Jumat, 12 Agustus 2016

TV Jalan

Demikianlah, kini negeri beta ini sibuk dengan promosi, sibuk dengan iklan, sibuk dengan “riya” (memperlihatkan hasil kerja kepada orang bahwa ia telah banyak berbuat.

Riya itu berasal dari Bahasa Arab yang seakar dengan kata Ra-a: artinya melihat atau memperlihatkan sesuatu. Secara lebih luas dan lebih jauh, dalam terminologi agama dapat bermakna memperlihatkan kerja secara tidak ilhlas, maka riya itu pun dipandang sebagai amal mazmumah).

Selain memasang iklan di media cetak dan elektronik, selain di buku tebal dan spanduk serta baleho yang berserak, maka salah satu media lain yang digunakan dalam rangka “riya” itu adalah TV jalan. Maka di kota ini pun terdapat banyak televisi raksasa yang dipampangkan di tepi jalan. Maksud si pemasang tv jalan, tentu saja tayangan yang diputar dapat ditonton banyak orang tentang apa yang dilakukannya selama ini, tentang ini dan itu, dan tentang segala hal yang bersangkut kait dengan lembaga itu, mulai kegiatan top leader, middle leader sampai low leader lembaga tersebut. “Bahwa ini saya lho. Ini kami loh. Ini yang telah saya dan kami lakukan lho. Hebat kami kan?”

Itu pun tak mengapa karena; pertama kabarnya dahulu, menurut salah satu penelitian psikologi, bahwa kata yang paling banyak diucapkan manusia dalam sehari semalam adalah kata “aku, haku, saya, hamba, beta, ana, I, dan lain-lain yang bermakna ke-akuan (egoisme dan eksistensisme diri). Kedua, hal itu memperlihatkan bahwa kita kreatif walau minim manfaat. Selain itu tv jalan tentu saja dipasang untuk menjadi sumber informasi bagi khalayak karena memang tak semua orang baca koran, tak banyak orang yang menonton tv di rumahnya karena memenuhi kebutuhan pangan pun kempang kempis, apalagi stasiun televisi berserak.

Selain itu, tak semua orang sempat mendengar radio. Maka TV jalan pun menjadi salah-satu alternativ tontonan bagi warga. Akan tetapi agaknya ada yang dilupakan si pemasang tv jalan, bahwa di samping memiliki manfaat, tv jalan juga punya mudharat, di antaranya. Pertama, dapat membuat si pengendara lalai akibat menonton tv sehingga akan berujung kepada kecelakaan. (ini menarik, sayang saya tidak punya data berapa korban kecelakaan sebelum dan sesudah pemasangan tv jalan tersebut). Kedua, tidak semua informasi yang ditayangkan tv jalan diserap pengguna jalan (bisa-bisa informasinya malah bias karena informasi atau film yang diputar terlalu panjang).

Informasi dapat disampaikan tapi tentu saja bersifat minim waktu sehingga pesan tak maksimal sampai kepada pengguna jalan. Selain itu, harga tv jalan kabarnya sangat mahal, jangan-jangan dapat membangun gedung sekolah anak marginal di ibu kota provinsi ini yang diberitakan beberapa surat kabar beberapa waktu lalu. Keempat, tv jalan mungkin dapat dipasang di area tidak padat atau macet sehingga dapat dinikmati para pengendara sambil berhenti di tepi jalan (anggap saja bioskop jalan gratis.

Semoga bioskop jalan ini tidak membuat beberapa bioskop di kota ini gulung tikar. He he he). Kalau tv raksasa dipasang di jalan protocol, hemat dan kimat saya tentu saja tidak maksimal, pertama pengendara sibuk mencari jalan apalagi pagi, orang bersibuk menuju tempat masing-masing, dan menghindari kecelakaan sehingga informasi tv jalan tidak punya efek-feedback maksimal. Kalau sudah begitu, tentu keberadaan tv jalan menjadi “wujuduhu ka ‘adamihi” (adanya sama dengan tidak ada).

Walaupun begitu, kita menaruh salut kepada pemasang tv jalan karena dapat membuat pemandangan baru di kota ini, serta dipandang agak kreatif walau mungkin minimalis manfaat. Meleseeeeet, kata Young Riau.
By Griven H Putera
Pernah dimuat di Koran Riau, Jumat 15 April 2016

Kawin

“…maka kawinilah wanita-wanita (lain) yang kamu senangi…” (QS. An Nisa’: 3). “Menikah adalah sunnahku, barangsiapa yang membenci sunnahku maka bukan termasuk dari golonganku (umat nabi Muhammad Saw)”. (HR. Ibn Majah no. 1846. Shohih Jami’ As Shoghir no. 6807).

Salah satu fungsi keberadaan syariat agama adalah untuk melayani kebutuhan manusia. Ketika sebuah doktrin agama tak dapat melayani kebutuhan jasmani dan rohani manusia maka ragukanlah agama itu datang dari Sang Pencipta.

Bila diibaratkan sebuah produk sepeda motor, maka produsen sepeda motor tersebut menyertakan buku petunjuk pemakaian agar ia awet. Jika diumpamakan manusia, maka ketika manusia diciptakan maka ia dibekalkan Tuhan sebuah kitab petunjuk sebagai buku pedoman bagi manusia untuk menjalani kehidupannya agar ia awet dan dapat berguna serta bermakna sebagaimana mestinya. Buku petunjuk itu dapat berupa kitab suci sebagai landasan dari sebuah syariat agama.

Bagi Islam sendiri, kehadiran Islam yang memiliki buku petunjuk yaitu Alquran sebagai dasar utama dari syariat Islam, salah satunya berperan dan berfungsi untuk memudahkan manusia dalam menjalani kehidupan. Kitab Alquran dan hadits Nabi Saw sebagai sumber utama dari sumber hukum Islam memuat banyak aturan dan ketentuan untuk membuat manusia dapat bermakna dan memberi makna dalam kehidupan ini. Di antara aturan dan lembaga yang diatur Alquran dan Hadits Nabi adalah lembaga pernikahan. Alquran memuat banyak ayat yang menceritakan dan mengatur tentang pernikahan. Selain Alquran, tidak sedikit pula hadits nabi yang berbicara dan membentangkan secara panjang lebar tentang lembaga pernikahan tersebut.

Kenapa Alquran dan hadits banyak bicara tentang nikah? Oleh karena pernikahan itu kebutuhan dasar manusia dalam menjalani kehidupan.

Sebagai Pencipta manusia, maka Allah Swt sangat mafhum akan kebutuhan ciptaan-Nya. Kebutuhan manusia seperti menyalurkan nafsu biologis tersalurkan melalui nikah. Kebutuhan manusia untuk memiliki keturunan yang mulia, terjadi setelah melalui lembaga pernikahan. Kebutuhan manusia untuk menambah pundi-pundi pahala amal dapat juga melalui pernikahan. Dan lain sebagainya.

Bahkan Islam memberi dua kenikmatan bagi orang melakukan hubungan seks jika ia sudah syah menikah menurut ajaran Islam. Pertama ia menikmati salah satu kenikmatan surga ketika sedang melakukan hubungan seksual. Kedua, iapun mendapat pahala dari Tuhan usai menikmati hubungan seksual jika ia melakukan hubungan tersebut atas dasar niat ibadah kepada Allah Swt dan menjalani sunnah nabi. Begitulah hebatnya syariat Islam. Bahkan bagi orang yang mampu berlaku adil, maka seorang lelaki boleh menikahi lebih dari dua orang perempuan (poligami). Tapi tidak sebaliknya perempuan. Lalu, kenapa perempuan tidak boleh berpoliandri? Salah satunya karena akan tidak jelas, anak yang akan lahir dari hubungan seorang perempuan dengan banyak laki-laki itu siapa bapaknya. Tapi tidak sebaliknya bagi lelaki yang beristri lebih dari satu orang, karena benih itu datang dari satu lelaki, maka anak yang lahir pastilah bapaknya satu. Jadi, ayahnya jelas.

Hari ini banyak orang melakukan hubungan seksual di luar nikah. Problema ini menunjukkan betapa mundurnya peradaban manusia. Keadaan seperti itu lazim terjadi di zaman purbakala dan zaman bakhola’.

Munculnya berbagai penyakit kelamin dan tak terkendalinya akhlak manusia dewasa ini akibat dari melecehkan lembaga pernikahan. Ketika manusia melakukan hubungan di luar nikah, maka ia tak ubahnya seperti hayawan. Padahal yang membedakan manusia dari hayawan salah satunya adalah proses pernikahan sesuai syariat.

Kebutuhan seks, antara manusia dan ayam, kerbau, kambing, harimau, gajah, kuda dan makhluk hewan lainnya hampir sama. Tapi binatang melakukan perkawinan tanpa panduan. Dan itu syah karena mereka tidak diberi kitab panduan dalam kehidupan. Dan tak akan diminta pertanggung jawaban. Tapi berbeda halnya dengan manusia, jika manusia menyalurkan nafsu seksualnya tanpa dipandu syariat dari Ilahi maka ia akan lebih daripada itu. Manusia yang tak peduli pada aturan Tuhan suatu saat akan menyesal karena di dunia ini hidup dalam kerisauan, keresahan dan diliputi berbagai bencana. Kelak di akhirat pun akan direndam dalam api yang menyala dahsyat. Dan itu abadi! Maka menikahlah sesuai dengan aturan Allah Swt.
(By Griven H. Putera)
Pernah dimuat di Koran Riau, Jumat 12 Agustus 2016

Kamis, 28 Juli 2016

Bukan Raja Portuka

Oleh Griven H. Putera

Dalam beberapa cerita rakyat Melayu dikisahkan tentang teroris yang memporak porandakan negeri Melayu disebut Raja Portuka, atau Ajo Potuka. Di sisi lain juga disebut sebagai Raja Hidung Panjang, Nek Gergasi dan lain sebagainya. Raja Portuka atau Raja Hidung Panjang tersebut merupakan tokoh antagonis. Ia dapat dijadikan simbol sosok penjajah, yaitu bangsa Portugis yang pernah menjajah bumi Melayu, dapat juga sebagai penjajah asing (Barat) yang ciri khas mereka di antaranya adalah berbadan besar dan berhidung panjang. Selain itu, banyak juga sastrawan Melayu lama membuat umpama kalau kancil (makhluk kecil) sebagai simbol orang Melayu dapat mengalahkan buaya (simbol penjahat atau penjajah) yang berbadan besar tapi bodoh dan dungu.

Cerita ini sebenarnya ditujukan sang pengarang untuk “menghasut” anak muda Melayu agar walaupun kecil tapi harus berotak besar seperti kancil. Karena ciri khas orang Melayu berbadan kecil. Kehadiran penjajah di negeri Melayu memang amat memprihatinkan. Manusia serumpun Melayu pun berpisah, bercerai berai akibat kedatangan mereka. Hal ini salah satunya dapat dilihat dari akibat Traktat London 1824 yang memisahkan Riau dari Malaysia dan Negara serumpun Melayu lainnya.

Hidup dijajah bangsa asing memang amat pahit, tapi sungguh lebih menyakitkan jika dijajah bangsa sendiri. Saya mengutip pernyataan Bung Karno, katanya “Perjuanganku lebih mudah karena mengusir penjajah, tapi perjuanganmu akan lebih sulit karena melawan bangsamu sendiri.”

Soekarno memang jumawa dan futuris, jauh di masa lalu ia telah mengingatkan tentang beratnya perjuangan dihadapi bangsanya di masa akan datang, bahwa banyak sekali bangsa sendiri bakal menjajah kaumnya. Fenomena lahirya pemimpin di era sekarang tidak sedikit yang berprilaku seperti yang diingatkan Bung Karno tersebut. Ketika seorang calon Gubernur, Bupati sampai Kepala Desa terpilih dan berkuasa, maka ada yang akan melakukan sesuatu di luar kewajaran kepada lawan politik dan para pendukungnya yang kalah. Bahkan para pendukung lawan politik pun amat menderita. Penguasa dan tim sukses tak segan-segan memisahkan suami dengan istri dan anak-anak mereka kalau mereka bekerja di pemerintahan. Sang suami ditempatkan di pangkal kampung sedangkan sang istri dibuang jauh ke hilir negeri. Mereka menjadi orang buangan, seperti juga yang dirasakan Bung Karno di zaman penjajahan.

Selain itu, para aparat di segala lini pun diisi dengan para pendukung walaupun terkadang tidak berdasarkan pada "the right man on the righ place". Hal ini tentu saja disebabkan karena banyak hal, di antaranya biaya politik zaman ini sangat besar. Selain itu juga karena keterlibatan masyarakat dalam pemilihan kepala daerah sangat terasa. Hal ini tentu juga akibat kesadaran berpolitik masyarakat cukup tinggi dan mengalami peningkatan saban tahun. Kehadiran Raja Portuka baru di negeri Melayu sangat tidak diharapkan karena tidak sesuai dengan nilai kearifan Melayu dan bertentangan dengan rasa kemanusiaan universal.

Indonesia, termasuk Provinsi Riau memerlukan pemimpin baru yang tentu saja bakal membawa daerah ini menjadi daerah yang sejahtera lahir dan batin. Mencari pemimpin di sini tentu tidak mudah. Apalagi pemimpin yang dapat membawa banyak perubahan bagi daerah, dan pemimpin yang tidak bergaya “kolonial”, (Raja Portuka) tersebut.

Hemat saya, selain itu Provinsi Riau memerlukan pemimpin yang dapat berbuat banyak, bukan pemimpin yang bicara banyak (pembual). Yaitu pemimpin yang dapat membangun material dan spiritual masyarakat secara nyata (tidak setakat wacana). Membangun material di sini bukan saja membangun gedung sekolah, jalan-jalan, mencari investor, membangun kanal sebagai solusi banjir, dan lain sebagainya tapi lebih daripada itu adalah membangun jiwa masyarakat, membangun jiwa aparat, menempatkan posisi aparat bukan berdasarkan kolusi, korupsi dan nepotisme.

Pemimpin yang diharapkan ke depan bukan pemimpin yang “menindas” dan “menjajah” orang-orang yang berseberangan dengan pemimpin terpilih, tapi merangkul mereka untuk pembangunan manusia seutuhnya secara bersama.

Pemimpin yang berkuasa nanti hendaknya menjadi negarawan. Bukan untuk kepentingannya, keluarganya, para pendukungnya dan ideologinya semata tapi untuk kesejahteraan bersama. Sang pemimpin yang dimaksud hendaknya menjalani hidup selalu berakhlak dan menjadi panutan masyarakat (berjiwa agama). Yang dalam bahasa Melayu lama disebut pemimpin yang, “pepat di luar, pepat di dalam, runcing di luar, runcing di dalam. Kuat tempat bergantung, cerdik jadi penyambung lidah, kaya tempat mengadu dan meminta. Orang yang bermata terang dan berdada lapang”. Tabik…

Pernah dimuat di Koran Riau, 29 April 2016

Isra

Oleh Griven H Putera

Hampir setiap bulan dalam Islam memiliki nilai sejarah. Muharram misalnya diingatkan dengan pristiwa hijrah. Ramadhan pristiwa Nuzul al Quran. Bicara Zulhijjah, diingatkan dengan pristiwa haji dan kurban. Syawal ada pristiwa idul fitri. Rabi al Awwal ad pristiwa Maulid Nabi Muhammad Saw. Bulan Rajab, diingatkan dengan pristiwa israk dan mikraj. Alquran memang bukan kitab sejarah, tapi Alquran banyak menceritakan tentang pristiwa bersejarah. Dan kalau diperhatikan, gaya bahasa yang digunakan Alquran dalam menceritakan pristiwa-pristiwa bersejarah itu berbeda antara satu dengan lainnya. Khusus, bahwa menceritakan isra dan mikraj, Allah memulai ayatNya dengan menggunakan kalimat tasbih seperti yang dibaca dalam Surat Bani Israil ayat pertama. Subhanallazi… lailan ….. Maha Suci Allah yang telah memperjalankan hamba-Nya pada suatu malam dari Masjid al Haram di Mekkah ke Mesjid al Aqsa di Palestina. Bila ayat ini didekati perkalimat, maka akan memudahkan pengertian dalam memahami pristiwa israk dan mikraj ini. Ayat ini dimulai dengan kalimat subhanallazi.

Dalam ilmu balaghah, kalimat semacam ini disebut dengan kalimat I’jaz. Yaitu kalimat yang redaksinya ringkas namun isinya padat. Di situ ada kalimat yang tersirat yaitu lafz al jalalah. Sehingga kalimatnya subahanallahillazi, Maha Suci Allah. Memang banyak pristiwa bersejarah yang diceritakan Alquran. Tapi jarang diawali dengan kalimat tasbih. Allah menceritakan nabi Adam tidak dimulai dengan kalimat tasbih. Cerita Firaun dan bala tentaranya yang ditenggelamkan di lautan merah, dan itu merupakan kejadian hebat, tidak dimulai dengan kalimat tasbih. Pun Alquran menceritakan umat nabi Soleh, umat nabi Hud dan lain sebagainya, tidak dimulai dengan kalimat tasbih. Semua itu diceritakan Alquran tetapi tidak satupun diawali dengan kalimat tasbih.

Khasais, Allah menceritakan pristiwa israk mikraj ini dengan kalimat tasbih. Subhanallazi, Maha Suci Allah. Maha suci dari kekurangan, maha suci dari kelemahan. Maha suci dari ketidak mampuan. Allah mempertaruhkan kesucian-Nya untuk menjamin kebenaran pristiwa israk dan mikraj. Dan ini sebagai pertanda bahwa israk dan mikraj bukan sekadar pristiwa biasa. Tapi merupakan pristiwa yang amat luar biasa. Sampai Allah memulainya dengan alimat tasbih.

Apa hikmah yang bisa diambil dari kalimat tasbih ini? Kata selanjutnya adalah asro, maha suci Allah yang telah memperjalankan hamba-Nya. Asal kalimat ini adalah saro, yasri, siiru. Lalu dibentuk dalam kalimat muta'addi menjadi asro. Asro, yusri, isro-an. Maha suci Allah yang telah memperjalankan. Dari ayat ini tampak bahwa yang aktif itu sebenarnya Allah. Nabi pasif. Allah yang memperjalankan, sedangkan nabi diperjalankan. Maka tidak heran beliau berangkat dari Mekkah ke Palestina, lalu naik ke langit pertama, kedua, ketiga, sampai ketujuh lalu naik ke rafraf al akhdar, sampai ke sidrat al muntaha, sampai ke ‘arsy, menerima perintah shalat, mengunjungi syurga dan neraka, lalu kembali lagi ke Mekkah tidak lebih dari sepertiga malam. Kenapa bisa?

Karena Rasulullah diperjalankan. Andaikata Nabi berjalan sendiri, tentu dia tidak akan mampu menempuh jarak yang demikian jauh dalam waktu yang relatif singkat. Artinya, dalam memahami pristiwa israk dan mikraj ini, yang dipakai bukan logika intelektual manusia biasa tetapi logika kemahakuasaaan yang mutlak dari Allah Swt. Ini kehendak Allah bukan kehendak nabi Muhammad saw. Akal manusia belum mampu memahaminya (bukan tidak mampu tapi belum mampu). Kemudian kalimat bi’abdihi. Maha suci Allah yang telah memperjalankan Hamba-Nya.

Kenapa Allah memakai kalimat tidak langsung, kenapa tidak langsung memakai maha suci Allah yang telah memperjalankan Muhammad. Kenapa memakai bia’abdihi. Maha suci Allah yang telah memperjalankan hamba;Nya. Apa maksudnya? Dalam kalimat hamba, terdapat dua hal; pertama, kata hamba di sini menjelaskan bahwa nabi Muhammad Saw israk dan mikraj dengan ruh dan jasadnya sekaligus. Sebab, orang akan dipanggil hamba kalau punya ruh dan jasad. Jadi, israk mikraj terjadi dengan jasad dan ruh. Kedua, bia’bdihi itu, oleh Allah menjelaskan bahwa Nabi Muhammad itu benar-benar diakui Allah sebagai hamba. Lalu timbul pertanyaan, apakah kita ini hamba Allah?

Ya, kita ini hamba Allah, tapi itu pengakuan kita. Cuma apa itu diakui atau tidak? Berapa banyak manusia dalam hidup, mulutnya berkata saya hamba Allah tapi perbuatannya membuktikan ia hamba dunia. Hamba nafsu. Budak jabatan, budak pangkat. Tindakan tidak sesuai dengan ucapannya. Dari kalimat bia’bdihi ini dapat ditarik hikmah; sekali mengaku hamba Allah jangan menghamba kepada yang selain Allah. Sebab syahadat yang diucapkan punya konsekwensi. Asyhadu an la ilaha illallah, waasyhadu anna muhammadan rasulullah. Maka itu berarti, saya tidak akan menyembah kecuali hanya kepada Allah. Saya tidak akan pernah takut kecuali hanya kepada Allah. Saya tidak akan pernah minta tolong kecuali hanya kepada Allah. Saya tidak akan menggantungkan hidup kecuali kepada Allah. Itulah konsekwensi logis dari kalimat syahadat itu. Adapun nabi, sebelum dipanggil bi’abdihi dalam ayat ini, terbaca dalam sejarah, tahun-tahun ia sebelum dipanggil dengan bi’abdihi tersebut sebagai tahun kelabu, tahun duka cita (‘amul huzni). Beliau ditinggal paman tercinta Abu Thalib, ditinggal istri tersayang Khadijatul Kubro. Wafatnya dua orang pelindung ini, makin meningkat tekanan kafir Qurays. Dihina, dicemoohkan, dicaci maki. Dilempari dengan kotoran onta. Bahkan diancam untuk dibunuh. Lulus dalam semua itu, Allah panggil beliau bi’abdihi. Lalu apa tujuan dari israk dan mikraj itu. Hakikatnya tentu Allah yang tahu. Namun kalu dilihat pada penghujung ayat kita akan menemukan kalimat linuriyahu min ayatina. Keseluruhan perjalanan yang ajaib itu, sejak berangkat sampai kembali ke Mekkah, tujuannya linuriyahu min ayatina. Untuk perlihatkan kepada nabi Muhammad itu sebagian kecil dari tanda-tanda kekuasaan Kami.

Pernah dimuat di Koran Riau, Jumat, 13 Mei 2016

Riau dan Pesantren

Oleh Griven H Putera

Istilah pesantren belum lama masuk ke Provinsi Riau. Bila diihat secara sepintas, istilah itu baru muncul pada tahun dua puluhan, yaitu Daarul Muallimin Bangkinang yang didirikan Buya H Abdul Malik, PP MTI (Pondok Pesantren Madrasah Tarbiyah Islamiyah) Tanjung Barulak Kampar yang didirikan Buya H Abdul Hamid Harun (1923), sesudah itu baru muncul PP (Pondok Pesantren) Daarun Nahdhah Thawalib Bangkinang (1948) yang didirikan Buya H Muhammad Nur Mahyudin, PP Darussalam Batu Bersurat didirikan Buya Syekh Abdul Ghani (1965), dan PP Islamic Center Kampar (1985) yang didirikan Buya H Bakhtiar Daud. Setelah itu barulah muncul berbagai pesantren di Riau, baik bersifat salafiyah maupun khalafiyah.

Menurut data Bidang PendikanAgama dan Keagamaan Islam Kanwil Kemenag Riau terbaru, sekarang jumlah pesantren di Provinsi Riau berjumlah 189 buah yang tersebar di dua belas kabupaten dan kota. Sebelum lembaga pesantren muncul di Riau, sejumlah lembaga pendidikan bersifat keagamaan sudah ada dan eksis di kampung-kampung kecil. Lembaga yang berperan itu adalah lembaga suluk dari penganut tarikat Naqsyabandiyah. Lembaga suluk ini terus eksis higga kini.tapi tentu saja khusus bagi penganut tarekat tersebut. Dan kontribusi lembaga ini tentulah amat besar bagi keislaman Melayu yang lembut dan penuh toleran.

Selain suluk, di mushalla atau surau yang ada, muncul juga beberapa majelis taklim yang diasuh oleh ulama yang berkompeten di bidangnya. Kegiatan ini tentu saja lebih terbuka untuk umum dan terjadwal, kadang sekali dalam sepekan.

Tak dapat dipungkiri, bahwa kontribusi alumni pesantren bagi pembangunan bangsa amat besar. kalau di Indonesia misalnya telah melahirkan banyak tokoh besar seperti Prof Nurcholis Madjid, KH Abdurrahman Wahid, Prof Said Aqil Al Munawwar, Prof Ali Musthafa Yakub, Prof Nasharudin Umar dan lain sebagainya. Di Riau sendiri misalnya, sekedar menyebut beberapa nama, ada Prof Amir Luthfi, Prof Nazir Karim Prof Munzir Hitamy (ketiganya alumni PP Daarun Nahdhah Bangkinang, dan pernah menjadi rektor IAIN/UIN Suska Riau), ada juga alumni PP MTI Tajung Barulak yaitu Buya H Bachtiar Daud (Mantan Ketua MUI Riau), KH Busra (Pimpinan PP Al Munawwarah), H Rustam Efendy (Mantan Bupati Pelalawan) dan lain sebagainya.

Menurut PMA Nomor 13 Tahun 2014, yang disebut pesantren adalah lembaga Keagamaan Islam yang menyelenggarakan satuan pendidikan pesantren dan atau secara terpadu menyelenggarakan pedidikan lainnya. Kitab kuning merupakan kitab keislaman berbahasa Arab yang menjadi rujukan tradisi keilmuan Islam di lembaga ini. Pola pendidikan mua'llimin adalah sistem pedidikan pesantren yang bersifat integratif, dengan memadukan ilmu agama Islam dan ilmu umum serta bersifat komprehensif dengan memadukan intra, ekstra dan kokurikuler.

Tujuan pendidikan pesantren ini amat mulia yaitu, pertama menanamkan kepada peserta didik agar beriman dan bertakwa. Kedua, mengembangkan kemampuan, pengetahuan, sikap dan keterampilan agar mutaffaqquh fi al-din, serta dapat mejalankannya dalam kehidupan sehari-hari. Yaitu mengembangkan pribadi akhlaq al- karimah yang memiliki kesalehan individual dan sosial dengan menjunjung tinggi jiwa keikhasan, kesederhanaan, kemandirian, persaudaraan sesama umat Islam, rendah hari, toleran, keteladanan, keseimbangan, moderat, pola hidup sehat dan cinta tanah air.

Menurut pasal 3 PMA nomor 13 tahun 2014, pesantren merupakan bagian dari pendidikan keagamaan Islam. Kemudian, sebuah lembaga baru dinamakan pesantren jika memiliki lima unsur di dalamnya, yaitu pertama kiyai atau sebutan lain yang sejenis; kedua satri; ketiga pondok atau asrama; keempat masjid atau mushalla; dan kelima memiliki pengajian dan kajian kitab kuning atau Dirasah Islamiyah dengan pola pendidikan mu’allmin. Sedangkan muatan kurikum pesantren sebagai satuan pendidikan terdiri dari Alquran, tafsir, ilmu tafsir, hadits, ulumul hadits, tauhid, fiqh, usul fiqh, akhlaq, tasawuf, tarikh, bahasa Arab, nahwu sharaf, balaghah, ilmu kalam, ilmu ‘arudl, ilmu manthiq, ilmu falaq dan disiplin ilmu lainnya.

Di samping sebagai satuan pendidikan, pesantren dapat menyelenggarakan satuan atau program pendidikan lainnya yang meliputi pendidikan Diniyah Formal, Pendidikan Diniyah Non-Formal, Pendidikan Umum, Pendidikan Umum berciri khas Islam, Pendidikan Kejuruan, Pendidikan Kesetaraan, Pendidikan Mu’adalah, Pendidikan Tinggi, atau program pendidikan lainya.

Di Provinsi Riau, pada tahu 2015 lalu, sejumlah pesantren memperoleh bantuan dari pemerintah (Kementerian Agama) seperti program sanitasi, rehabilitasi, genset, meubeler, serta alat belajar lainnya, namun pada 2016 hanya berupa bantua Pos Kesehatan Pesantren (Poskestren) serta rehabilitasi. Sedangkan batuan pemerintah provinsi dan pemerintah kabupaten/kota belum jelas.

Bila dibandingkan dengan sekolah yang berada di lingkungan Kemendiknas, Pesantren tentu saja belum mendapat perhatian memadai dari pemerintah. Padahal, kehadiran PMA Nomor 13 tahun 2014 merupakan payung hukum kuat untuk memperhatikan pesantren ini agar lebih serius. Jangankan bila dibading dengan sekolah di lingkungan Kemendikbud, dibandingkan Madrasah Aliyah Negeri (MAN), Madrasah Tsanawiyah Negeri (MTsN) dan Madrasah Ibtidaiyah Negeri (MIN) saja, keberadaan pesantren masih di kurang perhatian.

Kurangnya pandangan dan perhatian pemerintah, terutama pemerintah provinsi dan dan kabupaten/kota terhadap pesantren disebabkan beberapa hal, pertama sosialisasi PMA nomor 13 tahun 2014 belum maksimal dilakukan Kementerian Agama. Kedua, pemeritah daerah selama ini belum benar-benar memperhatikan substansi pembangunan keagamaan di daerah masing-masing. Walaupun di pemprov atau pemkab/pemkot ada bidang yang menangani urusan keagaman, namun selama ini baru setakat pada dataran permukaan, seperti pelaksanaan MTQ, peringatan hari besar Islam dan kegiatan-kegiatan seremonial saja. Padahal, jika program keagamaan itu diarahkan ke pesantren alangkah bijaknya, karena pesantren telah melahirkan banyak tokoh yang membangun umat, mulai tokoh agama di pemeritahan, lembaga budaya, lembaga sosial kemasyarakatan, para da’i, ulama kharismatis dan sebagainya.

Pernah dimuat di Koran Riau, Jumat, 20 Mei 2016

Persiapan di Syakban

oleh Griven H. Putera

Allahumma barik lana fi Rajaba wa Sya’ban, wa ballighna Ramadhan. (Ya Allah, berkatilah kami pada bulan Rajab dan Syakban, dan sampaikan umur kami pada bulan Ramadhan). Demikian doa yang selalu diucapkan Rasulullah Saw. ketika berada di bulan Syakban.

Kenapa Rasulullah selalu mengucapkan doa tersebut? Zalika syahrun yaghfulu al-nasa ‘anhu baina rajaba wa ramadhan. (Karena pada bulan itu manusia lalai memperhatikannya. Bulan tersebut adalah yang berada di antara Rajab dan Ramadhan).

Bulan Ramadhan diperhatikan dan dimuliakan manusia karena pada saat itu ada sebuah bonus istimewa dari Allah Swt. yaitu diturunkan Lailat al-Qadar. Mukmin yang beribadah pada saat itu sama dengan beribadah selama seribu bulan. Rajab diagungkan karena bulan tersebut termasuk syahr al-haram (bulan mulia), pada bulan tersebut turunnya perintah shalat wajib setelah Rasulullah Saw. melakukan rihlah akbar Isra dan Mikraj. Sementara bulan Syakban dimuliakan, karena Rasulullah Saw. bersabda, “Wa huwa syahrun turfa’u fiihi al-a’malu, wa uhibbu an yurfa’a ‘amali wa ‘amali shaim”. (Pada bulan itu diangkat amalan, dan aku mencintai Allah Swt mengangkat amalanku dan amal orang yang berpuasa). “Sesungguhnya Allah memperhatikan malam pertengahan Sya’ban. Maka Dia mengampuni semua makhluk-Nya, kecuali orang musyrik dan orang yang bermusuhan. ”Pada saat itu semua dosa hamba yang beribadah diampuni kecuali; fayaghfiru lijami’i khalqihi illa limusyrikin wa musyahin. (Semua dosa diampuni kecuali dosa musyrik dan dosa orang yang tidak mau berdamai dengan orang lain).

Ada beberapa persiapan yang hendaknya dilakukan hamba pada bulan Syakban demi menyambut kedatangan Ramadhan. Di antaranya: pertama melakukan muhasabah (perenungan diri). Seorang mukmin yang baik hendaknya menyediakan suatu waktu di mana ia menyendiri (berkontemplasi); mengaji diri; siapa dia; dari mana ia berasal; sedang di mana kini; dan akan kemana nanti. Kalau ia seorang hamba Allah, sudahkah semua kehendak Allah dilakukan dalam hidupnya selama ini. Jangan-jangan ia telah berubah menjadi hamba dunia, hamba nafsu, hamba setan, hamba harta, budak jabatan, budak atasan atau hamba istri dan anaknya. Jika itu terjadi, menyesallah.

Kedua, lakukan taubat nasuha. Sesali kekhilafan, kesali dan tangisi kesalahan dan semua dosa yang pernah dilakukan. Setelah itu ucapkan banyak-banyak kalimat istighfar (Astaghfirullah al aziem). Rasulullah Saw. saja yang bebas dari dosa (al-ma’shum) melakukan istighfar 100 kali sehari semalam, maka sebagai umatnya, tentulah dituntut lebih banyak lagi. Setelah itu, bertekadlah dalam hati untuk tidak mengulangi lagi kesalahan tersebut. Taubat atau tawbah (bahasa Arab) itu terdiri dari huruf T, W, B, H (ta marbuthah). Menurut beberapa ulama, T itu merupakan tarku ‘an al-mukhalafat (meninggalkan semua kesalahan) wa al-nadmu min al-zunubi (menyesali semua kesalahan yang telah dilakukan). W: wushulu ila tha’atillah (melakukan ketaatan kepada Allah). B: barakatillah (mendapat berkah Allah). H: Hidayatullah. (menuai hidayah Allah). Artinya, orang taubat adalah orang yang berusaha meninggalkan kebiasaan buruknya, menyesali perangai tak baik yang pernah dilakukannya, kemudian ia pun melakukan ketaatan kepada perintah Allah dan rasul-Nya. Selanjutnya ia akan menerima berkah Allah dan mendapat hidayah-Nya.

Ketiga, perbaiki hubungan dengan sesama manusia. Islam ini intinya adalah agama yang mendorong umat manusia hidup rukun dan damai dalam kebersamaan. Pada bulan Syakban jangan ragu minta maaf dan memaafkan kepada orang tua, tetangga, karib kerabat, sanak saudara, handai taulan, bawahan dan atasan. Jalin silaturrahim dengan sesama manusia. “La yadkhul al-jannah qathi’u al- rahmi wa jaru al- su,i”. (Tidak masuk syurga manusia yang memutuskan tali silaturrahim dan tetangga yang jahat).

Dalam tradisi Melayu, terjadi jenguk menjenguk sanak keluarga di bulan Syakban, biasanya usai melaksanakan petang megang di petang terakhir Syakban, sebelum melakukan ibadah puasa. Yang muda mengunjungi rumah yang tua, sang adik bertamu ke rumah kakak atau abangnya, hamba rakyat bersilaturrahim ke rumah para tetua adat, tokoh agama, dan peneraju lembaga pemerintahan.

Memutihkan hati demi menyambut bulan putih (Ramadhan). Ini merupakan implementasi orang Melayu dalam memahami hadits di atas. Keempat, bagi yang kurang sehat fisiknya, di pengujung Syakban mengurangi aktivitas berlebihan, agar ketika masa Ramadhan tiba, ia mampu melakukan puasa di siang hari dan kuasa mendirikan shalat tarawih serta ibadah lainnya ketika malam.

Kelima, mempersiapkan Alquran. Sebagai kitab suci umat Islam, sejatinya muslim memiliki Alquran baru setiap tahunnya. Kaum muslim biasanya akan membeli baju baru, mengecat rumahnya dengan warna baru, kalau perlu membeli mobil baru di penghujung Ramadhan, tapi sebagian mereka lupa pada Alquran dengan corak dan kelengkapan baru yang lebih sempurna.

Lebih baiknya, Alquran baru tersebut ada petunjuk membacanya, baik dari segi tajwid, seni maupun makna dan tafsirannya. Bagaimana Alquran jadi pedoman dan petunjuk kehidupan, sementara isi kandungannya tidak diketahui dan dipahami. Jika merasa kesulitan membawa Alquran besar, maka Alquran digital menjadi solusi terbaik. Isilah handphone dan gadget dengan versi Alquran dari berbagai ragam seni bacaan dan tafsirannya yang diakui ijmak ulama.

Keenam, mengqadha puasa yang luput di tahun lalu. “Man maata wa ‘alaihi shiyamun, shaama ‘anhu waliyyuhu.” (Orang yang telah meninggal dunia dan ia punya utang puasa, maka keluarganya yang membayarnya). Jadi, bagi yang belum mengqadha puasa yang tidak dilaksanakan pada Ramadhan lalu, maka pada bulan Syakban ini merupakan masa tersisa untuk membayar utang tersebut karena itu merupakan utang kepada Allah. Jika itu tak dibayar, dan ia meninggal dunia, maka utang itu dibebankan kepada ahli warisnya.

Ketujuh, mengetahui seluk beluk Ramadhan. Memiliki buku tentang Ramadhan merupakan hal yang mustahak dilakukan. Mengetahui apa itu puasa, apa amalan utama serta pantang larang yang dilakukan selama Ramadhan. Mulai metode zikir, cara bertarawih yang baik dan benar serta mengetahui pentingnya sahur serta amalan-amalan sunat lainnya.

Kedelapan, mempersiapkan logistik berlebih sebagai stok selama Ramadhan. Persiapan lebih ini bukan hanya untuk pribadi dan keluarga tapi untuk dibagi bersama saudara seiman dan se-iktikad selama bulan Ramadhan. Berbagi perbukaan puasa saja demikian besar ganjarannya apalagi membantu biaya kehidupan yang lebih besar. “Man fatthara shaiman kana lahu mistlu ajrihi.” (Orang yang memberi perbukaan bagi yang puasa, ganjarannya sama dengan orang yang puasa tersebut). 

Kesembilan, sebagai seorang muslim-mukmin yang jati, kaum muslim mulai saat Syakban ini sejatinya telah melakukan survey kecil-kecilan bagi saudara dan tetangganya yang memerlukan bantuan. Ia jenguk kaum miskin di kampung kumuh dan panti jompo, ia tengok saudara sesama muslim di rumah sakit, melakukan ziarah ke pusara ayah-bunda dan sanak keluarga yang telah berpulang ke rahmatullah. Dengan melakukan itu semua, hati menjadi peka, menjadi lembut (lathif dan hanif), sehingga ia pun mulai mengulurkan pertolongan. Ketika nanti Ramadhan tiba, uluran bantuan tersebut pun makin berlimpah sehingga jadilah ia sebagai mukmin yang insan al-kamil, manusia yang memperoleh award berupa mutattaqin. Kehadirannya dinantikan, kepergiannya ditangiskan. Di dunia bahagia, balik ke alam baka dalam naungan ridha Allah Swt. Wallahu ‘alam. Pernah dimuat di Koran Riau, Jumat 27 Mei 2016

Pesan di Petang Megang

Ramadhan sekejap lagi ‘kan datang. Umat muslim amat beruntung karena masih diberi Allah SWT. kesempatan menjumpai saat-saat penuh rahmah, berkah dan maghfirah itu. Saat untuk menambah bekal buat ”mudik abadi”.

Sebelum Ramadhan tiba, biasanya sebagian umat muslim di Provinsi Riau melakukan banyak ritual sebagai salah-satu bentuk implementasi anjuran Nabi Muhammad SAW dalam menyambut bulan suci ini. Tradisi Petang Megang, Balimau Kasai, Mandi Berlimau dan Mandi Sultan biasanya merupakan bentuk dari ritual kegembiraan tersebut. Selain merupakan ekspresi luapan kegembiraan karena Allah SWT. masih memberi kesempatan untuk memperbanyak amal saleh sebagai bekal hidup abadi di akhirat kelak pada bulan Ramadhan, peristiwa mandi Petang Megang konon dahulunya memang dilakukan umat muslim di Riau untuk menyucikan diri sebelum datangnya bulan suci, karena orang yang telah menyucikan dirilah yang bakal mendapatkan berkah dari kehadiran bulan suci dan agung tersebut. Dan jika perjanjian sampai (meninggal), maka hanya orang yang selalu menyucikan diri pulalah yang akan tenang bersama Zat Yang Maha Suci.

Konon, mandi pada petang menjelang puasa tersebut diniatkan untuk bertobat dari segala dosa dan memegang janji untuk melaksanakan puasa sepenuh jiwa raga. Puasa dengan niat yang ikhlas untuk mengikuti segala aturan puasa dengan sungguh-sungguh dan menjauhi seluruh pantang larangnya sesuai dengan syariat Allah SWT. dan Rasulullah SAW.

Pada awalnya, ritual mandi tersebut dilaksanakan pada petang menjelang magrib di rumah atau di tepian masing-masing, dan dilakukan secara sendiri-sendiri, bukan dipesta porakan seperti sekarang. Air mandi (Air Pecung) tersebut dicampur bedak tepung beras dan berbagai macam tumbuhan harum yang direbus, mulai daun pandan wangi, serai ekuk, daun keteman, akar rusa-rusa dan buah limau yang iris, hingga aneka bunga-bungaan yang mendatangkan aroma harum penyedap hidung dan pelemak hati seperti bunga melati, bunga tanjung dan lain-lain.

Seusai mandi tersebut, yang dahulunya diiringi azam untuk melakukan puasa, dan azam meninggalkan segala perangai dan tingkah tak baik selama ini, maka terjadilah proses silaturrahim antara keluarga dan sanak saudara. Yang muda mendatangi yang tua, rakyat mendatangi pemimpinnya. Terjadi tradisi saling memberi maaf. Terciptalah hati yang penuh dengan kesucian dan kelembutan. Diharapkan dengan hati yang suci dan lembut maka hati akan dapat menyerap nilai Ilahiyah selama melaksanakan ritual ibadah selama bulan Ramadhan. Bagi orang yang terbiasa melakukan ritual ini, serasa ada yang kurang dari puasanya kalau mandi di petang Sya’ban ini tak dilaksanakan.

Harapan dari peristiwa mandi wangi di petang akhir bulan Sya’ban ini agar mereka esok harinya mampu melaksanakan puasa dengan benar. Mempuasakan diri dari makan, minum, bergaul intim suami istri, berkata kotor, memfitnah, bergunjing, bersikap sombong dan segala yang membatalkan puasa mulai terbit fajar hingga cahaya lembayung berbuai di belahan barat langit senja (terbenam matahari). Atau melaksanakan puasa tidak lagi sekadar pada tataran fiqh semata tapi terus berlanjut pada wilayah tarekat, hakikat, makrifat dan mahabbat (puasa sufistik).

Sempena berlalunya masa, setelah menjadi ritual temporal dan diagendakan pemerintah daerah, ritual yang dianggap bersifat privat dan sakral tersebut pun menjadi seremoni jamaah yang melenceng dari spirit awal. Mandi tobat yang diiringi rasa gembira tersebut pun dimobilisasi dan dipestaporakan secara berlebihan sehingga banyak mengalami penyimpangan. Yang tampak ke permukaan kini hanya kegiatan hura-hura dan banyak bertentangan dengan nilai Islam dan adat budaya. Muda-mudi bercampur-baur, (bila ditilik ajaran Islam secara tajam, jangankan ketika mandi, saat shalat saja, tempat perempuan dipisahkan dari laki-laki. Apalagi mandi. Ini bersangkut kait dengan aurat). Pun, pada saat acara Balimau Kasai dan sebutan lainnya itu, Salat Asar dan Magrib pun lesap, bersukaria melampaui batas hingga ada yang tenggelam akibat ditelan arus serta berbagai mudarat lainnya.

Tak dapat memungkiri sejarah bahwa Petang Megang atau Balimau Kasai ini pernah ada di Riau, terutama pada masyarakat di pinggir sungai Siak, Sungai Kampar dan Sungai Indragiri. Namun pelaksanaannya secara pribadi di tepian masing-masing.masyarakat Melayu punya kata petuah yang mangkus, “Negeri Beradat, Tepian Berbahasa.” Di negeri ada adatnya, di tepian pun ada adabnya. Perempuan mandi di tempatnya, dan lelaki pun mandi di tepiannya pula. Mereka tidak mau bercampur baur tak menentu karena itu merupakan bagian dari implementasi akal budi dan nurani serta nilai Islami.

Pun, kalau ada semenda mandi, maka orang beradat pun bersabar menunggu selesainya sang semenda mandi, baru ia melangkah ke tepian. Jadi, jangankan dengan perempuan non-muhrim, dengan abang dari istri atau adik lelaki dari istrinya pun ia tak mau mandi bersama. Begitulah adat dan adab orang Melayu dalam hal mandi. Dan di sebagian negeri Melayu, dahulu ketika menghadapi bulan Ramadhan, tepian atau tempat mandi perempuan di sungai pun diberi dinding atau pagar dari manggar kelapa supaya tidak terlihat oleh orang lain.

Harapan Pertama, karena tradisi petang megang telah dilaksanakan saban tahun oleh hampir seluruh pemerintah daerah di Riau, maka menjadi tanggung jawab pemerintah pula untuk menertibkan pelaksanaan tersebut hingga tidak keluar dari nilai Islam dan adat budaya serta tidak memakan korban jiwa.

Kedua, tokoh agama dan tokoh adat hendaknya memberikan ide konstruktif bagi pemerintah daerah tentang bagaimana aturan dan tata tertib pelaksanaan acara petang megang tersebut sehingga tidak menyimpang dari agama, adat-istiadat, memakan korban jiwa dan jatuh dalam perbuatan sia-sia.

Ketiga, kepada masyarakat luas diharap menjaga ketertiban dan keamanan. Jangan sampai maksud baik tapi ternoda. Hajat hendak memuliakan tamu bernama Ramadan malah jatuh ke ranah kemaksiatan.

Keempat, inti dari acara petang megang itu sebenarnya silaturrahim. Untuk itu, setelah melaksanakan mandi, maka lakukanlah silaturrahim. Yang muda mendatangi yang tua. Adik mendatangi abang atau kakaknya. Rakyat mendatangi pemimpinnya. Tebarkan sikap memaafkan pada akhir Sya’ban ini. 

Kelima, tumbuhan harum yang digunakan pada saat mandi di petang megang atau balimau kasai merupakan bagian dari alam. Ini mengisyaratkan supaya masyarakat mencintai alam. Menanam serai wangi, bunga melati, limau purut, bunga tanjung dan tumbuhan lain di pekarangan rumah atau di sekitar lingkungan tempat tinggal merupakan kegiatan yang mesti dilakukan. Ini pun telah dicontohkan orang tua-tua Melayu dahulu yang menjadikan sekeliling rumahnya sebagai taman indah dan harum sepanjang masa.

Keenam, kepada pemerintah, tokoh agama dan adat, tokoh masyarakat serta lembaga sosial keagamaan seperti MUI Riau dan lembaga keagamaan lainnya untuk melakukan tinjau dan kaji ulang pelaksanaan petang megang dan istilah lainnya tersebut sehingga dampak negatif dari tradisi-tradisi itu tidak membuat jatuh marwah dan membuat murka Allah SWT. Perlu juga direnungi, terkadang suatu amal yang sifatnya untuk pribadi lalu dilakukan secara berjemaah, maka itu pun ada problemanya. Mandi di petang megang itu awalnya untuk pribadi di rumah atau tepian masing-masing, kini dibuat berjemaah dan dihelatkan, maka tentu saja ada nilai kurang dan lemahnya. Kalau tidak dibuat aturan yang kuat dan sanksi tegas, maka malah menimbulkan dosa secara berjemaah. Selamat melaksanakan ibadah Ramadan 1437 Hijriah.

Semoga ridha Allah Swt. menyertai kita semua, dan menjadikan negeri Melayu ini tetap bertuah di bawah naungan ridha Allah. Allahumma bariklana fi rajaba wa sya’bana wa ballighna ramadhan.*** (By Griven H. Putera) pernah dimuat di Koran Riau, Jumat 03 Juni 2016

Pasar Wisata Ramadhan

Ramadhan ini benar-benar bulan penuh dengan keberkahan. Bukan saja bagi orang mau melaksnakan ibadah mahdhah dan ghairu mahdhah di siang dan malamnya tapi juga bagi orang lain yang tidak melakukan apa-apa. Bahkan bagi non muslim pun mendapat curahan atas datangnya bulan ini. Salah seorang teman sekantor saya yang non-muslim pun katanya berbahagia ketika datangnya bulan Ramadhan ini disebabkan beberapa hal, di antaranya; pertama karena Tunjangan Hari Raya (THR) keluar sebelum idul fitri. Sementara bagi agama mereka, tunjangan hari raya tersebut tak ada walaupun mereka punya hari raya juga. “Walaupun kaum muslim yang berhari raya, berkah dari Ramadhan ini kami dapatkan juga. Kami dapat THR juga,” katanya sambil tertawa gembira. Kedua, anak-anaknya pun, menurutnya, bila petang datang di bulan Ramdhan ini, maka mereka akan berselonjak hendak menjejak kaki di pasar kaget Ramadhan untuk mencicipi bermacam bagai penganan walau pun mereka tak berpuasa. Mereka ingin mencicipi aneka kuliner yang dijual selama musim Ramadhan. Selain memberi kegembiraan bagi non-muslim tadi, kehadiran pasar Ramadhan juga mendatangkan pintu rezeki baru bagi penjual, atau pedagang, baik pedagang makanan maupun pedagang kembang api. Selama Ramadhan banyak bermunculan kuliner jenis lama maupun baru, baik tradisional maupun modern. Orang yang selama ini tidak berjualan, tiba-tiba selama Ramadhan sibuk menjadi pedagang. Dan semua itu tentunya memudahkan bagi penduduk muslim yang melakukan puasa sebagai santapan dalam talam saat berbuka, balik tarawih dan ketika makan dinihari (sahur). Sungguh, macam-macam penganan, baik tradisional maupun modern dapat dicicipi dengan mudah di pasar rakyat ini. Akan tetapi kaum muslim atau konsumen juga harus berhati-hati terhadap adanya makanan yang non-higienis yang mengandung borax, formalin, rodamin B dan lain sebagainya. Tentulah memantau dan meneliti ini menjadi kerja khusus bagi pihak Dinas Kesehatan dan Dinas Pasar, Balai BPOM serta lembaga yang terkait agar kehadiran pasar Ramadhan ini benar-benar menjadi berkah, bukan malah menambah penyakit baru yang menyengsarakan masyarakat. Melihat fenomena tersebut, sejatinya pemerintah meneruskan semangat pasar rakyat tersebut selama dan sesudah Ramadhan karena akan menambah pendapatan masyarakat, menambah tenaga kerja dan memudahkan konsumen dalam menikmati kuliner tertentu. Akan tetapi ini diperlukan manjemen modern yang tentu saja menyejahterakan pedagang dan masyarakat sekitar. Keberadaan pasar Ramadhan ini, hemat saya elok juga dikembangkan di kampung-kampung karena yang terlihat selama ini, eforia pasar Ramadhan hanya marak di kota-kota. Di kampung-kampung Melayu kini, jangankan pasar Ramadhan, pasar mingguan atau pekan pun terkadang ada yang belum punya. Dengan tidak terdapatnya pasar ini juga bersangkut kait dengan produktifitas penduduk. Motivasi mereka bercocok tanam dan memproduksi produk tertentu akan berkurang karena biaya yang ditimbulkan akibat membawa hasil kebun mereka ke kota memakan dana yang juga tidak sedikit. Jadi, jangan sebut Melayu atau orang kampung pemalas, padahal fasilitas untuk memasarkan produk mereka selama ini belum bahkan tidak jelas difasilitasi pemerintah, terutama lembaga yang terkait dengan itu. Selain itu, bagi suatu kabupaten tertentu, pihak Pemkab dapat membuat pasar Ramadhan yang khusus menjual kuliner daerah tersebut. Sehingga ini dapat dinikmati masyarakat tempatan serta menjadi tujuan wisata yang menjadi salah satu kebanggaan daerah tersebut. Dengan ini, maka semangat berwiraswasta masyarakat kampung dapat ditingkatkan untuk mewujudkan peningkatan ekonomi mereka. Selain itu, kehadiran pasar Ramadhan ini, jika dikelola dengan baik akan menjadi objek wisata tersendiri bagi pengunjung sebelum masuknya waktu berebuka puasa. Atau sebagai tempat untuk “melengah puasa” sebelum berdentungnya beduk berbuka. Tapi, selama ini akibat tidak ditata dengan baik, di suatu tempat, malah kehadiran pasar Ramadhan ini membuat jalan raya menjadi macet, sampah berserak dan menyusahkan pengguna jalan. Jadi, hemat saya, pemerintah, terutama Dinas Pasar hendaknya memandang kehadiran pasar Ramadhan ini sebagai upaya yang mengandung inspirasi untuk menciptakan pasar-pasar baru di pelosok dusun, parit dan kampung di Provinsi Riau yang ditata dengan pikiran jernih dan ketulusan hati nurani. Selain untuk meningkatkan ekonomi rakyat, juga menjadi objek wisata. Selain menambah pundi rezeki tapi juga menuai berkah. Sehingga kemajuan merata lahir dan batin yang dicita-citakan selama ini benar-benar dirasakan semua pihak, bukan hanya menumpuk di satu tempat dan kelompok tertentu saja. Ya, kemajuan yang penuh dengan keberkahan. (By Griven H. Putera) Pernah dimuat di Koran Riau, Jumat 10 Juni 2016

Membumikan Alquran di Bumi Melayu

Pekan Tilawatil Quran yang diselenggarakan LPP RRI Tingkat Nasional ini merupakan momentum penting bagi umat Islam dalam rangka lebih mendalami dan mengimplementasikan nilai-nilai Alquran dalam kehidupan sehari-hari, apalagi yang mengadakan adalah LPP RRI yang memiliki pengalaman dan jangkauan sangat luas di seluruh nusantara. Ini merupakan kontribusi nyata dari Lembaga Penyiaran Publik untuk mensyiarkan dan menyosialisasikan nilai Alquran di tengah masyarakat. Terlebih lagi waktu penyelenggaraan dilaksanakan pada saat yang tepat, yaitu di bulan Ramadan di mana iklim spritualitas masyarakat sedang meningkat. Lembaga penyiaran, khususya radio memang harus memberikan sumbangsih kongkrit terhadap upaya kita melakukan revolusi mental warga bangsa..... (Pernyataan Menteri Agama RI, Lukman Hakim Saifuddin saat membuka Pekan Tilawatil Quran LPP RRI Tingkat Nasional di Pekanbaru, 13/6/2016) Pernyataan Menteri Agama di awal sambutannya tersebut, setidaknya memiliki beberapa pesan mustahak yang perlu diperhatikan umat Islam, khususnya muslim di Provinsi Riau. Di antara pesan itu adalah, pertama bahwa setiap kegiatan Musabaqah Tilawatil Alquran ditaja, sejatinya dihajatkan untuk mendalami dan mengimplementasikan nilai Alquran di tengah masyarakat Riau. Apalagi Melayu identik dengan Islam. Bicara tentang Islam maka Alquran merupakan buku pedoman utama bagi muslim dalam menjalani kehidupannya. Untuk itu sudah sepantasnya Alquran semakin didalami dan diimplementasikan nilai agungnya oleh masyarakat Riau, sehingga negeri ini tetap wangi namanya karena diidentikkan dengan Islam yang merupakan agama Rahmatan Lil ‘Alamin. Kedua, pernyataan pembukaan pada sambutan tersebut mengingatkan awak media, baik cetak maupun elektronik, terutama LPP- RRI tentang memperkuat fungsi dan perannya untuk mencerahkan anak bangsa di seluruh tanah air, memperbaiki akhlak yang dibahasakan Jokowi dan kebinetnya sebagai pembinaan revolusi mental. Berbicara revolusi mental, tidak ada metode, konsep dan nilai paling mangkus serta ranggi kecuali yang bersumber dari Alquran. Karena Alquran merupakan buku istimewa yang ciptakan Allah Swt. khusus untuk panduan umat manusia, dan menjadi ruh peradaban mereka. Khusus kegiatan musabaqah Alquran melalui siaran radio, tentu saja kegiatan ini amat berguna bagi menambah warna pendengaran umat manusia dalam membentuk watak prilaku pribadinya agar sesuai dengan Alquran. Apalagi bangsa Indonesia kini sedang diancam bahaya globalisasi yang dampaknya dapat menggerus nilai-nilai agama, adat dan budaya bangsa. Ketiga, karena pelaksanaan Pekan Tilawah Alquran RRI Tingkat Nasional ini dilaksanakan pada bulan Ramadan, maka sejatinya ini menjadi sumber inspirasi dan motivasi untuk meningkatkan intensitas umat muslim di Riau dengan Alquran. Apalagi Ramadan juga dikenal dengan bulan Alquran (Syahr al-Quran). Alquran hendaknya bukan hanya dibaca dan didendangkan seni suaranya dengan merdu namun yang lebih matan adalah mesti dipahami maknanya, diketahui tafsirnya, asbab al-nuzulnya, serta diamalkan nilai-nilai jumawa isi kandungannya dalam kehidupan. Pengamalan nilai agung dari Alquran tersebut dipastikan menciptakan manusia bermental baik. Manusia yang selamat dunianya dan bahagia akhiratnya. Keempat, karena Pekan Tilawah Alquran LPP RRI Tingkat nasional ini dilakukan pada bulan Ramadan, ini juga mengingatkan umat muslim di Riau agar ke depan melakukan Musabaqah Tilawatil Quran dengan berbagai varian lombanya di bulan Ramadan, karena kegiatan tersebut, di masa lampau juga pernah menjadi tradisi turun temurun dalam masyarakat Melayu Riau saban tahunnya. Kegiatan musabaqah Alquran antar RT, RW, Dusun, Parit, antar suaru, mesjid di kampung-kampung Melayu tersebut perlu digalakkan lagi sempena memperingati Nuzul al-Quran yang biasanya dilaksanakan pada pertengahan saban bulan Ramadan. Kegiatan musabaqah tersebut tentu saja didahului dengan pembinaan taman bacaan Alquran bagi masyarakat setempat oleh para guru, ustaz dan qari/ah sebelum masuknya bulan Ramadan yang dilakukan di surau, nosakh maupun mesjid yang ada. Tentu sumbangan materi dan in-materi dari pemerintah sangat diperlukan. Oleh karena Provinsi Riau sudah memiliki LPTQ (Lembaga Pengembangan Tilawatil Quran), maka tugas ini sejatinya dapat dilanjutkan lembaga tersebut, sehingga penanaman dan pembumian Alquran di tanah Melayu ini semakin dalam, tumbuh kekar dan kokoh. Maka hemat saya, memperhatikan (memberi insentif dan apresiasi lebih) bagi guru agama, terutama guru mengaji di seluruh wilayah provinsi Riau yang nasib sebagian mereka masih memprihatinkan, menjadi tugas pokok dan utama bagi LPTQ, Pemerintah Provinsi Riau dan Kanwil Kementerian Agama Provinsi Riau. Tugas ini, disamping untuk mengokohkan nilai Alquran di Riau dan membuktikan kalau Melayu Riau identik dengan Islam, selain itu juga berperan signifikan agar jika ada event musabaqah tilawatil Quran nantinya, negeri ini tidak perlu mendatangkan qari-qariah dari luar provinsi Riau seperti yang galib terjadi selama ini. Akhirnya, terima kasih kepada LPP RRI yang telah menaja Pekan Tilawatil Alquran Tingkat Nasional ke-47 di Provinsi Riau. Semoga ke depan semakin menambah peran dan fungsinya untuk pembangunan nilai kegamaan bagi masyarakat Riau. Selain itu, kiranya pesan terakhir Menteri Agama RI terlaksana di Provinsi Riau, yaitu dengan dilaksanakannya Pekan Tilawatil Quran ini, para pemimpin dan masyarakat Riau dapat berlaku jujur, adil dan transparansi dalam menjalani kehidupan. Khatam al-kalam, semoga nilai Alquran benar-benar membumi dan terimplementasi di tanah Melayu Riau sehingga pernyataan Islam identik dengan Melayu benar adanya. (By Griven H Putera) Pernah dimuat di Riau Pos, 16 Juni 2016

Berkhidmat kepada Alquran

Ramadhan dikenal  juga dengan bulan Alquran (Syahr al-Quran). Pernyataan ini disebabkan beberapa hal, di antaranya karena pada bulan ini turunnya Alquran sebagai sebuah kitab petunjuk penyempurna dan paling sempurna dari beberapa kitab suci yang pernah diturunkan Allah Swt kepada umat manusia sepanjang masa.

Oleh karena pada bulan ini turunnya Alquran, maka sejatinya umat Islam mesti berkomunikasi intens dengan Alquran. Menjadikan Alquran sebagai sahabat, bacaan utama dan imam yang sebenar imam agar benar-benar menjadi muslim yang jati. Yang dunianya menuai berkah, dan akhiratnya memeluk Syurga.

Ramadhan memang bulan yang baik menginstal kembali banyak hal dalam kehidupan seorang muslim. Termasuk menginstal cara dan proses bergaul dekat dengan Alquran. Alquran bagi seorang muslim jangan menjadi pajangan di rak buku. Jangan hanya dibaca ketika ada orang meninggal dunia. Jangan hanya dibaca ayat tanpa tahu makna dan artinya. Jangan hanya dipajang ayatnya, terutama ayat kursi di dinding rumah atau mesjid tapi ia tak lebih dari sebuah lukisan kosong tanpa makna dan tanpa pesan apa-apa.

Alquran baru menjadi kitab petunjuk ke jalan lurus bagi manusia jika ia dicintai, dibaca, dipahami arti dan maknanya dan diimplementasikan nilai-nilai agungnya dalam kehidupan. Ia baru punya pengaruh ketika dibaca sendiri dalam hati yang berkonsentrasi tinggi, tidak dibaca dengan hingar bingar apalagi sampai “mengganggu” orang lain. Kata mengganggu ini muncul ketika di sebagian pengurus mesjid dan mushalla pada bulan Ramadhan membiarkan jemaahnya melantunkan Alquran dengan suara tengik hingga jauh malam bahkan sampai dinihari memakai pengeras suara serak. Sebagian orang menyebut, kalau ada orang terganggu dengan lantunan Alquran di tengah malam, berarti hatinya yang belum dapat menerima Alquran. Artinya hatinya sakit. Perlu diobati.

Cuma pertanyaan dari orang yang merasa terganggu, kalau pun ingin beribadah, kenapa harus diperdengarkan kuat lagi keras kepada orang lain ketika orang lain ingin menikmati malam sebagai tempat dan masa untuk beristirahat. Selain itu, bukankah Alquran juga menyebut bahwa malam itu untuk istirahat? Untuk bersunyi-sunyi dalam dialog bernas dengan Tuhan yang Maha Pengasih? 

Bukankah Alquran itu kalam Allah, di mana ketika orang sedang membacanya, berarti ia sedang berdialog dengan Allah? Dapatkah berdialog dengan Tuhan yang maha lembut (hanif) dalam suara kasar dan besar tanpa rasa? Lagi pula, di negeri ini, penduduknya bukan hanya muslim tapi ada umat lain di mana mereka juga punya hak hidup tenang dan damai bersebelahan dengan umat lainnya?

Bulan Ramadhan memang bulan yang penuh dengan ingar bingar Alquran. Di mana-mana terdengar orang mengaji. Di mana-mana dilaksanakan MTQ. Di mana-mana terjadi perbincangan hebat mengenai Alquran, baik melalui mimbar dakwah maupun dalam forum diskusi hotel dan kampus. Saban tahun itu terus saja dilakukan umat muslim dalam rangka eforia musiman Ramadhan. Ketika dilihat hasil pembacaan dan diskusi menarik tersebut, sayang belum terlihat jelas hasilnya.

Alquran memberi informasi dan inspirasi bagi banyak hal, seperti bagi kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi. Tapi sejauh ini, sudah berapa banyak ilmuwan muslim lahir yang dapat mewarnai dan memberi pengaruh besar bagi dunia, sebagaimana pernah ada di masa lalu seperti Ibnu Sina, Albiruni, Ibnu Khawarizmi dan lain-lain? Memang ada beberapa orang ilmuwan muslim akhir-akhir ini sampai di puncak award seperti Nobel Prize bidang ilmu pengetahuan tapi bila dibandingkan dengan umat lain, tentu saja kaum muslim tertinggal. Padahal tak ada kitab suci yang paling banyak membicarakan kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi selain Alquran, walaupun Alquran tersebut tidak disepakati ulama sebagai kitab ilmiah.

Selain itu, sebagian umat muslim hanya menghitung kuantitas banyak ayat dan juz yang dibaca selama Ramadhan. Sebanyak berapa kali ia mampu mengkhatamkan Alquran selama bulan penuh berkah ini. Sehingga akibat mengejar banyaknya jumlah ayat, surah dan juzuk yang mesti dibaca dan dikhatamkan, maka sedikit pun dari bacaan tersebut tidak dipahami oleh sang pembaca. Bahkan tajwidnya lintang pukang tak tentu arah. Jika begitu pemahamannya, maka itu tak akan memberi dampak apa-apa bagi pribadi yang membacanya. Jangankan mendapat pahala, malah si pembaca akan mengidap dosa karena membaca tidak sesuai dengan petunjuk membacanya. Maka tidak heran kalau ada orang yang sering membaca Alquran tapi tidak memberi perubahan apa-apa dalam prilaku hidupnya. Alquran yang didengungkan seolah tak lebih daripada suara musik dari pita kosong saja. Padahal, “Kalau sekiranya Kami menurunkan Al Qur’an ini kepada sebuah gunung, pasti kamu akan melihatnya tunduk terpecah belah disebabkan takut kepada Allah. Dan perumpamaan-perumpamaan itu kami buat untuk manusia supaya mereka berpikir”. (QS. Al Hasyr: 21).  Tapi ketika Alquran dibaca seseorang, kenapa tak terjadi apa-apa bagi sebagian pembacanya tersebut?

Kebanyakan pembaca Alquran kini hanya seperti seekor tiung yang pandai mengucapkan salam tapi ia sendiri tidak memahami apa yang diucapkannya. Banyak di antara kaum muslim hari ini melupakan kualitas bacaan tersebut. Kualitas yang saya maksud adalah, sejauh mana seseorang memahami isi kandungan, dan makna batin dari Alquran tersebut serta mengimplementasikan nilai yang dibacanya itu dalam kehidupan.

Untuk itu, membaca ayat per-ayat, atau membaca terjemahannya dari ayat per-ayat. Lalu membaca tafsirannya dari para ulama, mulai ayat per-ayat perlu menjadi tradisi bagi pribadi muslim. Merenungi bacaannya dalam sunyi, mencoba memahami makna batin dari setiap ayat, meminta petunjuk kepada Allah terhadap pesan dari yang dibaca tersebut. Hal ini tidak cukup dilakukan oleh ilmuan Alquran atau mufassirin saja tapi bagi semua orang, sehingga Alquran nantinya benar-benar menjadi hudan ( petunjuk), menjadi syifa’ (obat zahir batin), dan rahmah (kasih sayang dalam kedamaian) dalam kehidupannya.

Untuk itu setiap muslim sudah saatnya memiliki Alquran yang lengkap terjemahannya, tafsirannya dan cara membacanya atau tajwidnya. Sehingga nanti umat Islam benarlah disebut dengan Ummatan Wasathan (umat pilihan). Pun, ketika ditanya Munkar dan Nakir dikubur tentang siapa imamnya nanti, maka ia akan mudah dan senang menjawab, bahwa imamnya adalah Alquran. Wallahu a’lam. (by Griven H Putera)

Pernah dimuat di Koran Riau Jumat 17 Juni 2017

Diam Bersama Tuhan

Kaifa tahruku laka al-‘awaid wa anta lam tuhrik min nafsika al-‘awaid. (Ibnu Athaillah As Sakandari) How can the laws of nature be ruptured for you so that miracles result, while you part, have yet to rupture your bad habits? “Bagaimana mungkin dikau mau mendapatkan hal yang luar biasa, sedangkan dirimu belum mengubah kebiasaan burukmu?” Pada bulan Ramadhan, orang akan meraih banyak hal luar biasa jika ia memanfaatkan saat-saat pada bulan tersebut dengan melakukan perbuatan-perbuatan luar biasa. Namun seberapa banyak yang mampu melakukan hal luar biasa pada bulan itu? Keluarbiasaaan apa saja yang akan diperoleh manusia selama bulan Ramadhan? Di antaranya pada bulan Ramadhan ada hal yang sangat luar biasa dijumpai dan diraih mukmin, yaitu munculnya suatu malam di mana nilai ibadah pada malam itu sama dengan seribu bulan, yang jika dijumlahkan berkisar sampai 83 tahun lamanya. Malam itu dikenal dengan malam Lailat al-Qadr. Untuk mendapatkan itu, Rasulullah Saw dengan para sahabatnya memburu malam tersebut dengan melakukan hal luar biasa, yaitu fokus berdiam diri di mesjid yang dikenal dengan istilah I’tikaf. Allah Swt berfirman pada ayat 187 surat Al-Baqarah: “…Wa antum ‘akifuna fi al-masajid…” (…Kamu beriktikaf di mesjid-mesjid…) Menurut sebuah hadits yang dirawikan oleh Imam Al-Bukhari, pada suatu ketika Rasulullah Saw melakukan I’tikaf di mesjid pada sepuluh hari pertama di bulan Ramadhan, prilaku Rasulullah Saw tersebut pun diikuti para sahabat. Ternyata Rasulullah dan sahabat tidak menemukan Lailat al-Qadr tersebut pada sepuluh hari pertama, lalu dilanjutkan pada paruh sepuluh hari kedua. Namun juga tidak ditemukan. Pada malamnya Rasulullah Saw bermimpi bahwa lailat al- qadr muncul pada sepuluh hari terakhir Ramadhan. Rasulullah pun naik ke mimbar dan menyampaikan berita tersebut kepada sahabat bahwa lailat al-qadr akan tiba pada sepuluh hari terakhir Ramadhan.” Hadits lain menyebutkan, dari ‘Aisyah ra katanya: “Sesungguhnya Nabi Saw i’tikaf pada tiap-tiap sepuluh yang akhir bulan Ramadhan hingga beliau wafat. Kemudian istri-istri beliau meneruskan i’tikaf seperti itu sesudah beliau wafat.”(HR.Muslim) Dari ‘Aisyah ra, ia berkata: “Apabila telah masuk sepuluh yang akhir pada bulan Ramadhan, Nabi saw lebih giat beribadah pada malam-malamnya. Beliau membangunkan keluarganya dan beliau lebih tekun. Beliau kencangkan ikat sarungnya (menjauhi istrinya untuk lebih mendekati Allah?).” (HR.Muslim) Adapun hakekat dari i’tikaf itu ialah sebagaimana yang dikatakan oleh Ibu Abbas RA, bahwa Rasulullah Saw bersabda kepada para mu’takifin (orang orang yang beritikaf): “Orang yang beri’tikaf itu, dia berhenti melaksanakan dosa-dosa, dan pahala amal yang biasa dikerjakan sebelum dia beri’tikaf akan mengalir terus kepadanya.” (HR. Ibnu Majah) I’tikaf hendaknya diisi dengan berbagai ibadah kepada Allah Swt. Ibadah yang biasa dilakukan selama iktikaf adalah: pertama, memperbanyak shalat sunat. Memperbanyak shalat saat i’tikaf amat dianjurkan.”Shalat merupakan hubungan langsung antardua pihak, yakni seorang hamba dengan Khaliknya. Terlebih, shalat adalah tiang agama dan rukun Islam yang paling utama. Kedua, memperbanyak interaksi dengan Alquran. Dengan membaca, mempelajari dan memnacri makna bathin Alquran, hati akan tenang dan jiwa tentram. Terlebih, pahala membaca Alquran juga amat besar. Orang banyak membaca Alquran mandapat jaminan untuk mendapatkan syafaat di hari akhir kelak. Rasulullah Saw bersabda, ‘’Bacalah oleh kalian Alquran. Karena sesungguhnya Alquran itu akan datang menghampiri kalian di hari kiamat sebagai syafaat.’’ (HR Muslim). Ketiga, memperbanyak zikir. Orang yang i’tikaf dianjurkan untuk memperbanyak zikir, seperti bertasbih, tahmid, tahlil, istighfar, dan sebagainya. Menurut para ulama, zikir merupakan salah satu ibadah khusus untuk bertaqarub kepada Allah Swt. Allah Swt berfirman, ‘’Oleh karena itu ingatlah kamu kepada-Ku, niscaya Aku akan ingat kepadamu; bersyukurlah kepada-Ku, dan janganlah kamu mengingkari nikmat-Ku.’’ (QS Al-Baqarah: 152). Keempat bershalawat. Amalan lain yang dianjurkan bagi orang yang beri’tikaf adalah memperbanyak shalawat kepada Rasulullah Saw. Bershalawat menjadi salah satu sebab turunnya rahmat Allah Swt. ‘’Siapa saja yang bershalawat kepadaku sekali, maka Allah memberinya rahmat sepuluh.’’ (HR Muslim). Keenam, mengurangi hubungan dengan orang banyak. Pada saat i’tikaf dianjurkan untuk mengurangi kontak momunikasi dengan banyak orang. Berkomunikasi lebih banyak dengan Allah, dengan cara berdiam diri dan merenungi diri, bermunajat kepada-Nya, merenungi kebesaran-Nya serta bersyukur atas segala nikmat yang telah diberikanNya. Menurut para ulama, lebih disukai, jika i’tikaf telah selesai, mu’takifin (orang yang beri’tikaf) berdiam diri pada malam menjelang Idul Fitri. Kemudian, keesokan harinya keluar dari mesjid tempat i’tikaf menuju tempat shalat Idul Fitri. Dengan demikian, dia telah menyambung dari satu ibadah ke ibadah yang lainnya. Rasulullah Saw bersabda, ‘’Barangsiapa bangun (untuk beribadah) pada dua malam I’d dengan mengharapkan pahala dari Allah Swt, maka Allah Swt tidak akan mematikan hatinya pada saat dimatikannya semua hati.'' Jadi, Lailat al-Qadr adalah hal yang istimewa dan luar biasa. Datangnya pun pada bulan yang istimewa dan luar biasa, yaitu di akhir pengujung Ramadhan, dan di tempat yang luar biasa yaitu mesjid, karena tempat beri’tikaf hanya di mesjid. Alhasil, jika ingin mendapatkan sesuatu yang luar biasa, maka lakukanlah hal-hal yang luar biasa dalam bulan Ramadhan ini agar suatu ketika dapat pula menjadi orang ‘luar biasa’ karena diberi rahmat oleh Allah Swt dengan cara berdiam bersama Tuhan dengan melakukan i’tikaf di mesjid pada akhir bulan Ramadhan ini. Semoga saya dan pembaca budiman sekalian mampu mencobanya. Kalau tidak dimulai sekarang lalu kapan lagi? Siapa yang dapat menjamin umur sampai di Ramadhan tahun depan? Wallahu ‘alam. (Griven H. Putera) Pernah dimuat di Koran Riau, Jumat, 24 Juni 2016

Balik?

Griven H. Putera Balik? Mudik, saya membahasakannya menjadi balik. Karena saya dan kebudayaan yang membesarkan saya, kata balik lebih banyak dipakai dalam berkomunikasi bila dibandingkan dengan kata mudik jika tujuannya untuk pulang kampung. Kata mudik hanya kami gunakan kalau ingin memudiki sungai menuju ke hulu. Misalnya saya mudik ke Langgam saat pasar hari Rabu, karena kampung saya Rantaubaru memang di hilir kampung Langgam. Atau semasa sekolah di Pesantren Daarun Nahdhah Thawalib Bangkinang dulu, saya memudiki sungai Kampar ke Bangkinang melalui Teratak Buluh. Maka kami menyebutnya mudik ke Bangkinang. Bagi saya yang kini tinggal di Pekanbaru, maka tak sanggam juga kalau memakai kata mudik ke kampung, karena kampung saya kini berada di hilir Pekanbaru. Untuk kasus kampung saya tersebut, yang pas rasanya saya hilir ke kampung karena Pekanbaru di hulu kampung saya. Selain itu, saya lebih mau memakai kata balik ketimbang mudik karena sewaktu kecil sering mendengar lagu Melayu berjudul “Balik Kampung” yang didendangkan Sudirman Haji Arsyad. Lagu ini sering saya dengar diputar radio RTM (Radio Televisi Malaysia) menjelang datangnya idul fitri. Cuma pada waktu itu saya bertanya dalam hati, saya mau balik kemana? Karena saya memang sedang tinggal di kampung waktu itu. Sekarang barulah saya dapat menikmati lagu itu karena saya sudah tidak di kampung lagi. Sekarang saya di kota, (he he he...). Dan kini ungkapan lagu itu memang terasa sedap di hati dan telinga saya karena saya punya kampung halaman. Saya membayangkan bagaimana kalau orang yang tak punya kampung? Mau balik ke mana dia? Okh, sungguh berbahagianya menjadi perantau rupanya. Konon menurut wikipedia, kata mudik berasal dari sandi kata bahasa Jawa ngoko yaitu mulih dilik yang berarti pulang sebentar. Mudik adalah kegiatan perantau/pekerja migran untuk kembali ke kampung halamannya. Mudik di Indonesia identik dengan tradisi tahunan yang terjadi menjelang hari raya besar keagamaan misalnya menjelang lebaran. Pada saat itulah ada kesempatan untuk berkumpul dengan sanak saudara yang tersebar di perantauan, selain tentunya juga sowan dengan orang tua. Tapi kata mudik tersebut mungkin berkait kelindan juga dengan kata ‘udik’. Kata udik selalu dikaitkan dengan kata kampungan. Tapi kalau itu dipakai dan dimaksudkan oleh penuturnya, maka terselip sesuatu yang kurang nyaman. Ada perasaan merendahkan suatu kelompok masyarakat. Jadi, esok dan esoknya lagi, hemat saya lebih elok dan patut dipakai kata “balik”. Akh. Persoalan kata mudik atau balik ini ditinggalkan dulu. Terserah kepada siapa yang mau memakainya. Yang jelas, perkara mudik atau balik kampung ini menjadi tradisi lain dan unik di nusantara, khususnya di Indonesia. Dengan adanya tradisi ini maka banyak imbas yang terjadi. Roda ekonomi berputar kencang. Berkah sanak keluarga di kampung semakin terasa karena baliknya para perantau membawa banyak uang dan benda materi lain sebagainya. Pemerintah pun mesti ekstra serius menyiapkan moda transportasi dan pengamanan di jalan raya serta menyediakan pos kesehatan di terminal, stasiun dan bandar udara. Perusahaan kue-kuean dan pakaian semakin meningkat pendapatannya. Media cetak maupun elektronik pun sibuk memberitakannya. Sampai-sampai membuat liputan khusus tentang prosesi balik kampung tersebut hingga sepekan. Pokoknya, dari tradisi mudik, banyak hal positif dapat diraup banyak orang. Selain yang positifnya, terdapat pula sejumlah hal negatif. Hampir saban tahun proses balik kampung menjelang idul fitri ini memakan korban jiwa. Di jalan raya mayat bergelimpangan saban hari. Pun, di kota semakin banyak pula masyarakat kampung melakukan proses urbanisasi seusai idul fitri karena setiap pemudik biasanya membawa saudara-maranya ke kota, karena dalam pandangan mereka, kota menjanjikan masa depan. Padahal kenyataannya tak seperti yang diceritakan dan dibayangkan, sehingga dulu lahirlah ungkapan, kejamnya ibu tiri tak sekejam ibu kota. Akibat itu pula, maka Ahok melakukan penggusuran bagi masyarakat pinggiran Jakarta, karena sebagian mereka datang ke Jakarta memang dari tradisi mudik ini. Akibatnya banyak yang tak memiliki KTP dan surat murat resmi pemerintahan lainnya. Dari akibat mudik ini, maka pemerintah melalui Menpan RB pun membuat surat edaran yang melarang keras Aparatur Sipil Negara atau PNS agar tidak menambah libur seusai masa cuti yang ditetapkan pemerintah. Selain tersebut di atas, akibat adanya tradisi balik kampung menjelang idulfitri ini, esensi puasa Ramadhan menjadi terabaikan. Jika menengok ke masa lampau, Rasulullah Saw, keluarganya dan para sahabat makin intens ke mesjid pada akhir bulan Ramadhan. Mereka melakukan i’tikaf dalam rangka menjadi manusia bertaqwa. Pun, dari i’tikaf yang dilakukan semoga mereka bertemu dengan malam lailat al-qadr (malam yang nilai pahala ibadahnya lebih baik dari seribu bulan. Di mana mereka akan dikunjungi tamu-tamu dari langit, yaitu malaikat. Sehingga malam itu benar-benar menjadi malam yang damai, yang tentram. Malam penuh dengan kebahagiaan dan kesejahteraan hingga cahaya fajar bersinar di langit timur). Malam penuh berkah itu tak pernah diperoleh umat sebelumnya. Sungguh tak pernah dirasakan umat sebelum pengikut nabi Muhammad Saw. Akan tetapi kini, di akhir Ramadhan, umat Islam malah disibukkan dengan pasar, stasiun, terminal dan bandara. Tradisi ini sungguh jauh dari tradisi yang pernah ada di zaman Rasul dan sahabatnya. Padahal Rasullah Saw dan sahabatnya punya kampung juga. Rasullah Saw lahir di kota Mekkah lalu hijrah ke Madinah. Artinya kampung halaman nabi itu adalah Mekkah. Tapi ketika di akhir Ramdhan ia tak balik ke Mekkah, ke kampung halamannya. Ia sibuk dengan istri dan sahabatnya melakukan ibadah hingga bengkak kakinya untuk bekal persiapan ke kampung halaman yang sesungguhnya. Pun, Rasul sering menangis sendiri di tengah malam akhir-akhir Ramadhan. Ummu Salamah pernah bertanya, kenapa Rasululah menangis, bukankah Nabi Muhammad Saw itu ma’shum (tak berdosa)? Lalu jawaban Nabi, “Saya merasa belum menjadi hamba yang bersyukur”. Akhir Ramadhan dengan melakukan serangkaian ibadah intens dan sepenuh konsentrasi, sebenarnya bagian dari proses balik kampung juga. Balik kampung abadi. Karena semua manusia pasti balik ke kampung abadi, balik ke alam akhirat. Untuk balik kampung yang jati itu perlu persiapan bekal. Sebaik-baik bekal kata Allah adalah taqwa. “Watazawwadu fainna khaira zad al-taqwa. Wattaqullah ya uli albab...” .Berbekallah, dan sungguh sebaik-baik bekal adalah taqwa, dan bertaqwalah kepada-Ku hai orang-orang yang berakal”. (Q.S. Al-Baqarah: 197). Kini umat Islam di akhir Ramadhan disibukkan dengan mencari bekal juga tapi bekal untuk kampung halaman yang nisbi. Mereka sibuk ke sana ke mari mencari rizki demi mengecat rumah dan pagarnya agar terlihat baru, membeli pakaian baru, menyiapkan kue-mue sebagai hidangan penanti tamu sesuadah idul fitri serta menyiapkan uang sebagai bekal balik kampung. Bagi yang bekerja di kantor, tak sedikit dari pekerjanya yang tak berada di kantor pada jam-jam dinas hanya karena mencari rezki tambahan di luar buat persiapan balik kampung nanti. Mereka tak disibukkan dengan zikir, menjaga batin dari puasanya, menjaga malam-malamnya dengan shalat tarawih sepenuh khusyuk, membaca Alquran sejagat jiwa. Bermunajat di tengah malam buta dalam rintihan doa seorang pendosa. Mengingat segala kekhilafan dan kesalahan yang pernah dilakukan selama ini, lalu membaca kalimat istighfar sebanyak-banyaknya agar kemurahan Allah berupa ampunan segera tiba dari Tuhannya. Dan jika tak lama lagi Tuhan memanggilnya balik ke kampung abadi, ia pun dalam suasana hati yang tenang dan rela dengan panggilan itu. Semoga Allah Swt memanggilnya, “Ya ayyatuhan nafs almuthmainnah irji’i ila robbiki radhiatan mardhiyyah, fadkhuli fi ‘ibadi wadkhuli jannati.” Wahai jiwa yang tenang. Kembalilah kepada Tuhanmu dengan hati yang ridha dan diridhai-Nya. Maka masuklah ke dalam golongan hamba-hamba-Ku, dan masuklah ke dalam surga-Ku. (QS. Al-Fajr: 27-30) Pernah dimuat di Koran Riau, Jumat 01 Juli 2016

Beradablah dalam Haji...

Griven H. Putera Beradablah dalam Haji... Tak sampai sebulan lagi, jemaah calon haji dari provinsi Riau akan berangkat ke tanah suci tahun ini. Kalau tak ada aral, pada tanggal 9 Agustus rombongan pertama akan menuju Batam, dan pada 10 Agustus berangkat ke Madinah. Menurut data Bidang Penyelenggara Haji dan Umrah Kanwil Kemenag Provinsi Riau, jumlah jemaah haji Riau yang berangkat tahun ini sebanyak 4008 orang. Jemaah Pekanbaru 1.205, Kampar 498, Bengkalis 424, Inhu 169, Inhil 397, Dumai 205, Rokan Hulu 236, Pelalawan 300, Kuansing 163, Siak 179, Rokan Hilir 177 dan Meranti 55 orang. Sedangkan calon jemaah haji yang sudah melunasi hingga 20 Juli 2016 sebanyak 3925 orang, yang tidak melunasi sebanyak 83 orang. Sementara jemaah cadangan sejumlah 201 orang. Galibnya seorang calon jemaah haji, maka akan banyak persiapan yang mesti dilakukan ketika akan melakukan rihlah atau perjalanan ke tanah suci. Rihlah atau perjalanan haji ini sungguh tidak sama dengan rihlah biasa. Ini merupakan rihlah untuk meneguhkan keislaman seseorang karena merupakan rukun Islam. Artinya, semakin lengkaplah seseorang menjadi muslim atau muslimah jika ia mampu melakukan ibadah haji seseuai dengan tuntunan Allah Swt dan Rasul-Nya. Ibadah haji merupakan ibadah fisik dan psikis. Ibadah yang memerlukan kekuatan jasmaniyah, ruhaniyah dan fulisyah (uang). Untuk itu hal-hal tersebut perlu diperhatikan. Perlu menyiapkan fisik, psikis dan keuangan dengan serius. Jika salah satu dari itu bermasalah maka akan dapat mengganggu jalannya proses ibadah di tanah suci. Perjalanan ibadah haji membutuhkan fisik yang prima. Dengan fisik yang baik maka semua proses perjalanan dapat dilakukan bakal berjalan sempurna. Untuk itu setiap jemaah perlu menyiapkan fisiknya. Maka diperlukan menjaga kebugaran tubuh melalui olahraga ringan seperti jalan pagi dan kegiatan lainnya. Selain itu juga menjaga pola makan jangan sampai asupan makanan bakal menumpuk berbagai penyakit yang membuat si jemaah sulit melakukan aktifitas selama beribadah. Selain menyiapkan fisik yang prima, seorang calon jemaah haji perlu menyiapkan psikis atau persiapan rohani yang baik. Psikis di sini dapat bermaksud sebagai mental yang kuat, semangat yang stabil untuk berupaya melakukan kegiatan ibadah dengan sungguh-sungguh. Lebih daripada itu adalah menyiapkan mental ruhaniyah. Bicara ruhaniyah tentu tak dapat lepas dari hari hati. Maka menjaga hati dan memeliharanya agar tetap tulus, jujur dan mengikuti kehendak Ilahi perlu dilakukan. Kini, bagi jemaah haji, waktu menata hati rasanya belumlah terlambat. Belajarlah menerima takdir, menerima ketentuan Ilahi dengan jiwa terbuka. Belajarlah memaafkan kesalahan orang lain dan membuka pintu maaf selebar-lebarnya. Sediakan waktu sejenak untuk belajar tersenyum. Belajarlah bersedekah dan berinfak agak lebih agar ketamakan dapat berangsur hilang dalam jiwa sehingga menjadi orang yang dermawan. Belajarlah untuk tidak bersifat dengki, iri dan hasad dalam hidup. Jangan merasa senang ketika melihat orang dalam kesusahan. Jangan merasa susah melihat orang lain ketika dalam kesenangan. Belajarlah untuk bersabar dalam kondisi apapun. Dengan bersabar maka apapun kerumitan yang akan menimpa bakal dapat diselesaikan. Wastai’nuu bi al-shabri wa al-sholah. Minta tolonglah dengan bersabar dan sholat. Pergi ke tanah suci pada intinya pergi berguru kepada Sang Maha Guru yaitu Allah Swt. Sebelum berguru, seorang murid mesti tahu siapa yang bakal menjadi gurunya. Mulai namanya, sifatnya, kesukaannya dan hal-hal lain yang menyangkut tentang gurunya tersebut. Allah Swt merupakan Zat Yang Maha Suci. Bagaimana seseorang dapat menerima pelajaran dari sang maha guru kalau seseorang masih diilputi kekotoran, terutama kekotoran batinnya padahal gurunya adalah Zat Maha Suci? Untuk itu, qad aflaha man zakkaaha wa qad khooba man dassaaha; sungguh beruntunglah orang menyucikan dirinya dan sungguh merugilah orang-orang yang mengotorinya. Jangan pernah merasa hebat supaya diberi kodrat. Jangan penah merasa sok kaya supaya diberi hidayah. Jangan pernah merasa sok berpangkat supaya mendapat rahmat dan berkat. Rasakan orang seiman dan segama dengan kita sebagai saudara karena itu merupakan bagian dari upaya untuk mudah menerima kuliah dari Allah. Selain itu, para jemaah haji yang berangkat ke tanah suci merupakan dhuyuf al-rahman (tamu Allah yang Maha Pengasih). Adat menjadi menjadi tamu adalah menghormati ahl al-bait (tuan rumah). Setiap rumah, setiap tempat ada adabnya, ada tata kramanya. Untuk itu, sebagai seorang tamu yang Maha Agung, seorang jemaah harus tahu apa aturan di rumah yang akan dikunjunginya itu. Pergi kepada dua tanah haram (Mekkah dan Madinah) bukan pergi melancong layaknya menuju kota Paris, Amsterdam atau London. Jangan foto-foto selfi di depan ka’bah bagai berfose di depan menara visa. Jangan bergurau dan berdiskusi di Mekkah dan Medinah bagai di halaqah kedai kopi. Hormati tanah suci, terutama pemilik tanah suci itu. Perbanyaklah bersyukur karena telah menjadi tamu al-Rahman. Perbaiki diri ketika berada di tanah suci hingga sampai diri dijemput mati. Pergi ke tanah suci adalah pergi dalam rangka mengenali diri. Siapa kita, darimana, di mana dan akan kemana kita nanti. Semua ujian, cobaan dan rahmat yang ditemui jemaah di tanah suci nilainya adalah sama, yaitu sebagai ujian. Untuk itu berhati-hatilah. Jangan bangga ketika dimuliakan. Jangan sedih jika dihinakan. Berbahagialah dalam kondisi apapun. Bermohon ampunan kepada Allah Swt teruslah lakukan. Menharap ridha Allah Swt harus terus diazamkan. Jangan bawa proposal duniawi macam-macam ketika berada di tempat-tempat yang diijabah. Apa ada harga emas segunung jika napas sudah tersekat di tenggorokan? Adakah harga mobil mewah ketika munkar dan nakir datang bersua? Adakah guna pangkat dan jabatan ketika matahari jaraknya hanya tinggal sehasta? Untuk itu siapkan bekal. Watazawwaduu, fa inna khaira al- zaad al- taqwa ; Berbekallah, maka sebaik-baik bekal adalah takwa. Semoga puasa Ramadhan dan puasa Syawal yang lalu benar-benar membuat kita dan calon jemaah haji yang akan berangkat ke tanah suci menjadi orang yang bertakwa sebagai bekal menghadap Ilahi. Wallahu a’lam. Pernah dimuat di Koran Riau, Jumat, 22 Juli 2016

Sehat Islami?

Griven H. Putera Sehat Islami? Luar biasa! Itulah kata yang paling tepat diungkapkan ketika mendengar kabar bahwa ada manusia hanya dua kali menderita sakit selama 63 tahun hidupnya. Siapakah manusia itu? Dialah manusia yang dikenal dengan sebutan insan al-kamil, yaitu nabi Muhammad Saw; imam segala rasul, penutup semua nabi. Kapan ia sakit pertama kali? Yaitu ketika seorang perempuan Yahudi datang meracuninya, dan kedua, ketika ia sakit sebelum balik ke pangkuan Ilahi. Kesehatan yang dimiliki nabi bukan hanya jasmani tapi juga sehat rohani. Bila dilihat dari kenyataan di atas bahwa nabi pernah sakit itu hanya sakit jasmani akan tetapi beliau tak pernah sakit ruhani karena ia merupakan bapak ruh (ab al-arwah). Apa yang membuat Nabi Muhammad Saw tak pernah mengalami banyak sakit? Di antaranya karena pengamalan ruhaninya sempurna. Pengamalan ruhani itu tentu dimulai dari iktikadnya, dari tauhidnya. Bahwa sesuatu tak akan memberi mudarat sedikitpun kecuali dengan izin Allah. Mungkinkah Allah Swt akan memberi mudarat kepada manusia yang paling disayanginya? Tentu tidak. Kenapa Allah Swt menyayangi nabi dengan sayang yang amat? Karena Ia sendiri yang memilihnya sebagai kekasih. Selain itu karena nabi sendiri melakukan semua yang diingini oleh Kekasihnya. Sampai-sampai kakinya menjadi bengkak hanya karena melakukan shalat malam. Kalau manusia kini merasa menjadi hamba Allah, sudahkah ia berprilaku sebagai seorang budak di depan Tuhannya? Ataukah ia selalu diperbudak oleh nafsu berupa penghargaan, pangkat, jabatan, harta dan semua yang bersifat bendawi? Nafsu membuat manusia sakit secara jasmani dan rohani. Manusia yang mengikuti keinginan nafsu perutnya maka penyakit akan banyak mendatanginya karena perut merupakan salah satu penyebab timbulnya penyakit jasmani. Maka Rasulullah Saw sedikit makan dalam hidupnya. Ia selalu melaksanakan shaum dan shiyam. Sebenarnya, perbedaan Rasulullah Saw dengan manusia kini sedikit saja. Kalau Rasulullah Saw sedikit makannya, sedikit tidurnya, manusia kini sedikit-sedikit makan, sedikit-sedikit tidur. Banyak makan dan banyak tidur juga merupakan penyebab berbagai penyakit. Bila dilihat dari berbagai hadits, yang terdiri dari perkataan, perbuatan, tingkah laku nabi, maka akan ditemukan banyak hal yang dilakukan sehingga ia menjadi sehat sepanjang hayatnya. Dari beberapa hadits tersebut ternyata nabi dalam hidupnya selalu menjaga kesehatan fisik dan psikisnya. Nabi selalu berwudhu, menggosok gigi (siwak), mandi, dan upaya pembersihan lahiriyah diri lainnya. Selain itu, nabi juga sangat peduli dengan kesehatan ruhaninya. Ia selalu melakukan puasa. Ia juga misalnya melakukan zikir dalam rangka membersihkan hatinya. Karena penyakit hati lebih berbahaya daripada penyakit fisik lainnya. Di antara tindakan nabi dalam memelihara hatinya adalah dengan melalui zikir sebagaimana disebutkan bahwa ala bizikr Allah tathmainn al-qulub. Ingat dengan zikir kepada Allah hati menjadi tenang. Selain itu, Rasulullah Saw juga selalu menjaga waktu sepertiga malam, di mana udara yang paling bersih kabarnya adalah pada saat itu. Nabi melakukan shalat tahajud dan ibadah lainnya pada saat-saat udara murni tersebut. “Hendaklah kalian bangun malam. Sebab hal itu merupakan kebiasaan orang-orang shaleh sebelum kalian. Wahana pendekatan diri kepada Allah SWT, penghapus dosa dan pengusir penyakit dari dalam tubuh”. (HR at-Tirmidzi). Rasulullah Saw juga menjaga makanannya agar selalu halal dan thayib (baik). “Dan makanlah makanan yang halal lagi baik dari apa yang Allah telah rezekikan kepadamu, dan bertakwalah kepada Allah yang kamu beriman kepada-Nya.” (QS: Al Maidah: 88). “Tutuplah tempat-tempat makanan, tempat-tempat minuman karena sesungguhnya di dalam setahun ada sebuah malam yang turun di dalamnya wabah penyakit tidak dia melewati sebuah tempat makanan atau minuman yang tidak tertutup, atau tidak ada penghalang di atasnya melainkan turun di dalamnya dari wabah penyakit tersebut.” (HR. Muslim). Sehat ala Nabi Muhammad Saw mencakup bidang penyembuhan, pencegahan, cara hidup sehat Rasul, keadaan mental, serta spiritual karena thibb al-nabawi berjalan tidak hanya pada jasmani saja tapi juga pada ruhani. Sepertinya, secara garis besar pengobatan thibb al- nabawi memiliki tujuan preventif dan kuratif, baik secara lahiriyah, terutama bathiniyah. Wallahu a’lam. Pernah dimuat di Koran Riau, 29 Juli 2016