Tak
ada karya imajinasi yang lahir tanpa realitas. Semua karya khayal sesungguhnya
berangkat dan berpijak dari kenyataan, dari fakta-fakta yang diramu pengarang
sedemikian rupa sehingga menjadi menarik dan bermakna. Cuma kadar seberapa
persen data dan fakta yang disajikan dalam sebuah karya rekaan, karya sastra,
itu hanya sang pengarang yang tahu.
“Pabrik
Skripsi”, sebuah cerita pendek yang ditulis On Thok Samiang yang dimuat di
harian Kompas pada 14 September 2014
yang lalu, hemat saya menyiratkan pernyataan saya di awal tulisan ini. Bahwa cerita
ini lahir dari sebuah fakta di tengah masyarakat, bahwa begitu centang-perenangnya
dunia intelektual kita kini sehingga ini menggelitik sang pengarang untuk
mendedahkannya menjadi satire. Sehingga ia begitu sedap dan nikmat dibaca dan
dijadikan hiburan serta metode cemeeh yang elok dan manis untuk merenung bagi
rusaknya peradaban Indonesia hari ini. Bukankah dunia pendidikan merupakan
pondasi peradaban? Jika proses belajar dan pembelajaran retak, bukankah masa
depan pendidikan akan hancur, dan negeri ‘kan berkecai karena dipimpin manusia yang
menjadi bunga kembang tak jadi?
Cerpen
Pabrik Skripsi ini dimulai tentang Atan Waham yang selalu memiliki ide-ide gila
tapi idenya hilang bersama hembusan angin. Selama ini Atan Waham pembual kelas
kakap. Banyak lontaran pikiran-pikiran menarik tapi hanya sebatas bual. Akan
tetapi gagasan untuk mendirikan pabrik skripsi yang ia cakapkan pada Sang Aku ternyata
bukan utopia seperti ide-ide gilanya sebelum ini. Atan Waham benar-benar akan
merealisasikannya karena katanya ide ini akan menghasilkan banyak untung. Gagasan
ini akan meraup banyak laba disebabkan bertimbun nian guru berpangkat IV/a yang
mau naik pangkat ke IV/b yang memerlukan karya ilmiah sebagai syarat mutlak. Oleh
karena tidak semua guru idealis dan mampu membuat karya ilmiah maka diupahkan
menjadi solusi paling tepat, dan pabrik skripsi yang bernama Pilar Akademika
yang didirikan Atan Waham menjadi solusi paling mangkus. Dan menurut Atan
Waham, Sang Aku merupakan manajer produksi paling tepat karena berpengalaman
sebagai guru yang pengarang. Tapi sang aku menolak karena tak mau disebut
sebagai pelacur intelektual.
Ternyata
Atan Waham benar, ketika opening ceremony
Pilar Akademika dilaksanakan, walikota pun datang. Maka para guru yang
memerlukan karya ilmiah sebagai bahan mutlak naik pangkat pun bersesak-sesak memadati
gedung pabrik skripsi hingga sampai ke jalan.
Kerut-merut
dunia pendidikan di Indonesia merupakan tema sentral cerpen ini. Menelisik
kisah ini, penulis berkemungkinan besar merupakan guru atau pendidik formal
atau orang yang bergaul-gelimang dalam dunia pendidikan. Asumsi ini didasarkan
pada sangat pahamnya sang pengarang dengan tunggang-langgangnya kampus hari ini,
mulai dari budaya jiplak yang tidak hanya dilakukan mahasiswa tapi juga telah
merambah para dosen biasa hingga bergelar profesor; tak becusnya birokrasi dan lunturnya
nilai idealis para penghuni kampus, mulai para mahasiswa dan dosen; serta luluh-lantaknya
moral pendidik dan tenaga kependidikan mulai tingkat dasar hingga perguruan
tinggi.
Melihat
latar cerita, nama tokoh dan loghat
bahasa yang digunakan, hampir dipastikan kalau pengarang cerpen ini merupakan
orang Riau. Tapi siapakah dia sebenarnya? Nama asli pengarang tak penting. Bukankah
kalau karya lahir, pengarang pun boleh dipancung? Yang mustahak itu, message apa yang disampaikannya dalam
karya satire ini?
Cerpen
ini mengritik habis: pertama, guru
atau dosen yang tidak profesional, mulai dari moral yang tergerus hingga
wawasan intelektual yang pas-pasan. Ini terlihat masih banyaknya kasus jiplak
skripsi, tesis sampai disertasi di perguruan tinggi. Kedua, pemerintah belum
serius mengurus dunia pendidikan. Berbagai upaya yang dilakukan Dinas
Pendidikan untuk memperbaiki ranah pendidikan baru setakat tambal-sulam pada
sebuah kapal lapuk yang malok-air.
Hal itu bisa dilihat dari beberapa penggalan berikut:
Pertama, .....”Kita berharap dengan adanya Pilar
Akademika ini, birokrasi pembuatan karya ilmiah dapat dipangkas. Sehingga kita
tidak akan mendengar lagi keluhan mahasiswa yang susah bertemu profesornya
melebihi bertemu birokrat di perkantoran,”urai Pak Walikota yang sudah bergelar
Ir, Drs, MP, M.Sc, MH, MA, M.Ed, M.Pd. di depan dan belakang namanya.
Lengkapnya nama Walikota itu, Ir. Drs. Caba Tulen, MP, M.Sc., MH, M.Ag, M.Pd.
Kedua, ...”Ada kawan yang mengirimkan empat belas
buah buku sastra. Ada cerita anak, ada cerpen. Sebagian buku itu pemenang lomba
tingkat nasional yang dilaksanakan Pusat Perbukuan, Jakarta. Tetapi tak satu
pun yang diterima untuk syarat kenaikan pangkat ke IVB karena dia tidak membuat
Penelitian Tindakan Kelas atau PTK. Entah apa hebatnya PTK itu. Inikan
penjajahan intelektual namanya, Pak. Ndak dihargai guru yang punya kemampuan
menulis bidang lain. Padahal sebaris puisi yang bagus saja, sebuah cerpen yang
sarat nilai dan sastrawi, dapat disebut sebagai sebuah karya intelektual, yang
nantinya dapat ditularkan guru kepada para siswa.”
Ketiga.... ”Katanya mau professional, ya ndak bisa
tanggung-tanggung. Kalau tidak, ya ndak usah buat aturan yang membuka peluang
guru berbohong dan menipu. Apa bangsa ini dirancang untuk jadi penipu semua?”
Cerpen ini juga memperlihatkan fenomena budaya
pragmatis, materialis dan hedonis yang menjadi pakaian manusia Indonesia hari
ini. Yang benar itu adalah yang bermanfaat dan menghasilkan secara materi
walaupun hal itu bertentangan dengan nilai-nilai yang ada. Guru atau dosen yang
sejatinya pelopor moral malah sudah amburadul dan ikut-ikutan amnesia terhadap
lunturnya bangunan kode etik intelektual. Kalau pendidik saja begitu, kalau
kaum intelek saja sudah rabun kebenaran, lalu bagaimana dengan masyarakat awam?
Guru kencing berdiri, murid kencing
berlari, kata adagium lama nusantara mengingatkan.
Yang menarik dari
cerita ini adalah ia tampil sebagai satire, sederhana dan mudah dipahami
sehingga tidak membuat kening mengkerut, dan idenya menarik untuk didiskusikan,
apakah sudah separah ini dunia pendidikan Indonesia hari ini? Guru, baik yang purna-sarjana
sampai guru besar yang katanya pahlawan moral ternyata tak bisa lagi dijadikan rule model karena sebagian mereka telah
menjadi penjiplak, penipu dan pembengak?
Hanya saja, sebagai
karya sastra, cerpen ini kurang memiliki dignity
(kedalaman) dan sublim, sehingga cerpen ini terasa ringan dan kurang tajam. Iramanya
terasa datar. Apalagi endingnya terasa tergesa-gesa dan kehilangan daya sentak,
akibatnya cerpen ini sepantun daun muda yang gugur ke tanah. Walaupun begitu, tetap
disampaikan tahniah bagi On Thok Samiang karena mampu menghiasi halaman Minggu Kompas dan telah mengisi bilik pustaka
sastra Indonesia di tengah terjadinya krisis karya pengarang Riau di gelanggang
pertelagahan kebudayaan nusantara hari ini.
(Dimuat di Riau Pos, Ahad 12 Oktober 2014)
Oleh Griven H. Putera
Tidak ada komentar:
Posting Komentar