Selasa, 28 Oktober 2014

Sepertiga Malam Terakhir: Cerpen yang Indah, Dalam, dan Berperisa


Griven H. Putera[1]

Awal al-Kalam
“Sepertiga Malam Terakhir” merupakan cerpen Sungging Raga, nama baru yang saya kenal dalam dunia sastra Indonesia. Dimuat di Media Indonesia 21 September 2014. Cerpen ini bertema penggusuran. Walau sudah banyak cerpen memuat tema ini, namun cerpen realis ini amat berbeda dari fiksi-fiksi sebelumnya. Ia begitu sedap dibaca, begitu dalam dan besar laung pesannya.
Dengan alur lurus dan bahasa sederhana tapi indah, cerpen ini mudah dicerna siapa saja. Kisah yang menggugah ini seperti diniatkan sebagai media dakwah bi al-risalah (dakwah melalui tulisan) tapi tak terkesan menggurui dan sok agamis.
Cerita ini dimulai dengan pembukaan yang lembut tapi menggugat. Di sepertiga malam terakhir itu, Dirminto masih duduk di belakang rumahnya. Ia sedang termenung memandangi langit. “Benarkah Tuhan turun di saat-saat begini?”
Tokoh utamanya adalah Dirminto, sang ayah yang telah hampir putus asa karena di dunia ini seolah tak ada tempat bagi orang dhaif sepertinya. Dan Tuhan seperti telah pergi dari dunia ini sehingga kekuasaan yang jahat tak pernah bisa dikalahkan. Yang eksis di dunia kini seolah hanya ketidakadilan dan kejahatan. Yang berkuasa di bumi hari ini seolah setan, iblis dan jin jahat yang beraga manusia.

Matan al-Kisah
Pada hari penggusuran, Dirminto yang kehilangan harapan hijrah tanpa tujuan, meninggalkan rumahnya yang telah ditempati selama sepuluh tahun. Di tengah jalan ia dicegat sesama warga, dan mencercanya tanpa ampun sebagai pengecut. Dirminto tak peduli cemoohan warga, ia bawa istrinya dan kedua anaknya, yaitu Nalea berumur  tujuh tahun dan Manisha empat tahun. Ia yakin bahwa segala proses penggusuran selalu akan berakhir dengan tragis dan menyakitkan. Dan pihak tergusur tetap berada di pihak yang kalah. Jadi untuk apa melawan? Lebih baik pergi dan selamatkan diri serta anak istri. Ia tak ingin kedua anaknya yang masih kecil, yang semua dilihatnya kini akan menjadi dirinya suatu hari kelak; jiwa yang putih, polos dan lugu rusak karena pristiwa tragis-memilukan seperti perubuhan rumah yang diiringi tangis histeris warga, ibu-ibu pingsan, anak-anak menangis di pelukan, dan berbagai peristiwa yang mengganggu jiwa anak-anak tersebut.
Di tengah jalan tanpa tujuan, saat istrinya sedang membeli nasi goreng, Dirminto bertemu seseorang, dan sempat berdialog. Pada akhirnya seseorang asing tersebut menyuruh Dirminto berdoa lagi pada Tuhan. Dirminto yang kehilangan harapan menjawab.  
“Untuk apa?” tanya Dirminto.
“Berdoalah. Kalau anda merasa dianiaya, Anda bisa berdoa apa saja untuk mereka. Itu pun kalau Anda mau.”
Dirminto seperti ingin tertawa. Akhirnya ia benar-benar tertawa. Tidak ada gunanya. Tuhan sudah lama tidak menolong kami atau membalas perbuatan mereka, seharusnya keadaan tidak seperti sekarang ini.”
“Jangan begitu. Jika Anda tak percaya lagi kepada Tuhan, lalu kepada siapa lagi Anda mengharapkan pertolongan?” 
Di sepertiga malam terakhir, ketika Dirminto dan keluarganya sedang leka tidur di puncak bukit, di atas reremputan yang hanya beralas tikar, kota yang ditinggalkannya terbakar. Dirminto sekeluarga selamat dari amukan api. Dirminto terkejut, dan ia lebih terkejut lagi karena Nalea, anaknya yang berumur sepuluh tahun sedang menangis dan mengangkat kedua tangan mungilnya ke langit. Dan Dirminto pun sadar kalau lantunan doa dari mulut mungil Nalea telah didengar Tuhan. Dan Tuhan ternyata tak pernah diam melihat kejahatan dan ketidakadilan di dunia ini. Tuhan tak pernah buta dan tuli. Tuhan tak pernah sembunyi. Cuma sebagian orang kurang sabar menunggu datangnya uluran tangan-Nya.

Natijat al-Risalah
“Sepertiga Malam Terakhir” merupakan kisah pendek yang amat baik, bermakna, indah, dan dalam. Kalaulah karya seni itu harus memuat kedalaman (dignity), bernilai (value), indah (beauty) dan berperisa maka cerpen ini menurut saya memiliki semua hal tersebut. Dengan bahasa yang sederhana, pendek, dalam, membawa pesan moral, indah dan memiliki perisa tersebut, maka hemat saya, cerpen ini memang menjadi media dakwah bi al-risalah. Sebuah cerpen yang mangkus menjadi media hiburan sekaligus pengajaran. Cerpen yang tak banyak dijumpai di media hari ini karena kebanyakan cerpen kini hanya seperti beraneh-aneh saja tapi nihil perisa. Bagi guru bahasa Indonesia di sekolah, mungkin mengapresiasi cerpen ini bagus bagi murid-muridnya. Dan cerpen ini elok nian dijadikan model menulis cerpen ideal bagi siswa, apalagi di tengah bangsa Indonesia yang kini semakin kehilangan kesadaran moral.  Selamat buat Sungging Raga.



(Pernah dimuat di Riau Pos, Ahad, 26 Oktober 2014)

 Griven H. Putera[1]







[1] Griven H. Putera; Eseis, cerpenis dan novelis Riau

Tidak ada komentar:

Posting Komentar