sya’ban ini tak dilaksanakan.
Harapan dari peristiwa mandi wangi di petang akhir bulan Sya’ban ini agar mereka esok harinya mampu melaksanakan puasa dengan benar.
Mempuasakan diri dari makan, minum, bergaul intim suami istri, berkata kotor, memfitnah, bergunjing, bersikap sombong dan segala yang membatalkan puasa mulai terbit fajar hingga cahaya lembayung berbuai di belahan barat langit senja (terbenam matahari). Atau melaksanakan puasa tidak lagi sekadar pada tataran fiqh semata tapi terus berlanjut pada wilayah tarekat, hakikat, makrifat dan mahabbat (puasa sufistik).
Sempena berlalunya masa, setelah menjadi ritual temporal dan diagendakan pemerintah daerah, ritual yang dianggap bersifat privat dan sakral tersebut pun menjadi seremoni jamaah yang melenceng dari spirit awal.
Mandi tobat yang diiringi rasa gembira tersebut pun dimobilisasi dan dipestaporakan secara berlebihan sehingga banyak mengalami penyimpangan. Yang tampak ke permukaan kini hanya kegiatan hura-hura dan banyak bertentangan dengan nilai Islam dan adat budaya. Muda-mudi bercampur-baur, (bila ditilik ajaran Islam secara tajam, jangankan ketika mandi, saat shalat saja, tempat perempuan dipisahkan dari laki-laki. Apalagi mandi. Ini bersangkut kait dengan aurat). Pun, pada saat acara Balimau Kasai dan sebutan lainnya itu, Salat Asar dan Magrib pun lesap, bersukaria melampaui batas hingga ada yang tenggelam akibat ditelan arus serta berbagai mudarat lainnya.
Tak dapat memungkiri sejarah bahwa Petang Megang atau Balimau Kasai ini pernah ada di Riau, terutama pada masyarakat di pinggir sungai Siak, Sungai Kampar dan Sungai Indragiri. Namun pelaksanaannya secara pribadi di tepian masing-masing.masyarakat Melayu punya kata petuah yang mangkus, “Negeri Beradat, Tepian Berbahasa.” Di negeri ada adatnya, di tepian pun ada adabnya. Perempuan mandi di tempatnya, dan lelaki pun mandi di tepiannya pula. Mereka tidak mau bercampur baur tak menentu karena itu merupakan bagian dari implementasi akal budi dan nurani serta nilai Islami.
Pun, kalau ada semenda mandi, maka orang beradat pun bersabar menunggu selesainya sang semenda mandi, baru ia melangkah ke tepian. Jadi, jangankan dengan perempuan non-muhrim, dengan abang dari istri atau adik lelaki dari istrinya pun ia tak mau mandi bersama. Begitulah adat dan adab orang Melayu dalam hal mandi.
Dan di sebagian negeri Melayu, dahulu ketika menghadapi bulan Ramadhan, tepian atau tempat mandi perempuan di sungai pun diberi dinding atau pagar dari manggar kelapa supaya tidak terlihat oleh orang lain.
Harapan
Pertama, karena tradisi petang megang telah dilaksanakan saban tahun oleh hampir seluruh pemerintah daerah di Riau, maka menjadi tanggung jawab pemerintah pula untuk menertibkan pelaksanaan tersebut hingga tidak keluar dari nilai Islam dan adat budaya serta tidak memakan korban jiwa.
Kedua, tokoh agama dan tokoh adat hendaknya memberikan ide konstruktif bagi pemerintah daerah tentang bagaimana aturan dan tata tertib pelaksanaan acara petang megang tersebut sehingga tidak menyimpang dari agama, adat-istiadat, memakan korban jiwa dan jatuh dalam perbuatan sia-sia.
Ketiga, kepada masyarakat luas diharap menjaga ketertiban dan keamanan. Jangan sampai maksud baik tapi ternoda. Hajat hendak memuliakan tamu bernama Ramadan malah jatuh ke ranah kemaksiatan.
Keempat, inti dari acara petang megang itu sebenarnya silaturrahim. Untuk itu, setelah melaksanakan mandi, maka lakukanlah silaturrahim. Yang muda mendatangi yang tua. Adik mendatangi abang atau kakaknya. Rakyat mendatangi pemimpinnya. Tebarkan sikap memaafkan pada akhir Sya’ban ini.
Kelima, tumbuhan harum yang digunakan pada saat mandi di petang megang atau balimau kasai merupakan bagian dari alam. Ini mengisyaratkan supaya masyarakat mencintai alam. Menanam serai wangi, bunga melati, limau purut, bunga tanjung dan tumbuhan lain di pekarangan rumah atau di sekitar lingkungan tempat tinggal merupakan kegiatan yang mesti dilakukan. Ini pun telah dicontohkan orang tua-tua Melayu dahulu yang menjadikan sekeliling rumahnya sebagai taman indah dan harum sepanjang masa.
Keenam, kepada pemerintah, tokoh agama dan adat, tokoh masyarakat serta lembaga sosial keagamaan seperti MUI Riau dan lembaga keagamaan lainnya untuk melakukan tinjau dan kaji ulang pelaksanaan petang megang dan istilah lainnya tersebut sehingga dampak negatif dari tradisi-tradisi itu tidak membuat jatuh marwah dan membuat murka Allah SWT. Perlu juga direnungi, terkadang suatu amal yang sifatnya untuk pribadi lalu dilakukan secara berjemaah, maka itu pun ada problemanya. Mandi di petang megang itu awalnya untuk pribadi di rumah atau tepian masing-masing, kini dibuat berjemaah dan dihelatkan, maka tentu saja ada nilai kurang dan lemahnya. Kalau tidak dibuat aturan yang kuat dan sanksi tegas, maka malah menimbulkan dosa secara berjemaah.
Selamat melaksanakan ibadah Ramadan 1437 Hijriah.
Semoga ridha Allah Swt. menyertai kita semua, dan menjadikan negeri Melayu ini tetap bertuah di bawah naungan ridha Allah. Allahumma bariklana fi rajaba wa sya’bana wa ballighna ramadhan.***
(By Griven H. Putera)
pernah dimuat di Koran Riau, Jumat 03 Juni 2016
Tidak ada komentar:
Posting Komentar