Buku ini intinya mengulas tentang kerinduan
mereka kepada suasana dan tradisi berpuasa Ramadan; bertarawih, memperingati
nuzulul Quran, beridulfitri dan beberapa tradisi yang berlaku sebelum dan
sesudah Ramadan di kampung halaman mereka masing-masing. Walaupun intinya
merupakan deskripsi tentang pengalaman indah dan uniknya berpuasa di tanah
kelahiran, akan tetapi, sambil lalu mereka juga terkadang memercikkan ide-ide,
mengkritisi dan memuji suatu tradisi yang bersangkut-kait dengan memuliakan
Ramadan serta menghubungkannya dengan kehidupan beragama yang dipandang kaku
dan jumud. Siti Musdah Mulia misalnya menulis; …umumnya semua ibadah yang kami
lakukan itu hanya membangun ketaatan individual, tidak banyak memberi efek pada
pembentukan kesalehan sosial. Akibatnya, tujuan akhir agama, yakni memanusiakan
manusia tidak banyak terwujud. Mengapa ini ini terjadi? Menurut hemat saya,
karena umat Islam lebih banyak diajarkan tentang ibadah mahdhah (ritual
bersifat formal), berupa salat, puasa, zakat dan haji. Itu pun sekedar aspek
ritual yang mengedepankan unsur legal dan formalnya.
Kiai Aqil Siradj menulis pula; “Siapakah yang
baik perkataannya daripada orang-orang yang berseru kepada Allah dan yang
beramal saleh, lalu berujar, ‘saya ini termasuk muslim,” [QS 37: 33]. Ayat
tersebut menunjukkan formalitas Islam hanyalah syiar-syiar keagamaan yang kualifikasinya
berada di pengujung ayat. Sementara itu, yang diprioritaskan adalah berseru
kepada Allah dan beramal saleh. Seruan Allah tersebut sangat beralasan. Jika
formalitas Islam ditingkatkan pada prioritas pertama, hal ini tentu sangat
berbahaya. Dari sinilah orang-orang munafik (hipokrit) atau penghianat agama
biasanya muncul. Sikap hipokrit seringkali lahir dari sikap mendahulukan unsur
legal formal agama daripada kualifikasi amal saleh dan akhlak
mulia.
Jalaluddin Rakhmat dalam tulisan berjudul “Puasa
dalam Proses Penyempurnaan Diri” pun menyebutkan;… bagi saya, menjaga
silaturrahim itu jauh lebih penting daripada mempertahankan paham fiqh saya
yang sanga subjektif……..dalam konteks keislaman saya sekarang ini, Islam
Madani, maka mempersoalkan tradisi Ramadan menurut saya sudah tidak relevan
lagi. Apa pun tradisinya, bagi saya tidak menjadi masalah, yang penting dapat
menumbuhkan spirit-spirit kemanusiaan dan kedamaian sebagaimana diajarkan oleh
Rasulullah Saw. melalui Alquran dan Sunnahnya.
Sedang Sinta Nuriyah Wahid menulis;.. maksud dari
‘la’allakum tattaqun’ dalam Surat Al-baqarah183 sehubungan dengan
kewajiban puasa adalah menjaga moralitas dan etika serta hubungan dengan
Tuhan dan sesama manusia. Dalam bingkai moralitas ini, terkandung nilai-nilai
kesabaran , kejujuran, keterbukaan, keadilan, kesetaraan, kebersamaan,
kasih-sayang, toleransi dan nilai-nilai luhur lainnya.
Dari beramadan di kampung halaman, mereka
tampaknya membawa isu bersama, yaitu Islam damai. Islam yang mengutamakan amal
saleh dalam kehidupan ketimbang Islam pada tataran legalitas formal.
Membaca buku ini jelas sekali tampak, bahwa di
tangan bangsa Indonesia yang terdiri dari berbagai ragam budaya suku bangsa,
pelaksanaan ibadah Ramadan sungguh indah dan mempesona. Untuk ini, Moch. Nur
Ichwan, PhD benar dalam tanggapannya di kulit belakang buku ini, bahwa “Tradisi
seputar Ramadan dan mudik lebaran yang tak hilang digempur ortodoksi dan
modrernisasi, sebagaimana terefleksikan dalam buku ini, menunjukkan bahwa
ekspresi teologis dan kultural Islam di negeri ini adalah indah seperti
bunga-bunga di taman: harum dan warna-warni—bukan apak dan hitam putih. Semoga
juga menginspirasi dunia sosial dan politik kita.”
(Pernah dimuat di Koran Riau 2014)
Oleh Griven H. Putera
Tidak ada komentar:
Posting Komentar