Senin, 20 Oktober 2014

Pabrik Skripsi; Potret Kusutnya Dunia Pendidikan Indonesia

Tak ada karya imajinasi yang lahir tanpa realitas. Semua karya khayal sesungguhnya berangkat dan berpijak dari kenyataan, dari fakta-fakta yang diramu pengarang sedemikian rupa sehingga menjadi menarik dan bermakna. Cuma kadar seberapa persen data dan fakta yang disajikan dalam sebuah karya rekaan, karya sastra, itu hanya sang pengarang yang tahu.
“Pabrik Skripsi”, sebuah cerita pendek yang ditulis On Thok Samiang yang dimuat di harian Kompas pada 14 September 2014 yang lalu, hemat saya menyiratkan pernyataan saya di awal tulisan ini. Bahwa cerita ini lahir dari sebuah fakta di tengah masyarakat, bahwa begitu centang-perenangnya dunia intelektual kita kini sehingga ini menggelitik sang pengarang untuk mendedahkannya menjadi satire. Sehingga ia begitu sedap dan nikmat dibaca dan dijadikan hiburan serta metode cemeeh yang elok dan manis untuk merenung bagi rusaknya peradaban Indonesia hari ini. Bukankah dunia pendidikan merupakan pondasi peradaban? Jika proses belajar dan pembelajaran retak, bukankah masa depan pendidikan akan hancur, dan negeri ‘kan berkecai karena dipimpin manusia yang menjadi bunga kembang tak jadi?  
Cerpen Pabrik Skripsi ini dimulai tentang Atan Waham yang selalu memiliki ide-ide gila tapi idenya hilang bersama hembusan angin. Selama ini Atan Waham pembual kelas kakap. Banyak lontaran pikiran-pikiran menarik tapi hanya sebatas bual. Akan tetapi gagasan untuk mendirikan pabrik skripsi yang ia cakapkan pada Sang Aku ternyata bukan utopia seperti ide-ide gilanya sebelum ini. Atan Waham benar-benar akan merealisasikannya karena katanya ide ini akan menghasilkan banyak untung. Gagasan ini akan meraup banyak laba disebabkan bertimbun nian guru berpangkat IV/a yang mau naik pangkat ke IV/b yang memerlukan karya ilmiah sebagai syarat mutlak. Oleh karena tidak semua guru idealis dan mampu membuat karya ilmiah maka diupahkan menjadi solusi paling tepat, dan pabrik skripsi yang bernama Pilar Akademika yang didirikan Atan Waham menjadi solusi paling mangkus. Dan menurut Atan Waham, Sang Aku merupakan manajer produksi paling tepat karena berpengalaman sebagai guru yang pengarang. Tapi sang aku menolak karena tak mau disebut sebagai pelacur intelektual.
Ternyata Atan Waham benar, ketika opening ceremony Pilar Akademika dilaksanakan, walikota pun datang. Maka para guru yang memerlukan karya ilmiah sebagai bahan mutlak naik pangkat pun bersesak-sesak memadati gedung pabrik skripsi hingga sampai ke jalan.
Kerut-merut dunia pendidikan di Indonesia merupakan tema sentral cerpen ini. Menelisik kisah ini, penulis berkemungkinan besar merupakan guru atau pendidik formal atau orang yang bergaul-gelimang dalam dunia pendidikan. Asumsi ini didasarkan pada sangat pahamnya sang pengarang dengan tunggang-langgangnya kampus hari ini, mulai dari budaya jiplak yang tidak hanya dilakukan mahasiswa tapi juga telah merambah para dosen biasa hingga bergelar profesor; tak becusnya birokrasi dan lunturnya nilai idealis para penghuni kampus, mulai para mahasiswa dan dosen; serta luluh-lantaknya moral pendidik dan tenaga kependidikan mulai tingkat dasar hingga perguruan tinggi.
Melihat latar cerita, nama tokoh dan loghat bahasa yang digunakan, hampir dipastikan kalau pengarang cerpen ini merupakan orang Riau. Tapi siapakah dia sebenarnya? Nama asli pengarang tak penting. Bukankah kalau karya lahir, pengarang pun boleh dipancung? Yang mustahak itu, message apa yang disampaikannya dalam karya satire ini?
Cerpen ini mengritik habis: pertama, guru atau dosen yang tidak profesional, mulai dari moral yang tergerus hingga wawasan intelektual yang pas-pasan. Ini terlihat masih banyaknya kasus jiplak skripsi, tesis sampai disertasi di perguruan tinggi. Kedua,  pemerintah belum serius mengurus dunia pendidikan. Berbagai upaya yang dilakukan Dinas Pendidikan untuk memperbaiki ranah pendidikan baru setakat tambal-sulam pada sebuah kapal lapuk yang malok-air. Hal itu bisa dilihat dari beberapa penggalan berikut:
Pertama, .....”Kita berharap dengan adanya Pilar Akademika ini, birokrasi pembuatan karya ilmiah dapat dipangkas. Sehingga kita tidak akan mendengar lagi keluhan mahasiswa yang susah bertemu profesornya melebihi bertemu birokrat di perkantoran,”urai Pak Walikota yang sudah bergelar Ir, Drs, MP, M.Sc, MH, MA, M.Ed, M.Pd. di depan dan belakang namanya. Lengkapnya nama Walikota itu, Ir. Drs. Caba Tulen, MP, M.Sc., MH, M.Ag, M.Pd.
Kedua, ...”Ada kawan yang mengirimkan empat belas buah buku sastra. Ada cerita anak, ada cerpen. Sebagian buku itu pemenang lomba tingkat nasional yang dilaksanakan Pusat Perbukuan, Jakarta. Tetapi tak satu pun yang diterima untuk syarat kenaikan pangkat ke IVB karena dia tidak membuat Penelitian Tindakan Kelas atau PTK. Entah apa hebatnya PTK itu. Inikan penjajahan intelektual namanya, Pak. Ndak dihargai guru yang punya kemampuan menulis bidang lain. Padahal sebaris puisi yang bagus saja, sebuah cerpen yang sarat nilai dan sastrawi, dapat disebut sebagai sebuah karya intelektual, yang nantinya dapat ditularkan guru kepada para siswa.”
Ketiga.... ”Katanya mau professional, ya ndak bisa tanggung-tanggung. Kalau tidak, ya ndak usah buat aturan yang membuka peluang guru berbohong dan menipu. Apa bangsa ini dirancang untuk jadi penipu semua?”
 Cerpen ini juga memperlihatkan fenomena budaya pragmatis, materialis dan hedonis yang menjadi pakaian manusia Indonesia hari ini. Yang benar itu adalah yang bermanfaat dan menghasilkan secara materi walaupun hal itu bertentangan dengan nilai-nilai yang ada. Guru atau dosen yang sejatinya pelopor moral malah sudah amburadul dan ikut-ikutan amnesia terhadap lunturnya bangunan kode etik intelektual. Kalau pendidik saja begitu, kalau kaum intelek saja sudah rabun kebenaran, lalu bagaimana dengan masyarakat awam? Guru kencing berdiri, murid kencing berlari, kata adagium lama nusantara mengingatkan.
Yang menarik dari cerita ini adalah ia tampil sebagai satire, sederhana dan mudah dipahami sehingga tidak membuat kening mengkerut, dan idenya menarik untuk didiskusikan, apakah sudah separah ini dunia pendidikan Indonesia hari ini? Guru, baik yang purna-sarjana sampai guru besar yang katanya pahlawan moral ternyata tak bisa lagi dijadikan rule model karena sebagian mereka telah menjadi penjiplak, penipu dan pembengak?
Hanya saja, sebagai karya sastra, cerpen ini kurang memiliki dignity (kedalaman) dan sublim, sehingga cerpen ini terasa ringan dan kurang tajam. Iramanya terasa datar. Apalagi endingnya terasa tergesa-gesa dan kehilangan daya sentak, akibatnya cerpen ini sepantun daun muda yang gugur ke tanah. Walaupun begitu, tetap disampaikan tahniah bagi On Thok Samiang karena mampu menghiasi halaman Minggu Kompas dan telah mengisi bilik pustaka sastra Indonesia di tengah terjadinya krisis karya pengarang Riau di gelanggang pertelagahan kebudayaan nusantara hari ini.

(Dimuat di Riau Pos, Ahad 12 Oktober 2014)

Oleh Griven H. Putera

 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar