Setiap puak
punya cerita, kisah-kisah legenda, dan mitos-mitos yang menjadi alat untuk
menghibur dan mendidik dalam menjalani kehidupannya. Dalam kisah-kisah dan
legenda tersebutlah semua nilai ditanamkan agar masyarakatnya harmonis.
Kisah dan
legenda tersebut selalu memakai simbol-simbol. Kancil misalnya menggambarkan
kecerdikan. Anjing lambang kerakusan. Kerbau simbol kebahlulan, dan lain
sebagainya.
Telunjuk dan
gergasi merupakan salah-satu cerita rakyat Riau. Ia kembali diceritakan Abel
Tasman yang diterbitkan CV ASA Riau tahun 2014.
Telunjuk
merupakan nama seorang anak manusia yang diambil dari kondisi fisik sang anak.
Besar tubuhnya hanya sebesar jari telunjuk. Akibat bentuk tubuh yang
mencolok dibandingkan orang kebanyakan tersebut ia pun selalu mendapat
perlakuan non adil dalam masyarakat.
Namun Tuhan
Maha Adil, kalau pada sisi tampak ada kurangnya, maka pada sisi lain tentulah
ada pula lebihnya sehingga tak satu pun manusia bisa menggugat perlakuan
adil-Nya. Walau berbadan kecil namun Telunjuk berotak cerdik dan panjang
akalnya. Kecerdasan Telunjuk jauh melebihi orang kebanyakan. Namun tentu saja
kelebihannya itu mengundang iri hati masyarakat di sekitarnya. Sehingga
walaupun berotak besar dan berakal panjang, ia masih juga dikucilkan
masyarakatnya.
Galibnya
sebuah cerita, sang pengkisah pada puncak cerita akan berpihak pada orang
tertindas karena pengarang sebenarnya merupakan wakil Tuhan yang tak henti-hentinya
menyuarakan kebenaran, keadilan dan kejujuran.
Kampung
tersebut akhirnya diserang Gergasi atau raksasa. Tak ada orang cerdik dan orang
bagak di kampung tersebut yang bisa mengusir sang giant tersebut. Semua
dilanda pusing sepuluh keliling karena kampung terancam dari teroris (gergasi).
Kepala
kampung mengundang semua orang yang berbebat bak barau untuk mencari solusi
atas ancaman sang raksasa. Namun hasilnya hanya menyisakan kekosongan. Tak ada
solusi karena raksasa tak dimakan senjata apa pun. Ketika anggota musyawarah
sudah putus asa, maka datanglah Telunjuk yang menawarkan diri untuk menjadi
jagal bagi sang teroris. Tentu saja, tak pelak semua hadirin kembali
menyungging senyum cemooh. Sebagai orang yang berdada lapang dan bermata
terang, sang kepala kampung mempersilahkan Telunjuk mengabulkan cita-citanya.
Pada
malamnya, semua orang yang selalu iri dengki pada Telunjuk mengintip kerja anak
tersebut. Ternyata Telunjuk hanya tidur lenyak. Tak ada persiapan khusus
menghadapi gergasi yang datang saat matahari mencarak tersebut. Lagi-lagi
mereka mencemooh Telunjuk.
Pas ketika
matahari mencarak di tengah langit, sang gergasi pun tiba dan hendak memporak
porandakan kampung. Telunjuk berlari membawa bodie kupadan, sejenis alat mainan
anak-anak yang terbuat dari bambu kecil yang dipotong ujung pangkalnya.
Pada ujung
bambu disumbatkan sesuatu benda sebagai peluru. Biasanya buah kayu kupadan atau
bisa juga pangkal putik jambu bol.
“Hei gergasi
busuk! Sini kau, biar kulumat kepalamu,” kata Telunjuk. Sang gergasi menunduk.
Saat itu Telunjuk memanfaatkan kesempatan untuk menembakkan bedilnya yang
berpeluru bukan lagi putik jambu atau buah kupadan tapi lada dan merica.
Gergasai pun menangkap Telunjuk dan membawanya dekat-dekat ke wajahnya, ingin
melihat siapa kurcaci yang bersemangat melawannya. Telunjuk tak menyia-nyiakan
kesempatan emas tersebut. Ia tembakkan bodie kupadannya ke arah mata raksasa.
Tentu saja sang raksasa meraung-raung dan melepaskan Telunjuk, lalu mengejarnya
secara membabi buta. Telunjuk lari ke tepi sungai, hendak menyeberang. Gergasi
mengejar. Sampai di tengah sungai, jembatan kecil yang sudah diretakkan
Telunjuk pun patah. Sang gergasi tenggelam. Telunjuk menang.
Telunjuk
sebenarnya simbol dari pemimpin yang selalu mencari jalan keluar dari setiap
persoalan yang ada di tengah rakyatnya. Pemimpin sejati terkadang tidak lahir
karena jabatan dan dalam jabatan, dan karena jabatan. Pemimpin hakiki ada di
mana saja. Cuma tak banyak orang tahu dan mau berterima kasih pada mereka. Dan
pemimpin sejati itu memang tak mengharapkan ucapan terima kasih kepada
masyarakatnya. Karena kebijakkan dan kebijaksanaannya merupakan anugerah Ilahi
yang semestinya memang ia persembahkan bagi alam semesta. Itulah sang
khalifatullah fi al ard. Di negeri ini, masih adakah telunjuk lagi?
Selain Telunjuk
dan Gergasi, buku setebal 111 halaman ini juga memuat cerita Tikus Membalas Budi,
Hadiah dari Raja, dan Raja yang Kejam.
Buku ini
sebenarnya bacaan untuk anak tapi sebagai bagian dari genre sastra, maka
cerita-cerita ini elok dibaca semua kalangan karena hari ini nilai
kepahlawanan, kejujuran dan kebenaran maki bias di tengah masyarakat. (griven h. putera)
(dimuat di Koran Riau, Jumat 17 Oktober 2014)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar