Senin, 20 Oktober 2014

Ramadan dan Melayu

Ramadan merupakan bulan yang amat menggembirakan hati orang Melayu. Dalam sebelas bulan sebelumnya, orang-orang Melayu dahulunya mempersiapkan bekal dengan sungguh-sungguh demi menghadapi bulan Ramadan. Selama bulan Ramadan kebanyakan mereka khusus melakukan ibadah saja. Mereka tak lagi bekerja seperti pada bulan yang lain. Waktu dihabiskan hanya untuk beribadah karena di samping pada bulan ini pahala ibadah dilipatgandakan, mereka pun berharap agar selalu mendapat rahmat Allah SWT. serta memperoleh ampunan dari segala perbuatan, perkataan dan sikap yang salah selama ini. Mereka ingin bahagia ketika suatu saat nanti Allah SWT. menjemputnya melalui Izrail. Mereka ingin menjadi hamba yang kelak dipanggil Allah SWT. dengan himbauan, “Wahai diri yang tenang. Pulanglah ke haribaan Tuhanmu dalam keadaan ridla dan diridlai. Jadilah hamba-Ku. Dan masuklah ke dalam Surga-Ku.”

Beberapa hari sebelum bulan Syakban berakhir, mereka pun berziarah ke makam orangtua dan handai taulan. Ritual ini dimaksudkan supaya melunakkan hati. Selain itu juga untuk mengingat mati karena Rasulullah SAW. juga menyatakan bahwa salah-satu orang dipandang paling baik adalah yang selalu mengingat mati.

Pada petang terakhir bulan Syakban, mereka melaksanakan mandi tobat dalam sebutan Mandi Berlimau atau Petang Megang, lalu silaturrahim ke rumah keluarga dan sanak tetangga. Saling bermaaf-maafan. Mensucikan diri zahir dan batin karena akan memasuki bulan suci.

Mereka puasa bukan saja berpuasa dengan niat untuk menahan diri dari makan dan minum, berhubungan intim suami istri dan hal-hal yang membatalkan puasa mulai terbit fajar hingga terbenam matahari, orang Melayu juga melakukan puasa lebih jelimat lagi, yaitu berniat menahan diri dari berkata berlebihan, bergunjing dan laku sifat tercela lainnya. Mereka melakukan puasa sufistik. Sehingga berkembang dan familiar terdengar dalam sebagian masyarakat Melayu bahwa puasa itu punya adab batin.

Ketika memasuki pertengahan Ramadan, mereka pun berlomba-lomba memperingati turunnya Alquran melalui perlombaan membaca Alquran. Lomba mulai antar parit, dusun hingga antar kampung.

Pada malam 27 Ramadan sebagian mereka menyalakan lampu colok, menyalakan sajadah (obor yang terbuat dari tempurung kelapa). Maksud api itu adalah simbol pencerahan karena diperkirakan pada saat seperti itulah munculnya lailah al- qadar (malam kemuliaan atau malam pencerahan) seperti yang tertera dalam surat Al-Qadr, bahwa malam itu malaikat akan turun ke bumi membawa keselamatan dan kesejahteraan hingga semburat fajar timbul di langit timur.

Kaum ibu pada siang harinya, selain berpuasa, mereka pun menyempatkan diri membuat kue-mue untuk malam takbiran dan pada hari raya. Kue-mue tersebut bukan untuk pamer kekayaan dan hura-hura tapi bagaimana bergembira dan mengungkapkan rasa bahagia setelah sukses menghadapi cobaan hawa nafsu selama berpuasa dan beribadah di bulan Ramadan dalam naungan kasih silaturrahmi.

Usai idul fitri, mereka kembali merajut tali silaturrahim dengan sanak keluarga dan tetangga di perkuburan sempena menziarahi keluarga yang telah berpulang ke rahmatullah. Sayang kepada kelauarga dan handai taulan yang masih hidup, maka saling salam-salaman dan bermaafan. Teringat mereka yang telah meninggal dunia, ziarahi mereka sambil berdoa dan membaca sepaling al-fatihah dan surah yasin secukupnya. Wallahua’lam.

(Pernah dimuat di Koran Riau 2014)

Oleh Griven H. Putera)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar