Selasa, 28 Oktober 2014

Sepertiga Malam Terakhir: Cerpen yang Indah, Dalam, dan Berperisa


Griven H. Putera[1]

Awal al-Kalam
“Sepertiga Malam Terakhir” merupakan cerpen Sungging Raga, nama baru yang saya kenal dalam dunia sastra Indonesia. Dimuat di Media Indonesia 21 September 2014. Cerpen ini bertema penggusuran. Walau sudah banyak cerpen memuat tema ini, namun cerpen realis ini amat berbeda dari fiksi-fiksi sebelumnya. Ia begitu sedap dibaca, begitu dalam dan besar laung pesannya.
Dengan alur lurus dan bahasa sederhana tapi indah, cerpen ini mudah dicerna siapa saja. Kisah yang menggugah ini seperti diniatkan sebagai media dakwah bi al-risalah (dakwah melalui tulisan) tapi tak terkesan menggurui dan sok agamis.
Cerita ini dimulai dengan pembukaan yang lembut tapi menggugat. Di sepertiga malam terakhir itu, Dirminto masih duduk di belakang rumahnya. Ia sedang termenung memandangi langit. “Benarkah Tuhan turun di saat-saat begini?”
Tokoh utamanya adalah Dirminto, sang ayah yang telah hampir putus asa karena di dunia ini seolah tak ada tempat bagi orang dhaif sepertinya. Dan Tuhan seperti telah pergi dari dunia ini sehingga kekuasaan yang jahat tak pernah bisa dikalahkan. Yang eksis di dunia kini seolah hanya ketidakadilan dan kejahatan. Yang berkuasa di bumi hari ini seolah setan, iblis dan jin jahat yang beraga manusia.

Matan al-Kisah
Pada hari penggusuran, Dirminto yang kehilangan harapan hijrah tanpa tujuan, meninggalkan rumahnya yang telah ditempati selama sepuluh tahun. Di tengah jalan ia dicegat sesama warga, dan mencercanya tanpa ampun sebagai pengecut. Dirminto tak peduli cemoohan warga, ia bawa istrinya dan kedua anaknya, yaitu Nalea berumur  tujuh tahun dan Manisha empat tahun. Ia yakin bahwa segala proses penggusuran selalu akan berakhir dengan tragis dan menyakitkan. Dan pihak tergusur tetap berada di pihak yang kalah. Jadi untuk apa melawan? Lebih baik pergi dan selamatkan diri serta anak istri. Ia tak ingin kedua anaknya yang masih kecil, yang semua dilihatnya kini akan menjadi dirinya suatu hari kelak; jiwa yang putih, polos dan lugu rusak karena pristiwa tragis-memilukan seperti perubuhan rumah yang diiringi tangis histeris warga, ibu-ibu pingsan, anak-anak menangis di pelukan, dan berbagai peristiwa yang mengganggu jiwa anak-anak tersebut.
Di tengah jalan tanpa tujuan, saat istrinya sedang membeli nasi goreng, Dirminto bertemu seseorang, dan sempat berdialog. Pada akhirnya seseorang asing tersebut menyuruh Dirminto berdoa lagi pada Tuhan. Dirminto yang kehilangan harapan menjawab.  
“Untuk apa?” tanya Dirminto.
“Berdoalah. Kalau anda merasa dianiaya, Anda bisa berdoa apa saja untuk mereka. Itu pun kalau Anda mau.”
Dirminto seperti ingin tertawa. Akhirnya ia benar-benar tertawa. Tidak ada gunanya. Tuhan sudah lama tidak menolong kami atau membalas perbuatan mereka, seharusnya keadaan tidak seperti sekarang ini.”
“Jangan begitu. Jika Anda tak percaya lagi kepada Tuhan, lalu kepada siapa lagi Anda mengharapkan pertolongan?” 
Di sepertiga malam terakhir, ketika Dirminto dan keluarganya sedang leka tidur di puncak bukit, di atas reremputan yang hanya beralas tikar, kota yang ditinggalkannya terbakar. Dirminto sekeluarga selamat dari amukan api. Dirminto terkejut, dan ia lebih terkejut lagi karena Nalea, anaknya yang berumur sepuluh tahun sedang menangis dan mengangkat kedua tangan mungilnya ke langit. Dan Dirminto pun sadar kalau lantunan doa dari mulut mungil Nalea telah didengar Tuhan. Dan Tuhan ternyata tak pernah diam melihat kejahatan dan ketidakadilan di dunia ini. Tuhan tak pernah buta dan tuli. Tuhan tak pernah sembunyi. Cuma sebagian orang kurang sabar menunggu datangnya uluran tangan-Nya.

Natijat al-Risalah
“Sepertiga Malam Terakhir” merupakan kisah pendek yang amat baik, bermakna, indah, dan dalam. Kalaulah karya seni itu harus memuat kedalaman (dignity), bernilai (value), indah (beauty) dan berperisa maka cerpen ini menurut saya memiliki semua hal tersebut. Dengan bahasa yang sederhana, pendek, dalam, membawa pesan moral, indah dan memiliki perisa tersebut, maka hemat saya, cerpen ini memang menjadi media dakwah bi al-risalah. Sebuah cerpen yang mangkus menjadi media hiburan sekaligus pengajaran. Cerpen yang tak banyak dijumpai di media hari ini karena kebanyakan cerpen kini hanya seperti beraneh-aneh saja tapi nihil perisa. Bagi guru bahasa Indonesia di sekolah, mungkin mengapresiasi cerpen ini bagus bagi murid-muridnya. Dan cerpen ini elok nian dijadikan model menulis cerpen ideal bagi siswa, apalagi di tengah bangsa Indonesia yang kini semakin kehilangan kesadaran moral.  Selamat buat Sungging Raga.



(Pernah dimuat di Riau Pos, Ahad, 26 Oktober 2014)

 Griven H. Putera[1]







[1] Griven H. Putera; Eseis, cerpenis dan novelis Riau

Senin, 20 Oktober 2014

Dialahkan Sang Sapurba


Novel Sang Sapurba dimulai dengan suasana di rumah Datuk Bandar. Malam itu Wak Kadih hendak membaca Koba Sang Sapurba. Cuacana kurang bersahabat.

Sang Sapurba adalah orang asing yang dirajakan di tanah Melayu (bisa dibaca: Riau) karena orang Melayu kebanyakan lebih percaya pada kehebatan orang asing ketimbang orang kampungnya sendiri.
Hal itu ditunjukkan Demang Lebar Daun yang mengangkat Sang Sapurba sebagai raja.

Dalam novel yang berjudul Dikalahkan Sang Sapurba ini, Ediruslan menyamakan Demang Lebar Daun dengan Datuk Bandar Mahato (Wali Desa).
Pada awalnya novel ini bercerita mengenai percintaan antara Aisyah (Melayu) dan Ahmad (Jawa Trans). Namun cinta ini tampaknya kandas karena Aris anak Haji Dahaman melamar Aisyah. Aisyah tak berdaya.
 
Pada bagian kesembilan baru dimulai tentang Tri Gondo pengusaha yang hendak membuka usaha di Mahato. Tri Gondo dekat dengan Pak Suto, penguasa Riau kala itu.

Tri Gondo punya staf humas orang Riau sendiri bernama Darmawan yang kebetulan berteman dengan Aris, anak Haji Dahaman tunangan Aisyah. Darmawan dan Aris berteman ketika mereka sama-sama merantau ke Malaysia dahulunya.

Tri Gondo amat bernafsu membuka kebun sawit di Riau. Dan lahan yang cukup menurut peta Tri Gondo ada di Mahato. Melalui Aris, Darmawan menghubungi Datuk Bandar. Aris rupanya keponakan Datuk Bandar yang dahulunya secara diam-diam telah ditunangkan dengan Rohani anak Datuk Bandar. Tapi setelah pulang dari Malaysia, Aris malah ditunangkan orangtuanya dengan Aisyah. Keluarga Datuk Bandar kecewa sangat dalam hati (mereka diam-diam menyimpan dendam).
Ketika Aris mendatangi Datuk Bandar dan menceritakan keinginan Tri Gondo, Datuk Bandar senang. Kebahagiannya itu disebabkan, pertama ia akan semakin kaya, kedua ia dapat kembali mengambil Aris dari Aisyah anak Orang kaya Gemang. (upaya membalas dendam).

Datuk Bandar dan Aris pun menjadi kaki tangan Tri Gondo untuk mendirikan perkebunan sawit di Mahato.

Di Mahato sendiri terjadi pro dan kontra antara yang mau dan tak mau menyerahkan lahan kepada Tri Gondo. Yang tak mau menyerahkan lahan kepada pihak Tri Gondo itu termasuk Orang Kaya Gemang; ayah Aisyah.

Akhirnya Datuk Bandar dan Aris bekerja keras meloby masyarakat dan tokoh adat tapi tak berhasil. 600 KK prsyaratan yang ditargetkan Tri Gondo hanya terpenuhi 400 KK. Karena Datuk Bandar dan Aris tak berhasil membujuk lahan masyarakat yang tak mau ikut, akhirnya Tri Gondo membuat keputusan untuk menambah lahan sendiri dengan cara memababat kebun getah masyarakat.

Datuk Bandar dan Aris panik akibat laporan masyarakat. Lalu terjadilah pertentangan antara pekeja Tri Gondo dengan masyarakat Mahato. Camat pun turun tangan.

Sepulang dari lahan yang dikelola Tri Gondo, karena kesal masyarakat Mahato membabat bibit sawit yang baru ditanam perusahaan Tri Gondo.

Mendengar kabar tak menyenangkan itu, Tri Gondo mengamuk dan mengerahkan pekerjanya mengejar masyarakat. Lalu terjadi perkelahian hebat. Setelah terjadi sekian lama, camat dan polisi berhasil mengamankan perkelahian itu tapi tiba-tiba saja sebagian rumah penduduk terbakar malam itu. Rupanya termasuk juga rumah Orang Kaya Gemang; rumah Aisyah. Dan Aisyah akhirnya meninggal dunia bersama beberapa penduduk yang lain.

Usai tragedy Mahato tersebut, Orang Kaya Gemang meninggalkan kampung Mahato.
Rupanya  Aris menikah dengan Rohani; anak pamannya yang merupakan Datuk Bandar tersebut.
Sehabis kejadian Mahato tersebut, Tri Gondo tetap beroperasi di kampung tersebut. Kebun masyarakat yang dibabat tidak mendapat ganti rugi kecuali Datuk Bandar dan Aris yang masing-masing mendapat 10 hektar.  Sebagian orang kampung ingin pula menutut ganti rugi kepada Tri Gondo. Mereka mengajak Orang Kaya Gemang. Tapi ayah Aisyah tersebut tak bersedia.

Cerita ini ditutup dengan suasana di rumah Orang Kaya Gemang sehabis salat Isya. Lelaki yang telah kehilangan anak gadisnya tersebut tiba-tiba ingat suasana kebakaran di Mahato tempo hari. Ia tiba-tiba yakin ucapan pekerja Tri Gondo yang mengatakan kalau mereka bukanlah pembakar rumah Orang Kaya Gemang dan lain-lain. Orang Kaya Gemang makin yakin ucapan para pekerja itu tidak berbohong. Ia kini sadar dan berkeyakinan kalau yang membakar rumahnya adalah Datuk Bandar, disebabkan, pertama karena ingin merebut Aris dari Aisyah. Kedua, karena ia (Orang Kaya Gemang) dan 200 KK penduduk yang lain tidak bersedia menyerahkan lahan mereka kepada Tri Gondo.

Novel setebal 172 halaman tersebut ditutup Ediruslan dengan: Sekarang dia percaya bahwa mandor itu berkata benar. Apakah tidak mungkin kebakaran itu, terutama rumah dan anak gadisnya, dilakukan oleh datuk Bandar bersama pengikutnya agar impian ‘pinang pulang ke tampuk, sirih pulang ke gagangnya’ seperti yang dikatakan penduduk Mahato itu menjadi kenyataan. Dan semuanya sudah pulang. Tak hanya Aris kembali ke Rohani, tapi juga Aisyah kembali ke Khaliknya.
Hanya saja bedanya, yang pertama menghapus arang di kening, sementara yang kedua menjadi tumbal keserakahan, ambisi dan harga diri.

“Astaghfirullahal ‘azim., ampunilah dosa-dosa kami ya Allah,” ucap Orang Kaya Gemang dalam hati sembari bersujud ke sajadahnya yang sudah tua. (ghp)    

(Pernah dimuat di Koran Riau pada 2014)

Oleh Griven H. Putera

Menengok Penyalai

Tahukah tuan di mana Penyalai? Kalau tuan pernah pergi ke sana tentulah menjawabnya dengan fasih tentang seluk beluk negeri yang saya tanyakan itu. Mungkin tentang Pulau Mendul, gobak sagu, kebun kelapa, buah tematu, kue bangkit, negeri berpantai, cendol penyalai, joget tanjung selukup, Datuk Temakul dan lain sebagainya.

Tulisan ini tidak hendak menjelaskan tentang negeri di ujung batang Kampar itu dengan lengkap-pepat. Tapi sebagai anak negeri yang iba hati pada tanah airnya, tampaknya ada sesuatu yang hendak dilakukan untuk kampung yang masih menyimpan rasa dan resa bahasa Indonesia yang lemah gemalai di negeri itu, dan menurut salah-satu riwayat, konon induk bahasa Indonesia yang dipakai sekarang diambil dari penuturan masyarakat di salah-satu parit (kampung) yang tumbuh di Pulau Mendul tersebut pada masa dahulunya. 

Secara geografis, negeri ini berbatasan langsung dengan Provinsi Kepulauan Riau. Selain itu juga dekat dengan negara  Singapura. Kini bangunan fisiknya, bila dibandingkan dengan Tanjung Batu, Kundur, Kepulauan Riau saja, negeri ini cukup tertinggal jauh. Di Pulau Mendul ini belum  dimasuki mobil, belum ada hotel berbintang, Bank, ATM, dan banyak lagi yang belum tersedia. Jika orang sini memerlukan semua fasilitas itu, mereka terpaksa berangkat naik speedboat ke Tanjung Batu yang hanya makan waktu sekitar duapuluh lima menit saja. Hal ini juga dilakukan oleh sebagian eksekutor dan legislator Pelalawan bila mereka bertugas di sini. Mereka bermalam di Tanjung Batu Kundur karena penginapan sini baru setakat kelas melati.

Oleh karena letaknya berada di sekitaran wilayah perairan Selat Melaka, tentulah negeri ini sesekali mendapat jelingan dan tumpuan mata dari negeri dan negara tetangga tersebut. Sebagai bangsa yang memiliki sejarah gemilang di masa lampau, sudah sepatutnya Kabupaten Pelalawan ingin dipandang gagah dan sasa di mata masyarakat sekitar Selat Melaka karena bagaimana pun, Kuala Kampar merupakan pintu gerbang Pelalawan dari mata dunia (Selat Melaka). Selain itu lagi, dari segi sejarah, kalau tidak menyimpan sesuatu yang unik dan misteri, kenapa pula Sultan Mahmud Syah dari tanah Semenanjung Malaya memilih jalur ini untuk bertapak di Pekantua? Kenapa tidak memudiki kuala Indragiri atau Sungai Jantan, Siak, lalu mencari negeri untuk membangun istana sayap?

Melihat kondisi kini, pembangunan sarana dan prasarana infrastruktur mesti dilengkapi lagi. Keinginan Pemerintah Kabupaten Pelalawan untuk menjadikan Kuala Kampar sebagai kawasan zona ekonomi ekslusiv sungguh tepat, patut didukung dan digelorakan oleh semua kalangan.

Selain itu, potensi pariwisatanya pun perlu dikembangkan dan dibuat peta kerja secepatnya apalagi kawasan bono tidak begitu jauh dari sini. Jika turis dari mancanegara hendak singgah di Teluk Meranti tentulah lebih nyaman dan nikmat jika masuk dari jalur sini karena para turis tentulah ingin juga duduk semalam di Singapura, di Malaka di Batam dan Kundur.

Pun, membangun lembaga pendidikan yang lengkap dan sempurna seperti di Pangkalan Kerinci perlu digiatkan lagi di sini. Lembaga pendidikan agama Islam lebih harus diperhatikan karena, pertama, jika turis mengunjungi kawasan wisata bono tentulah bersentuhan langsung dengan masyarakat Kuala Kampar. Galibnya, kedatangan para turis asing sedikit banyaknya akan mempengaruhi prilaku masyarakat temapatan. Untuk itu, generasi muda perlu pondasi agama (akhlak) yang baik dan kuat. Kedua, pemelihara kesantunan dan keindahan nilai Melayu mutlak disampul oleh agama Islam. Makanya, memajukan lembaga pendidikan agama di daerah ini tidak hanya dibebankan kepada Kementerian Agama (Kemenag) saja tetapi juga kepada Pemerintah Daerah. MTS Kuala Kampar hemat saya perlu mendapat perhatian khusus dari Pemda Pelalawan.

Membangun dan memelihara kekayaan khazanah Melayu di Penyalai atau Kecamatan Kuala Kampar merupakan sesuatu yang mustahak segera dilakukan sesegera mungkin oleh semua sektor di Pelalawan karena negeri ini merupakan warisan Tuhan yang amat berharga demi kejayaan Melayu dan kabupaten Pelalawan di bentangan esok yang kian panjang.

(Pernah dimuat di Koran Riau 2014)

Oleh Griven H. Putera

Ramadan nan Damai

Sejumlah 30 orang pakar muslim di Indonesia menulis dalam buku. Kebali ke Jati Diri. Sebut saja KH Aqil Siradj, Dawam Rahardjo, Jalaluddin Rakhmat, Siti Musdah Mulia, Azyumardi Azra dan banyak lagi. Mereka ini merupakan anak-anak kampung yang kini tinggal di ibu kota, dan (mungkin) sekarang bisa pula disebut sebagai cendekiawan terkemuka Indonesia.

Buku ini intinya mengulas tentang kerinduan mereka kepada suasana dan tradisi berpuasa Ramadan; bertarawih, memperingati nuzulul Quran, beridulfitri dan beberapa tradisi yang berlaku sebelum dan sesudah Ramadan di kampung halaman mereka masing-masing. Walaupun intinya merupakan deskripsi tentang pengalaman indah dan uniknya berpuasa di tanah kelahiran, akan tetapi, sambil lalu mereka juga terkadang memercikkan ide-ide, mengkritisi dan memuji suatu tradisi yang bersangkut-kait dengan memuliakan Ramadan serta menghubungkannya dengan kehidupan beragama yang dipandang kaku dan jumud. Siti Musdah Mulia misalnya menulis; …umumnya semua ibadah yang kami lakukan itu hanya membangun ketaatan individual, tidak banyak memberi efek pada pembentukan kesalehan sosial. Akibatnya, tujuan akhir agama, yakni memanusiakan manusia tidak banyak terwujud. Mengapa ini ini terjadi? Menurut hemat saya, karena umat Islam lebih banyak diajarkan tentang ibadah mahdhah (ritual bersifat formal), berupa salat, puasa, zakat dan haji. Itu pun sekedar aspek ritual yang mengedepankan unsur legal dan formalnya.

Kiai Aqil Siradj menulis pula; “Siapakah yang baik perkataannya daripada orang-orang yang berseru kepada Allah dan yang beramal saleh, lalu berujar, ‘saya ini termasuk muslim,” [QS 37: 33]. Ayat tersebut menunjukkan formalitas Islam hanyalah syiar-syiar keagamaan yang kualifikasinya berada di pengujung ayat. Sementara itu, yang diprioritaskan adalah berseru kepada Allah dan beramal saleh. Seruan Allah tersebut sangat beralasan. Jika formalitas Islam ditingkatkan pada prioritas pertama, hal ini tentu sangat berbahaya. Dari sinilah orang-orang munafik (hipokrit) atau penghianat agama biasanya muncul. Sikap hipokrit seringkali lahir dari sikap mendahulukan unsur legal formal agama daripada kualifikasi amal saleh dan akhlak mulia.    

Jalaluddin Rakhmat dalam tulisan berjudul “Puasa dalam Proses Penyempurnaan Diri” pun menyebutkan;… bagi saya, menjaga silaturrahim itu jauh lebih penting daripada mempertahankan paham fiqh saya yang sanga subjektif……..dalam konteks keislaman saya sekarang ini, Islam Madani, maka mempersoalkan tradisi Ramadan menurut saya sudah tidak relevan lagi. Apa pun tradisinya, bagi saya tidak menjadi masalah, yang penting dapat menumbuhkan spirit-spirit kemanusiaan dan kedamaian sebagaimana diajarkan oleh Rasulullah Saw. melalui Alquran dan Sunnahnya.

Sedang Sinta Nuriyah Wahid menulis;.. maksud dari ‘la’allakum tattaqun’ dalam Surat Al-baqarah183 sehubungan dengan kewajiban puasa adalah menjaga moralitas dan etika  serta hubungan dengan Tuhan dan sesama manusia. Dalam bingkai moralitas ini, terkandung nilai-nilai kesabaran , kejujuran, keterbukaan, keadilan, kesetaraan, kebersamaan, kasih-sayang, toleransi dan nilai-nilai luhur lainnya.   

Dari beramadan di kampung halaman, mereka tampaknya membawa isu bersama, yaitu Islam damai. Islam yang mengutamakan amal saleh dalam kehidupan ketimbang Islam pada tataran legalitas formal.

Membaca buku ini jelas sekali tampak, bahwa di tangan bangsa Indonesia yang terdiri dari berbagai ragam budaya suku bangsa, pelaksanaan ibadah Ramadan sungguh indah dan mempesona. Untuk ini, Moch. Nur Ichwan, PhD benar dalam tanggapannya di kulit belakang buku ini, bahwa “Tradisi seputar Ramadan dan mudik  lebaran yang tak hilang digempur ortodoksi dan modrernisasi, sebagaimana terefleksikan dalam buku ini, menunjukkan bahwa ekspresi teologis dan kultural Islam di negeri ini adalah indah seperti bunga-bunga di taman: harum dan warna-warni—bukan apak dan hitam putih. Semoga juga menginspirasi dunia sosial dan politik kita.” 

(Pernah dimuat di Koran Riau 2014)

Oleh Griven H. Putera

Ramadan dan Melayu

Ramadan merupakan bulan yang amat menggembirakan hati orang Melayu. Dalam sebelas bulan sebelumnya, orang-orang Melayu dahulunya mempersiapkan bekal dengan sungguh-sungguh demi menghadapi bulan Ramadan. Selama bulan Ramadan kebanyakan mereka khusus melakukan ibadah saja. Mereka tak lagi bekerja seperti pada bulan yang lain. Waktu dihabiskan hanya untuk beribadah karena di samping pada bulan ini pahala ibadah dilipatgandakan, mereka pun berharap agar selalu mendapat rahmat Allah SWT. serta memperoleh ampunan dari segala perbuatan, perkataan dan sikap yang salah selama ini. Mereka ingin bahagia ketika suatu saat nanti Allah SWT. menjemputnya melalui Izrail. Mereka ingin menjadi hamba yang kelak dipanggil Allah SWT. dengan himbauan, “Wahai diri yang tenang. Pulanglah ke haribaan Tuhanmu dalam keadaan ridla dan diridlai. Jadilah hamba-Ku. Dan masuklah ke dalam Surga-Ku.”

Beberapa hari sebelum bulan Syakban berakhir, mereka pun berziarah ke makam orangtua dan handai taulan. Ritual ini dimaksudkan supaya melunakkan hati. Selain itu juga untuk mengingat mati karena Rasulullah SAW. juga menyatakan bahwa salah-satu orang dipandang paling baik adalah yang selalu mengingat mati.

Pada petang terakhir bulan Syakban, mereka melaksanakan mandi tobat dalam sebutan Mandi Berlimau atau Petang Megang, lalu silaturrahim ke rumah keluarga dan sanak tetangga. Saling bermaaf-maafan. Mensucikan diri zahir dan batin karena akan memasuki bulan suci.

Mereka puasa bukan saja berpuasa dengan niat untuk menahan diri dari makan dan minum, berhubungan intim suami istri dan hal-hal yang membatalkan puasa mulai terbit fajar hingga terbenam matahari, orang Melayu juga melakukan puasa lebih jelimat lagi, yaitu berniat menahan diri dari berkata berlebihan, bergunjing dan laku sifat tercela lainnya. Mereka melakukan puasa sufistik. Sehingga berkembang dan familiar terdengar dalam sebagian masyarakat Melayu bahwa puasa itu punya adab batin.

Ketika memasuki pertengahan Ramadan, mereka pun berlomba-lomba memperingati turunnya Alquran melalui perlombaan membaca Alquran. Lomba mulai antar parit, dusun hingga antar kampung.

Pada malam 27 Ramadan sebagian mereka menyalakan lampu colok, menyalakan sajadah (obor yang terbuat dari tempurung kelapa). Maksud api itu adalah simbol pencerahan karena diperkirakan pada saat seperti itulah munculnya lailah al- qadar (malam kemuliaan atau malam pencerahan) seperti yang tertera dalam surat Al-Qadr, bahwa malam itu malaikat akan turun ke bumi membawa keselamatan dan kesejahteraan hingga semburat fajar timbul di langit timur.

Kaum ibu pada siang harinya, selain berpuasa, mereka pun menyempatkan diri membuat kue-mue untuk malam takbiran dan pada hari raya. Kue-mue tersebut bukan untuk pamer kekayaan dan hura-hura tapi bagaimana bergembira dan mengungkapkan rasa bahagia setelah sukses menghadapi cobaan hawa nafsu selama berpuasa dan beribadah di bulan Ramadan dalam naungan kasih silaturrahmi.

Usai idul fitri, mereka kembali merajut tali silaturrahim dengan sanak keluarga dan tetangga di perkuburan sempena menziarahi keluarga yang telah berpulang ke rahmatullah. Sayang kepada kelauarga dan handai taulan yang masih hidup, maka saling salam-salaman dan bermaafan. Teringat mereka yang telah meninggal dunia, ziarahi mereka sambil berdoa dan membaca sepaling al-fatihah dan surah yasin secukupnya. Wallahua’lam.

(Pernah dimuat di Koran Riau 2014)

Oleh Griven H. Putera)

Mezguita Langgam

Dari pantauan di seberang kampung, mesjid Melayu yang dibangun di awal abad ke-19 ini sangat unik dan mencengangkan karena berdiri pas di bibir tebing yang berair deras. Tempat tegak mesjid yang dikenal dengan nama Pematang Terhentak ke Tebing ini menjadi tumpuan air yang mengalir laju dari hulu. Pemandangan ini memberi kesan elok dan eksotis, bahwa mesjid Nurul Islam ini seolah berhalaman air, dan menaranya yang kuning keemasan, tinggi mencacak tajam seolah hendak menyundak langit.

Memang, Mesjid Nurul Islam Langgam merupakan mesjid unik. Salah-satu keunikan mesjid ini karena, pertama terletak pas di bibir tebing. Secara logika, mesjid ini sudah lama terjun ke dalam air karena tanah di kiri-kanannya sudah runtuh. Akan tetapi karena kuasa Allah Swt. bangunan yang sudah berdiri kira-kira sejak tahun 1910 ini masih tegak berdegam bahkan bisa dibilang megah sampai hari ini.

Menurut Haji Abu Bakar yang didampingi Ust. Fadli Rahman, mesjid ini merupakan mesjid tertua di Kelurahan Langgam. Kenapa bangunan mesjid ini tetap bertahan sampai kini di tepi bantaran sungai karena letaknya sangat strategis, yaitu berada di tengah kampung Langgam dan tak jauh pula dari pasar Langgam dahulunya.

Menurut Haji Bakar lagi, semasa Kecamatan Langgam masuk dalam wilayah Kabupaten Kampar, pihak Pemerintah Kabupaten Kampar pernah merasa enggan memberi bantuan kepada mesjid ini karena dinilai mubazir. “Dahulu Pemerintah Kabupaten (Kampar), kalau tak salah semasa dipimpin Subrantas masih berpikir-pikir untuk mengulurkan bantuan kepada mesjid ini karena dinilai mubazir, sebab tanah ini bakal runtuh. Tapi alhamdulillah sampai kini masih ada,” kata pensiunan pegawai Kantor Urusan Agama (KUA) Kecamatan Langgam ini tersenyum.

Pada awal dibangun, konon luas mesjid ini hanya 8X9 meter persegi. Bertiang dan terbuat dari kayu. Kira pada tahun 1920-an, luas mesjid menjadi 13 X 13 meter persegi.  Pada tahun 1974, setelah dirasa tak muat lagi karena bertambahnya jumlah jemaah, maka dilakukan pemugaran besar-besaran dan dibangun beton. Luasnya pun menjadi 25 X 30 meter persegi.

Konon, pada tahun 1974 tersebut, terjadi beberapa hal yang cukup mencengangkan. Ketika keinginan pemugaran dilaksanakan, air tiba-tiba surut. Di seberang mesjid ini tiba-tiba timbul pula batu kerikil. Masyarakat Langgam pun mulai bergotong-royong mengambil batu tersebut. Setelah mesjid selesai direnovasi, batu yang dahulunya terdapat di seberang mesjid itu pun hilang sempena naiknya air. Sepertinya batu tersebut sengaja didatangkan Allah Swt. buat mesjid ini, “ kata Haji Bakar yang juga diaminkan Drs. H. Zulkifli, Kepala Kementerian Agama (Kemenag) Kabupaten Pelalawan. Selain itu, di hulu mesjid ini yang dahulunya teluk berair dalam yang dikenal Bernama Teluk Ongeh Biso, tiba-tiba didatangi lumpur yang seolah menjadi pulau. Sepertinya, pulau lumpur yang baru muncul tersebut menjadi pagar bagi tebing mesjid ini.

Pada tahun 2010, Mesjid Nurul Islam mengalami pemugaran kembali. Mesjid ini semakin dibangun megah dan gagah. Satu menara kuning tajam seperti hendak mengugah awan, dua kubah kuning tampak bagai tempurung emas yang sedang telungkup menambah indahnya pesona Langgam. Temboknya dicat warna putih yang difigura dengan warna hitam tetap memberi kesan gagah tapi sederhana.

Bila dilihat dari jembatan yang melintang di hilir Langgam, kehadiran mesjid yang berukuran 25 X 30 meter persegi ini sungguh menambah cantik dan moleknya negeri yang dikenal Onah Tanjung Bungo ini. Selain menjadi anasir memperindah alam Langgam nan permai, mesjid ini juga sepertinya menjadi gerbang pertemuan dua sungai, yaitu Kampar Kiri dan Kampar Kanan.

Dari Pekanbaru menuju lokasi mesjid ini bisa dicapai dengan kendaraan yang menghabiskan waktu kira 2 (dua) jam. Sedangkan dari Pangkalan Kerinci hanya kira-kira 20 (dua puluh) menit saja.
Jika ada azam, karena unik dan letaknya yang strategis serta mudah dijangkau, mesjid ini sanggam juga dijadikan salah-satu objek wisata religi di kabupaten Pelalawan. Selain itu juga, mesjid ini sepertinya menjadi satu tanda nyata dari kekuasaan

(Pernah dimuat di Koran Riau pada Tahun 2014)

Oleh Griven H. Putera

Tasawuf Modern Nasaruddin Umar

Pengajian tasawuf kini sudah berkecambah; tumbuh subur di mana-mana. Tak hanya di dusun-dusun dan kampung kecil nan sunyi, bahkan sampai ke kota besar, yang tempatnya bukan hanya di surau-surau suluk sederhana tapi di hotel-hotel mewah.

Yang menjadi mursyidnya bukan hanya alumni madrasah surau suluk di kampung sepi tapi sampai professor di unversitas terkemuka. Buku tasawuf modern; Jalan Mengenal dan Mendekatkan Diri kepada Allah Swt ditulis Wakil Menteri Agama RI, Prof Dr Nasaruddin Umar.

Bila dibandingkan dengan buku-buku tasawuf yang sudah terbit, buku ini lebih memiliki keistimewaan. Keistimewaan itu terutama pada persoalan aktual yang dibahas. Selain itu, Prof Nasarudin Umar mampu menuliskan hal-hal yang pelik dan rahasia sufistik selama ini dengan gamblang dan mudah dicerna. Dengan bersahaja dan mudah dipahami topik seperti al ’Ayan ats –Tsabitah, Nur Muhammad, Huwa La Huwa. Sehingga ketakutan orang kepada paham Ibnu Arabi, Al Hallaj dan sejumlah tokoh sufi kontoversial lainnya dapat hilang dan sirna setelah membaca penjelasan-penjelasan dalam buku ini.

Buku ini dimulai Nasaruddin dengan membahas mestikah manusia bertasawuf? Apa itu tasawuf? Mengapa tasawuf tidak populer di masa awal Islam? Mengapa kini tasawuf banyak digemari kelas menengah? Apa yang perlu diperhatikan sufi pemula?

Pembahasan pun berlanjut hingga bagaimana belajar makrifat? Mungkinkah murid berguru kepada penghuni alam lain? Bagaimana berguru dengan penghuni alam lain? Bagaimana tingkatan alam menurut sufi? Seperti alam mitsal, malakut dan jabarut. Dan mungkinkah manusia bisa mengaksesnya? Selain itu, buku ini juga menjelaskan tentang apa itu ahadiyyah dan wahidiyyah, lalu di mana titik temu antara ahadiyah, ein sof, atma, dan tao?

Banyak sekali hal yang menarik dikemukakan Nasaruddin Umar dalam buku ini, seperti ketika membahas mengapa alam semesta mau tunduk kepada manusia. Selama ini jawaban banyak pakar dan ulama, karena manusia memiliki akal. “Mereka mengatakan manusia dianugerahi akal di samping diberi nafsu. Selain itu manusia ditunjuk oleh Allah sebagai khalifah di alam semesta ini. Jawaban seperti ini ditolak para sufi dengan alasan bahwa manusia bukan satu-satunya ciptaan yang diberi akal (al-hayawan an-natiq), tetapi banyak sekali makhluk lain yang memiliki akal. Bahkan, mungkin mereka lebih cerdas berpikirnya dibandingkan manusia. Seekor anjing dapat disekolahkan menjadi anjing pelacak yang dapat mengidentifikasi objek dengan cerdas. Apalagi bangsa jin dan makhluk spritual lainnya. Menurut para ahli, jika fenomena penampakan UFO yang tahun-tahun terakhir banyak terlihat benar-benar ada, dipastikan makhluk UFO itu lebih cerdas dalam banyak segi daripada manusia...” (hal. 91). Berikutnya Nasaruddin menulis; “Menurut Ibnu Arabi, keistimewaan manusia yang kemudian mengantarkannya menjadi khalifah, lalu alam semesta tunduk kepadanya, sama sekali bukan karena akalnya. Ia mengatakan, kemampuan berpikir bukan ciri khas manusia, melainkan menjadi fenomena alam semesta. Ia menegaskan, keliru besar orang yang beranggapan  keistimewaan utama manusia karena ia sebagai makhluk berpikir. Keistimewaan yang dimiliki manusia, ungkap ibnu Arabi adalah kesempurnaan manusia sebagai lokus penampakan nama-nama (asma) dan sifat-sifat Tuhan...” (hal. 92).

Dari sudut pandang inilah, kata Nasaruddin Umar, kalau Seyyed Hossein Nasr menyebut manusia sebagai satu-satunya makhluk teomorfis atau makhluk eksistensialis, yang bisa turun naik martabatnya di mata Tuhan. Dari sudut pandang ini juga, al-Jilli melihat manusia sebagai makhluk paripurna atau insan kamil.

Nasaruddin umar juga membahas tentang apa itu perkawinan makrokosmos dan perkawinan mikrokosmos. Lalu apa itu rahim mikrokosmos dan makrokosmos?

Semua pertanyaan itru dijawab Nasaruddin dengan bahasa sederhana dan tuntas dan penuh yakin. Selain membahas hal-hal seperti itu, bahkan ia juga mengemukakan hal-hal yang selalu berkembang dalam ilmu kebatinan selama ini, seperti apa rahasia titik di bawah Ba dalam basmalah dan apa rahasia tanpa alif sesudah Ba dalam basmalah.

Yang terakhir, buku ini diisi dengan bab yang membahas mengapa sufi akrab dengan seni?
Kalau yang dimaksud dengan seniman ialah seseorang yang memiliki jiwa, rasa, bakat, dan atau watak seni, Nabi Muhammad Saw. juga seniman. Hanya saja, prediket seniman untuk nabi tentu saja seni yang sejati dan agung, sejalan dengan fitrah dan martabat luhur kemanusiaan, dan menjunjung tinggi nilai-nilai keindahan dan kehalusan budi pekerti. Dengan kata lain, seni yang mendekatkan diri manusia kepada Tuhannya.... (hal.205)   

(Pernah dimuat Riau Pos tahun 2014)


Oleh Griven H. Putera

Menanti Pendekar Asap

Haku tak takut pado hantu, pado himau. Tapi pado lintah, aku kerek.
Demikian salah-satu pernyataan seorang pendekar di kampung saya dulu. Ungkapannya itu keluar setelah seekor lintah berhasil menyelinap ke dalam perutnya, entah melalui anus atau tabung airnya. 
Namanya Paruk (bukan nama sebenarnya). Semasa muda ia memang terkenal memiliki darah berani super. Kala seekor harimau Sumatera mengamuk dan terperangkap di kampung kami, hanya ia seorang yang mampu bersilat dengan harimau, lalu menikamnya. Di ujung keris pendeknya, sang penguasa rimba itu takluk. Maaf, seorang aparat keamanan negara dari kecamatan, jangankan menikamnya, mengangkat bedil pun tak telap kala itu.

Tapi, siapa yang bisa mengalahkan waktu? Kala usia tua, dan seekor lintah menyusup ke dalam tubuhnya, lelaki itu tak berdaya dan mengaku kerek alias salut. Ia harus minum air tembakau hingga hampir mabuk agar sang lintah keluar dalam keadaan bungkang tanah.
Kini Riau tak kerek pada lintah tapi kerek atau salut pada asap. Asap tak bisa dihentikan pendekar apapun dan dari instansi manapun di negeri ini. Saban musim kemarau, asap melebihi lintah mengganggu semua orang, ksatria yang ditunggu pun tak kunjung datang. Asap seolah hanya diserahkan kepada Tuhan. Bahkan Tuhan pun dianggap pemegang korek api atas banyak kejadian kebakaran di Riau. dan kelihatannya, kini Tuhan pun akan disuruh membawa ember dan menumpahkannya di tempat api yang bergejolak. Hmm, nasib, nasib. Sungguh malang nian nasibmu Riau.

Bulan puasa sebagai bulan latihan fisik dan rohani tahun ini menjadi lebih berat, karena di samping diuji dengan kelaparan dan berbagai tes batin dari Allah Swt, umat muslim di Riau juga diuji dengan sumpalan asap yang tak sudah-sudah.

Pengeluaran umat bakal bertambah setelah persiapan idul fitri dan bagi-bagi angpau di hari raya, karena persiapan biaya pengobatan akibat asap bakal semakin tinggi. Tahun ini, mungkin angpau atau berbagi saat idul fitri akan terancam hangus karena uang tersebut bakal dipakai untuk safety kesehatan. Beberapa hari ini sudah banyak masyarakat Riau yang tersampuk radang tenggorokan, batuk, demam dan berbagai penyakit pernafasan lainnya.

Melihat kondisi seperti ini, agaknya wajar masyarakat Riau berharap dan meminta Gubernur dan wakil Gubernur Riau H Annas Maamun dan H Andi Rachman menangani asap ini lebih dini, lebih gesa dan lebih terstruktur serta sistematis. Masyarakat berharap jangan sampai Presiden RI datang lagi ke Riau sebagai pendekar asap. Cukup presiden di Jakarta melihat pembantunya menyelesaikan asap di Riau ini, karena kini sistem pemerintahan Indonesia bukan lagi bersifat sentralistik tapi desentralistik. Cukuplah sekali kemarin saja Riau menjadi kawasan darurat asap.

Semoga Gubernur Annas menjadi pendekar asap yang kedatangannya amat dinanti masyarakat Riau. Ketegasan Annas untuk menindak dan menghukum berat siapa saja yang membakar lahan dan hutan, serta mempertontonkan para penjahat asap di depan masyarakat Riau merupakan kerja Annas dan kabinetnya yang patut ditunggu. Sebab selama ini, berita di media tentang berapa orang yang ditangkap seolah hanya menjadi kilas info yang kabarnya lesap bersama raibnya asap. Masyarakat meminta dan berharap, kalau perlu para penjahat asap, mulai dari pembakar sampai dalang di balik pembakaran diarak keliling Riau. Kalau perusahaan terbukti terlibat, tutup saja dan tukar dengan perusahaan yang komit untuk memelihara hutan. Atau kalau berani, biarkan Riau sepi dari perusahaan.

Pak Annas, mohon jangan kerek pada asap. Jadilah pendekar asap. Kemarin SBY datang ke Riau membawa pipa semprot. Esok, Jokowi jangan pula blusukan membawa drum kaleng air ke negeri ini. Masa Pak Annas mau kalah dengan Jokowi? Dulu ‘kan sama-sama jadi gubernur populer lho.
Kalau Pak Annas sukses menangani asap Riau yang menjadi tradisi kemarau selama ini, mungkin bolehlah jadi salah-satu kandidat menteri kehutanan kabinet Jokowi ke depan. Itu pun kalau Jokowi dimenangkan MK di persidangan sengketa Pilpres nanti. Heeee...     

(Dimuat di Koran Riau, Jumat, 23 Juli 2014)


Oleh Griven H. Putera
 

Tempurung Fitri

Di samping menyimpan setempayan misteri, arus batang sungai pun mengendapkan banyak peristiwa simbolik, baik yang bisa dicerap pikiran manusia modern maupun insan antah berantah. Di sepanjang sungai mengalir ribuan kisah dan kenangan yang didendangkan dari riak, gemericik dan kecipuk sekalian biota air yang bergelut, bercanda mesra saban saat menikmati kasih sayang Ilahi, baik kala purnama menyapa atau saat mentari tersenyum sipu. Rimbun pokok aneka flora yang tumbuh berderet, yang bersusun paku, mulai tumbuhan liar hingga pokok jinak di pinggirannya, menjadi saksi dan pelaku bisu dalam peristiwa kebudayaan manusia. Semua aktivitas makhluk tersebut  menjadi gendang, menjadi seruling, menjadi bait-bait syair nan mengalun syahdu menjahit benang peradaban manusia dari masa ke masa. Semua itu bersebati, menyatu dalam diri manusia yang memahami dirinya sebagai pancaran Ilahiah di muka bumi.

Pada sebagian masyarakat yang berdiam di pinggiran sungai Kampar dan Rokan misalnya, dari pokok kelapa menyembullah tradisi “sajadah”. Yaitu tradisi menyambut datangnya “api Tuhan” [cahaya Ilahi], dengan lebih dulu membuat api sendiri, membakar tempurung kelapa yang disusun di halaman rumah pada malam 27 Ramadhan sebagai tanda gembira bakal datangnya pencerahan. Konon, tradisi ini dibuat, karena pada malam 27 Ramadhan diyakini bahwa cahaya di atas cahaya, nurun fauqa nurin pada lailat al-qadr, bakal akan menebar ke seluruh persada bumi. Cahaya dari langit tinggi itu akan menyebar dan menyerap kepada insan yang sudah menyiapkan diri selama ibadah Ramadhan; insan yang telah membakar dan mengosongkan hatinya dari segala bentuk keinginan rendahan seperti sifat zalim dan lain-lain, menuju keinginan yang maha tinggi, berupa pengasih, penyayang, penyantun, pendidik, dan lain-lain—[yang terangkum dalam Asma Tuhan yang 99]. Membakar seluruh sifat hewani dan iblisi yang selama ini beristana dalam diri. Menghangus segala salah, silap dan dosa dalam menjalani amanah Ilahi yang telah terbeban sebagai peneraju bumi.  Dari tempurung kelapa, yang daunnya selalu melambai, mengajak manusia dan alam sekitar menari dalam zikir menimang cahaya Tuhan, mengajak sang khalifah; yaitu manusia menemukan diri kembali, memakrifahi Diri yang asal. Beri’tikaf, merenung; dari mana berasal, di mana kini dan akan akan kemana suatu hari nanti. Dari harum bau pembakaran tempurung,  dan cahaya api yang menyemburat ke kaki langit, cahaya dari langit tinggi penuh maha wangi diimpikan menghunjam dalam ke laut diri, menyebar ke seantero jagad, menyatu ke dalam hati yang tiada lagi menyimpan ruh hewani dan syaitani. Terbang, mengendap, larut dalam ruh abadi, menadah tempurung diri yang sudah disuci melalui riyadhah Ramadhan demi sang cahaya yang akan menyinari diri penuh seluruh. 

Sesungguhnya, Allah Swt pun telah menempatkan dalam lubuk hati manusia sebuah lentera; dan itu seringkali tertimbun akibat segala dosa yang pernah dilakukan manusia. Alquran menggambarkannya sebagai misykat:; Allahu nur as-samawati wa al-ardh, matsaluhu nurihi ka misykatin fiha misbah…” perumpamaan cahaya Allah itu seperti misykat. “…kacanya itu seolah-olah bintang yang cemerlang, yang dinyalakan apinya dari pohon-pohon zaitun yang diberkati, yang tidak di timur dan barat. Hampir-hampir minyaknya saja bersinar padahal tidak disentuh api. Cahaya di atas cahaya. Allah membimbing kepada cahaya-Nya siapa yang dia kehendaki… [QS. Al-Nur:35]. Misykat dalam bahasa Arab adalah sebuah tempat seperti mangkuk terbalik atau seperti tempurung terbalik. Ini pun dimanifestasikan umat manusia pada rumah ibadah. Bisa dilihat dari kubah mesjid, candi-candi, katedral-katedral dan gundukan tanah kuburan.

Jika umur pun pandak, maka kehidupan penuh keindahan akan menanti. Syurga sebagai tempat maha nikmat akan membuka pintu dan jendela selebar-lebarnya. Sebaliknya, pintu neraka akan terkunci rapi. Bukankah hanya orang yang mau membakar keinginan hewani dan Iblislah yang terbebas dari pembakaran api abadi; neraka? Hadits riwayat Salman Alfarisi. “Adalah bulan Ramadhan itu, awalnya adalah rahmat, pertengahannya adalah ampunan, terakhirnya adalah terbebas dari api neraka.”Wallahu a’lam.
Selamat ‘id al- fitri. Semoga cahaya di atas cahaya memeluk kita…  

Oleh Griven H. Putera


Gerakan Dongeng Riau

Dongeng; media pengajaran paling mangkus dalam sejarah panjang kemanusiaan. Tak satupun peradaban besar di dunia yang tak mengenal dongeng. Hampir semua puak, suku dan bangsa memiliki pendongeng yang mampu mengisahkan cerita-cerita dengan memikat, donegeng itu bisa berbentuk sejarah masa lampau yang pernah ada atau hanya sebagai media pembelajaran  yang merupakan rekaan sang pencerita sahaja.

Dongeng selalu menjadi pemantik kesadaran sebuah puak, suku dan bangsa demi kemajuan perkembangan intelektual kaumnya di tengah pertelagahan kebudayaan dunia. Tapi sayang, tak semua orang pandai dan piawai mendongeng dengan baik. Sehingga dongeng seolah milik para pujangga, bual para pengarang dan keletah para pengotah di kedai kopi semata.

Dongeng di Riau sama tuanya dengan keberadaan semua puak yang ada di negeri ini. Dongeng di negeri ini bisa bernama kayat, koba, nyanyi panjang atau cerita rakyat. Semua dongeng itu bersifat menghibur tapi lebih utama untuk menanamkan pendidikan akal-budi sambil bercerita.

Dengan mendongeng, tanpa sadar si pendengar diajak untuk berimajinasi, diangkut untuk bersemangat menghadapi gelombang hidup yang tak tentu entah bila ‘kan datang ombak dan entah bila kan tiba onak duri dan gelombang ujian. Dengan dongeng, nilai adat budaya diterangkan dengan pesona. Dengan mendongeng, dengan bercerita yang memikat nilai agama ditanamkan di sanubari anak didik harapan bangsa.

Dalam mendongeng apa yang tidak ada? Kemampuan berteater diuji, kepiawaian bersastra dicoba, ketangkasan bersulap dipertontonkan, kejumawaan beretorika ditunjukkan, kebernasan ilmu dan wawasan direfleksikan.

Era kini,hemat saya mendongeng masih merupakan salah-satu cara mengajar yang efektif. Saat ini, teori kesantunan, kebajikan, dan kepahlawanan tak bisa hanya diceramahkan dan dituturkan di ruang kelas, definisi dan segala ihwal kebaikan serta kejahatan tak cukup dikhutbahkan di rumah ibadah. Ia perlu disampaikan dengan retorika, dengan cara dan gaya yang memikat dan menarik sehingga disukai dan disenangi peserta didik, dan nilai kebajikan itu menjadi sesuatu yang diperlukan batin mereka karena fitrah manusia sesungguhnya adalah suci, baik dan menyukai keindahan.
Sesuatu yang bajik jika tidak disampaikan dengan indah dan menarik akan lambat dan kesat direspon publik. Untuk itu, lakukan sesuatu dengan indah dan logik agar mendapat respek serta menuai efek yang positif.

Langkah Balai Bahasa Provinsi Riau mengadakan lomba mendongeng antar guru TK dan PAUD se Provinsi Riau baru-baru ini patut mendapat apresiasi positif. Ini bermula tentu saja karena kesadaran lembaga ini akan pentingnya dongeng dalam membangun peradaban. Tapi sayang, langkah maju lembaga ini belum diikuti oleh lembaga TK dan PAUD di Riau. Ini terbukti dari sekian ribu lembaga itu, hanya sekitar 18 orang saja yang ikut berlomba. Tapi sebagai pemecah tanah atau langkah awal, hal ini cukup menggembirakan.

Para guru pendongeng yang menunjukkan kebolehannya di panggung ini amat menggembirakan. Riau, Sebagai negeri pujangga, saya melihat fenomena ini kita patut berbangga karena para cikgu yang terdiri dari kaum perempuan ini telah mampu melestarikan seni-budaya mereka dengan baik dan unik. Sehingga phawa panas di siang nan terik tak terasa oleh penonton akibat mantra mereka begitu magis di atas pentas.

Para cikgu ini tampil begitu bermakna karena cerita yang dikisahkan hampir semuanya merupakan dongeng-dongeng yang bernas yang lahir dari rahim negeri ini. Sebut saja ada Batang Tuaka, Dedap Durhaka, Bujang Buta dan lain sebagainya.

Agaknya pelatihan mendongeng bagi siswa dan guru ini perlu dilaksanakan di Riau, terutama ditaja Dinas Pendidikan, Dinas Kebudayaan dan Pariwisata serta Bidang Pendidikan Madrasah di Kementerian Agama agar cara mengajar dan mendidik anak bangsa ini lebih variatif dan menampakkan hasil maksimal bagi peserta didik di masa yang akan datang.

Untuk itu, beberapa instansi yang diterakan di atas supaya serius memikirkan hal ini. Setelah siswa dan guru dilatih mendongeng, mereka pun disediakan ajang uji trampil melalui festival, apakah triwulan atau tahunan.

Sudah tiba masanya semua elemen bangsa memikirkan generasi yang tidak menjadi ‘robocop’ tapi manusia menyadari hakikat diri yang padanya terhimpun fungsi khalifah yang merupakan wakil Tuhan di muka bumi yang pada diri-Nya bukan saja terhimpun sifat Jalaliyah tapi juga Jamaliyah. Wallahu a’lam.
Mari rayakan Gerakan Riau Mendongeng!   

By Griven H. Putera

Wangi Alquran

Alquran huwa kalam Allah almu’jiz al-munazzal ‘ala qalbi muhammadin SAW al-manqul bi al-tawattiri al-muta’abbad bitilawatih.
 “Alquran adalah ucapan-ucapan Allah yang merupakan mu’jizat, diturunkan ke dalam hati nabi Muhammad Saw. disampaikan secara mutawatir (valid), membacanya sebagai ibadah. “ (Ini definisi Alquran menurut Subhi As Sholih, pakar Ulumul Quran).

Bulan Ramadan, di samping disebut bulan puasa, bulan ini juga merupakan bulan Alquran karena kitab suci umat Islam diturunkan Allah Swt. kepada Nabi Muhammad Saw. melalui Jibril AS pada bulan ini. Akibat itu, maka umat Islam merayakan dan menakzimkan Alquran pada bulan ini. Mulai subuh hingga subuh lagi Alquran dibaca, ditelaah, dikaji dan dibahas panjang lebar baik di surau, mesjid, radio, televisi, koran, majalah sampai dunia maya. Dan Alquran tidak saja dibicarakan ulama tapi oleh semua pihak. Dunia muslim mengharu biru selama Ramadan oleh Alquran. Tapi timbul pertanyaan, apakah Alquran hanya setakat diceramahakan, dibahas, ditafsirkan, dibahas, dipuisikan dan lain-lain tanpa diamalkan hingga tercermin bahwa muslim merupakan pembawa bendera rahmatan lil ‘alamien?

Secara sederhana, ada beberapa kata kunci dalam definisi yang dibuat Subhi As-Sholih di atas yang perlu didedahkan di sini:
Pertama, Alquran merupakan kalam atau ucapan; perkataan; ungkapan Allah Swt. Jadi, kalau ingin bicara atau ingin berkomunikasi dengan Allah Swt, maka bacalah Alquran. Soal sejauh mana intensnya komunikasi tergantung pada sejauh mana riyadhah atau latihan olah batin sang manusia tersebut.

Kedua, Alquran merupakan mukjizat sepanjang masa. Jadi, walaupun Nabi Muhammad Saw sudah pergi tapi mukjizatnya masih tertinggal di tengah umat manusia hingga kini. Tapi tentu saja, tidak semua orang paham dan mampu menjadikan Alquran tersebut sebagai “mukjizat”. Bagi yang mau mengikuti perintah Allah Swt dan Rasulullah Saw, insya Allah ‘mukjizat’ itu masih ada. Bisa berupa karomah dan ma’unah. Tapi bentuknya berubah, kalau dulu bisa berbentuk hal-hal mistik, kini dapat berupa menguasai kemajuan bidang teknologi sekarang ini.

Ketiga, Alquran itu diturunkan Allah swt. kepada qalb atau hati nabi Muhammad Saw. melalui Jibril AS. Jadi, Alquran akan mempengaruhi manusia yang memelihara hatinya. Jika hatinya dipenuhi debu kekotoran maka Alquran tak akan memberi bekas padanya walaupun mungkin ia hafal kitab suci tersebut. Jadi, kunci mendapatkan berkah Alquran adalah dengan penataan hati yang maksimal. Buang sifat mazmumah yang beristana di hati. Sifat tersebut seperti,  hasad, dengki, khiyanat, dendam dan sejumlah penyakit batin lainnya. Jadi, inti dari kata la yamassuhu illa al-muthahharun adalah penyujian hati. Orang yang belum suci hatinya jangan sentuh Alquran. Walaupun menurut ulama fikih, yang tak boleh menyentuh Alquran tersebut adalah orang sedang berhadats dan bernajis. Tapi bagi sebagian kaum sufi, suci itu bukan saja suci zahir tapi suci batin. Sampai-sampai, mereka pun akan memelihara kesucian itu sebelum mendirikan salat dan berbagai ibadah yang lain. Karena Allah Swt. itu adalah zat yang Maha Suci, maka berkomunikasi dengan Yang Maha Suci itu dengan mensucikan diri terlebih dahulu. Suci lahir, suci batin.

Keempat, Alquran diturunkan secara mutawatir atau valid. Ia datang bukan serupa dongeng atau kisah-kisah legenda direkayasa sedemikian rupa oleh sang pengarang. Proses turun-Nya Alquran kepada Rasulullah Saw. sangat jelas, yaitu melalui perantaraan Jibril AS. La raiba fiihi li al-muttaqin. (Tak ada keraguan sedikit pun dalam hati orang-orang yang bertakwa). Jadi, hanya orang-orang yang haq al yakin dengan validitas Alquran saja yang akan mendapat lautan indahnya makrifat Alquran tersebut. Kalau ada keraguan tentang Alquran setitik saja dalam hati, baik dari proses turun, apalagi isinya, maka Alquran akan membisu. Ia akan menjadi buku bukan apa-apa bagi orang percaya separuh hati. La raiba fiihi li al-muttaqin. Yakinilah dengan sehak-haknya bahwa Alquran itu kitab maha sempurna.

Kelima, membaca Alquran terssebut merupakan wujud penyembahan kepada Allah Swt. jadi, salah-satu bukti menjadi abid sejati adalah dengan selalu membaca Alquran, baik si pembaca mengerti makna atau tidak. Tapi tentu saja lebih baik, yang dibaca itu dimengerti dan dipahami sehingga hati benar-benar merasa betapa takjubnya Alquran tersebut. Maka, tingkat wawasan, pengalaman dan pergulatan batin yang intens terhadap Alquran akan menentukan seberapa besar khasiat Alquran bagi pembacanya.        

Bicara Alquran sesungguhnya bukan hanya berkutat pada persoalan membaca, mengkaji, menelaah, menghafal, menafsirkannya, dan memahami makna batin dari kitab mulia ini tapi yang lebih penting adalah mengamalkan nilai agung kitab tersebut dalam kehidupan. Menjadikan nilai Alquran tersebut sebagai matahari di kala siang, dan menjadikannya sebagai bulan ketika malam gelap gulita. Sehingga pewaris kitab samawi terakhir tersebut benar-benar menjadi umat pembawa obor kedamaian bagi alam semesta. Umat yang menebarkan aroma wangi kalam Tuhan.

Mari amalkan nilai luhur Alquran dalam kehidupan ini sehingga umat Islam benar-benar menjadi penyambung estafet Nabi Muhammad Saw. yang telah menebarkan bau wangi Islam di jagat raya. Bukan bau kekerasan dan kaku yang membuat Islam tidak menjadi agama taman indah Ilahi yang dirindukan umat manusia tanpa sekat suku bangsa, kepercayaan dan warna kulit.
 (Pernah dipublikasikan di Majalah Dinamis edisi 103)

By Griven H. Putera

Haji Hanya Sekali?

Dalam dua hari ini media disibukkan dengan berita tentang pernyataan Menteri Agama Lukman Hakim Saifuddin yang menyatakan pemerintah akan  membuat aturan pelarangan melaksanakan ibadah haji bagi yang sudah melakukannya.
Ide ini sesungguhnya sudah lama mengemuka dalam masyarakat muslim tanah air. Tapi selama ini hanya baru setakat wacana semata dan hanya didengungkan sebagian kecil pengamat perhajian. Namun ketika Menteri Agama yang menyatakannya, tentulah lontaran gagasan ini menjadi menarik untuk diberitakan dan diulas berbagai kalangan. Apalagi ide ini tidak setakat wacana tapi akan melahirkan aturan yang sifatnya kuat dan mengikat. Ide ini sepertinya kelanjutan dari UU No 13 Tahun 2008 Tentang Pelaksanaan Ibadah Haji.
Ide yang dilontarkan Menteri Agama tersebut ada benarnya jika melihat daftar antrean panjang jemaah calon haji di Indonesia dewasa ini. Sehingga dengan keluarnya aturan ini memungkinkan terdapatnya keadilan untuk sama-sama bisa berhaji bagi masyarakat muslim di Indonesia. Namun menurut hemat dan kimat saya,  yang diperlukan hari ini sesungguhnya bukanlah pelarangan tapi bagaimana mengatur agar terciptanya keadilan bagi masyarakat untuk sama-sama dapat menginjak tanah suci tersebut dalam rangka menunaikan rukun Islam yang kelima. Kalau dilarang, hemat saya Allah Swt. dan Rasulullah Saw saja tak pernah melarang orang melaksanakan ibadah haji lebih dari satu kali. Yang disebutkan itu hanya persoalan kewajiban bagi yang mampu lahir dan batin itu satu kali. Kalau ia mampu untuk berhaji lebih dari satu kali mengapa tidak? Dan setahu saya tak ada larangan secara qat’i atau pasti untuk itu, dan belum pula ada fatwa dari majelis ulama sedunia tentang hal tersebut. Kalaupun ada, itu pun baru setakat himbauan seperti hasil raker MUI pada bulan Maret tahun 1984.
Jadi, langkah yang paling mustahak dilakukan pemerintah adalah mengeluarkan aturan tentang batasan waktu untuk bisa mendaftar haji lagi bagi yang sudah melaksanakannya. Mungkin bagi yang sudah berhaji bisa mendaftar lagi apabila telah sampai sepuluh tahun atau beberapa tahun sejak tahun ia berangkat. Aturan ini sejatinya berlaku untuk siapa saja, termasuk yang namanya petugas, seperti TPIHI (Tim Pembimbing Ibadah haji Indonesia), TPHI (Tim Pemandu Haji Indonesia), TKHI (Tim Kesehatan Haji Indonesia) TPHD (Tim Pemandu Haji Daerah), TKHD (Tim Kesehatan Haji daerah), PPIH (Petugas Penyelenggara Ibadah haji), KBIH (Kelompok Bimbingan Ibadah Haji) dan lain sebagainya. Jangan ada alasan macam-macam untuk itu, sebab melalui jalur yang katanya petugas ini juga memberi celah untuk bisa melaksanakan ibadah kapan dan siapa mau. Dan tidak jarang ada orang-orang tertentu bisa beribadah haji melalui jalur ini. Dan, ketika sampai di tanah suci, kerjanya sama saja dengan jemaah haji biasa. Ia lupa kalau ia petugas. Terkadang jabatan itu dipakai dan difungsikan hanya untuk bisa berhaji, bukan karena kapabilitas dan kemampuan keilmuan serta pengalamannya berhaji (tapi jumlahnya tidak banyak). Apalagi pada TPHD dan TKHD karena kewenangan menentukan siapa mereka adalah Gubernur di Tingkat Provinsi dan Bupati atau Walikota di Tingkat Kabupaten/Kota.  
Kemudian bagaimana menjaga kredibilitas petugas bidang haji di Kementerian Agama agar surat katabelece yang datangnya dari elite eksekutif, legislatif dan eksekutif di negara ini tidak dijadikan patokan jika memang katabelece itu ada.
Selain ide di atas, kabarnya Menteri Agama juga akan meninjau ulang pelaksanaan haji khusus. Peninjauan pelaksanaan haji khusus menurut hemat saya memang perlu ditinjau ulang karena adanya dampak negatif dari pelaksanaan haji khusus tersebut. Di antaranya, pertama munculnya strata jemaah haji. Biasanya sebagian yang berhaji melalui jalur plus ini akan berlaku ekslusif dan kurang bisa bersilaturrahmi dengan jemaah reguler. Tentu saja perlakuannya tersebut akan merugikan dirinya sendiri karena haji bukan hanya dimensi ibadah lahiriyah semata tapi sesungguhnya juga ibadah batiniah (hati). Kedua, juga mampu menciptakan keadilan. Contohnya saat ini, jika didaftarklan melaui jalur reguler sang calon jemaah haji bisa menunggu sampai 10 tahun, namun jika melalui jalur khusus yang biayanya mencapai tiga kali lipat biaya reguler, mungkin cukup makan waktu dua atau tiga tahun saja.
Eloknya yang dilakukan pemerintah ke depan adalah melakukan pelayanan prima bagi jemaah calon haji (JCH) secara keseluruhan. Jika layanan tersebut mampu dilakukan maka masyarakat muslim Indonesia tidak akan tertarik untuk haji melalui jalur khusus ini. Sebab yang terkesan dari jalur reguler selama ini adalah kurang maksimalnya pelayanan bagi jemaah calon haji. Sementara di jalur plus lebih memuaskan, mulai dari pemondokan yang mewah dan dekat dengan mesjid Haram Mekkah dan Madinah, tenda di Mina dan Muzdalifah yang layak huni hingga konsumsi dan pelayanan lainnya yang memuaskan. Untuk kasus haji khusus ini tentu saja tidak menjadi tanggungjawab pemerintah Indonesia sendiri tapi juga dari pemberi kuota plus, yaitu Pemerintah Arab Saudi yang saban tahun memberi jatah untuk itu bagi Pemerintah RI.
Jika Pemerintah, terutama Kementerian Agama mampu melakukan pelayanan prima ini, maka jalur haji khusus boleh ditutup atau kuotanya boleh ditolak walaupun mungkin merugikan sebagian kecil pihak, terutama beberapa travel swasta. Tapi kalau itu untuk kemaslahatan umat, kenapa tidak? Wallahu A'lam.

(Dimuat di Riau Pos, Senin, 22 September 2014)

By Griven H. Putera