Griven H. Putera[1]
Awal al-Kalam
“Sepertiga Malam Terakhir”
merupakan cerpen Sungging Raga, nama baru yang saya kenal dalam dunia sastra
Indonesia. Dimuat di Media Indonesia
21 September 2014. Cerpen ini bertema penggusuran. Walau sudah banyak cerpen
memuat tema ini, namun cerpen realis ini amat berbeda dari fiksi-fiksi
sebelumnya. Ia begitu sedap dibaca, begitu dalam dan besar laung pesannya.
Dengan alur lurus dan
bahasa sederhana tapi indah, cerpen ini mudah dicerna siapa saja. Kisah yang
menggugah ini seperti diniatkan sebagai media dakwah bi al-risalah (dakwah melalui tulisan) tapi tak terkesan menggurui
dan sok agamis.
Cerita ini dimulai
dengan pembukaan yang lembut tapi menggugat. Di sepertiga malam terakhir itu, Dirminto masih duduk di belakang
rumahnya. Ia sedang termenung memandangi langit. “Benarkah Tuhan turun di
saat-saat begini?”
Tokoh utamanya adalah
Dirminto, sang ayah yang telah hampir putus asa karena di dunia ini seolah tak
ada tempat bagi orang dhaif sepertinya. Dan Tuhan seperti telah pergi dari
dunia ini sehingga kekuasaan yang jahat tak pernah bisa dikalahkan. Yang eksis
di dunia kini seolah hanya ketidakadilan dan kejahatan. Yang berkuasa di bumi
hari ini seolah setan, iblis dan jin jahat yang beraga manusia.
Matan al-Kisah
Pada hari penggusuran,
Dirminto yang kehilangan harapan hijrah tanpa tujuan, meninggalkan rumahnya yang
telah ditempati selama sepuluh tahun. Di tengah jalan ia dicegat sesama warga,
dan mencercanya tanpa ampun sebagai pengecut. Dirminto tak peduli cemoohan
warga, ia bawa istrinya dan kedua anaknya, yaitu Nalea berumur tujuh tahun dan Manisha empat tahun. Ia yakin
bahwa segala proses penggusuran selalu akan berakhir dengan tragis dan
menyakitkan. Dan pihak tergusur tetap berada di pihak yang kalah. Jadi untuk
apa melawan? Lebih baik pergi dan selamatkan diri serta anak istri. Ia tak
ingin kedua anaknya yang masih kecil, yang semua dilihatnya kini akan menjadi
dirinya suatu hari kelak; jiwa yang putih, polos dan lugu rusak karena pristiwa
tragis-memilukan seperti perubuhan rumah yang diiringi tangis histeris warga,
ibu-ibu pingsan, anak-anak menangis di pelukan, dan berbagai peristiwa yang
mengganggu jiwa anak-anak tersebut.
Di tengah jalan tanpa
tujuan, saat istrinya sedang membeli nasi goreng, Dirminto bertemu seseorang,
dan sempat berdialog. Pada akhirnya seseorang asing tersebut menyuruh Dirminto
berdoa lagi pada Tuhan. Dirminto yang kehilangan harapan menjawab.
“Untuk
apa?” tanya Dirminto.
“Berdoalah.
Kalau anda merasa dianiaya, Anda bisa berdoa apa saja untuk mereka. Itu pun
kalau Anda mau.”
Dirminto
seperti ingin tertawa. Akhirnya ia benar-benar tertawa. Tidak ada gunanya.
Tuhan sudah lama tidak menolong kami atau membalas perbuatan mereka, seharusnya
keadaan tidak seperti sekarang ini.”
“Jangan
begitu. Jika Anda tak percaya lagi kepada Tuhan, lalu kepada siapa lagi Anda
mengharapkan pertolongan?”
Di sepertiga malam
terakhir, ketika Dirminto dan keluarganya sedang leka tidur di puncak bukit, di
atas reremputan yang hanya beralas tikar, kota yang ditinggalkannya terbakar. Dirminto
sekeluarga selamat dari amukan api. Dirminto terkejut, dan ia lebih terkejut lagi
karena Nalea, anaknya yang berumur sepuluh tahun sedang menangis dan mengangkat
kedua tangan mungilnya ke langit. Dan Dirminto pun sadar kalau lantunan doa
dari mulut mungil Nalea telah didengar Tuhan. Dan Tuhan ternyata tak pernah
diam melihat kejahatan dan ketidakadilan di dunia ini. Tuhan tak pernah buta
dan tuli. Tuhan tak pernah sembunyi. Cuma sebagian orang kurang sabar menunggu
datangnya uluran tangan-Nya.
Natijat al-Risalah
“Sepertiga Malam
Terakhir” merupakan kisah pendek yang amat baik, bermakna, indah, dan dalam. Kalaulah
karya seni itu harus memuat kedalaman (dignity),
bernilai (value), indah (beauty) dan berperisa maka cerpen ini
menurut saya memiliki semua hal tersebut. Dengan bahasa yang sederhana, pendek,
dalam, membawa pesan moral, indah dan memiliki perisa tersebut, maka hemat
saya, cerpen ini memang menjadi media dakwah bi al-risalah. Sebuah cerpen yang mangkus menjadi media hiburan
sekaligus pengajaran. Cerpen yang tak banyak dijumpai di media hari ini karena
kebanyakan cerpen kini hanya seperti beraneh-aneh saja tapi nihil perisa. Bagi
guru bahasa Indonesia di sekolah, mungkin mengapresiasi cerpen ini bagus bagi
murid-muridnya. Dan cerpen ini elok nian dijadikan model menulis cerpen ideal
bagi siswa, apalagi di tengah bangsa Indonesia yang kini semakin kehilangan
kesadaran moral. Selamat buat Sungging
Raga.
(Pernah dimuat di Riau Pos, Ahad, 26 Oktober 2014)
Griven H. Putera[1]