Senin, 20 Oktober 2014

Masih Ada Telunjuk?

Setiap puak punya cerita, kisah-kisah legenda, dan mitos-mitos yang menjadi alat untuk menghibur dan mendidik  dalam menjalani kehidupannya. Dalam kisah-kisah dan legenda tersebutlah semua nilai ditanamkan agar masyarakatnya harmonis.
Kisah dan legenda tersebut selalu memakai simbol-simbol. Kancil misalnya menggambarkan kecerdikan. Anjing lambang kerakusan. Kerbau simbol kebahlulan, dan lain sebagainya.
Telunjuk dan gergasi merupakan salah-satu cerita rakyat Riau. Ia kembali diceritakan Abel Tasman yang diterbitkan CV ASA Riau tahun 2014.
Telunjuk merupakan nama seorang anak manusia yang diambil dari kondisi fisik sang anak. Besar tubuhnya hanya sebesar jari telunjuk. Akibat  bentuk tubuh yang mencolok dibandingkan orang kebanyakan tersebut ia pun selalu mendapat perlakuan non adil dalam masyarakat.
Namun Tuhan Maha Adil, kalau pada sisi tampak ada kurangnya, maka pada sisi lain tentulah ada pula lebihnya sehingga tak satu pun manusia bisa menggugat perlakuan adil-Nya. Walau berbadan kecil namun Telunjuk berotak cerdik dan panjang akalnya. Kecerdasan Telunjuk jauh melebihi orang kebanyakan. Namun tentu saja kelebihannya itu mengundang iri hati masyarakat di sekitarnya. Sehingga walaupun berotak besar dan berakal panjang, ia masih juga dikucilkan masyarakatnya.
Galibnya sebuah cerita, sang pengkisah pada puncak cerita akan berpihak pada orang tertindas karena pengarang sebenarnya merupakan wakil Tuhan yang tak henti-hentinya menyuarakan kebenaran, keadilan dan kejujuran.
Kampung tersebut akhirnya diserang Gergasi atau raksasa. Tak ada orang cerdik dan orang bagak di kampung tersebut yang bisa mengusir sang giant tersebut. Semua dilanda pusing sepuluh keliling karena kampung terancam dari teroris (gergasi).
Kepala kampung mengundang semua orang yang berbebat bak barau untuk mencari solusi atas ancaman sang raksasa. Namun hasilnya hanya menyisakan kekosongan. Tak ada solusi karena raksasa tak dimakan senjata apa pun. Ketika anggota musyawarah sudah putus asa, maka datanglah Telunjuk yang menawarkan diri untuk menjadi jagal bagi sang teroris. Tentu saja, tak pelak semua hadirin kembali menyungging senyum cemooh. Sebagai orang yang berdada lapang dan bermata terang, sang kepala kampung mempersilahkan Telunjuk mengabulkan cita-citanya.
Pada malamnya, semua orang yang selalu iri dengki pada Telunjuk mengintip kerja anak tersebut. Ternyata Telunjuk hanya tidur lenyak. Tak ada persiapan khusus menghadapi gergasi yang datang saat matahari mencarak tersebut. Lagi-lagi mereka mencemooh Telunjuk.
Pas ketika matahari mencarak di tengah langit, sang gergasi pun tiba dan hendak memporak porandakan kampung. Telunjuk berlari membawa bodie kupadan, sejenis alat mainan anak-anak yang terbuat dari bambu kecil yang dipotong ujung pangkalnya.
Pada ujung bambu disumbatkan sesuatu benda sebagai peluru. Biasanya buah kayu kupadan atau bisa juga pangkal putik jambu  bol.  
“Hei gergasi busuk! Sini kau, biar kulumat kepalamu,” kata Telunjuk. Sang gergasi menunduk. Saat itu Telunjuk memanfaatkan kesempatan untuk menembakkan bedilnya yang berpeluru bukan lagi putik jambu atau buah kupadan tapi lada dan merica. Gergasai pun menangkap Telunjuk dan membawanya dekat-dekat ke wajahnya, ingin melihat siapa kurcaci yang bersemangat melawannya. Telunjuk tak menyia-nyiakan kesempatan emas tersebut. Ia tembakkan bodie kupadannya ke arah mata raksasa. Tentu saja sang raksasa meraung-raung dan melepaskan Telunjuk, lalu mengejarnya secara membabi buta. Telunjuk lari ke tepi sungai, hendak menyeberang. Gergasi mengejar. Sampai di tengah sungai, jembatan kecil yang sudah diretakkan Telunjuk pun patah. Sang gergasi tenggelam. Telunjuk menang.
Telunjuk sebenarnya simbol dari pemimpin yang selalu mencari jalan keluar dari setiap persoalan yang ada di tengah rakyatnya. Pemimpin sejati terkadang tidak lahir karena jabatan dan dalam jabatan, dan karena jabatan. Pemimpin hakiki ada di mana saja. Cuma tak banyak orang tahu dan mau berterima kasih pada mereka. Dan pemimpin sejati itu memang tak mengharapkan ucapan terima kasih kepada masyarakatnya. Karena kebijakkan dan kebijaksanaannya merupakan anugerah Ilahi yang semestinya memang ia persembahkan bagi alam semesta. Itulah sang khalifatullah fi al ard. Di negeri ini, masih adakah telunjuk lagi?
Selain Telunjuk dan Gergasi, buku setebal 111 halaman ini juga memuat cerita Tikus Membalas Budi, Hadiah dari Raja, dan Raja yang Kejam.
Buku ini sebenarnya bacaan untuk anak tapi sebagai bagian dari genre sastra, maka cerita-cerita ini elok dibaca semua kalangan karena hari ini nilai kepahlawanan, kejujuran dan kebenaran maki bias di tengah masyarakat. (griven h. putera)

(dimuat di Koran Riau, Jumat 17 Oktober 2014)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar