Dalam dua hari ini
media disibukkan dengan berita tentang pernyataan Menteri Agama Lukman Hakim Saifuddin
yang menyatakan pemerintah akan membuat
aturan pelarangan melaksanakan ibadah haji bagi yang sudah melakukannya.
Ide ini sesungguhnya
sudah lama mengemuka dalam masyarakat muslim tanah air. Tapi selama ini hanya
baru setakat wacana semata dan hanya didengungkan sebagian kecil pengamat
perhajian. Namun ketika Menteri Agama yang menyatakannya, tentulah lontaran
gagasan ini menjadi menarik untuk diberitakan dan diulas berbagai kalangan.
Apalagi ide ini tidak setakat wacana tapi akan melahirkan aturan yang sifatnya
kuat dan mengikat. Ide ini sepertinya kelanjutan dari UU No 13 Tahun 2008
Tentang Pelaksanaan Ibadah Haji.
Ide yang dilontarkan
Menteri Agama tersebut ada benarnya jika melihat daftar antrean panjang jemaah
calon haji di Indonesia dewasa ini. Sehingga dengan keluarnya aturan ini
memungkinkan terdapatnya keadilan untuk sama-sama bisa berhaji bagi masyarakat
muslim di Indonesia. Namun menurut hemat dan kimat saya, yang diperlukan hari ini sesungguhnya bukanlah
pelarangan tapi bagaimana mengatur agar terciptanya keadilan bagi masyarakat
untuk sama-sama dapat menginjak tanah suci tersebut dalam rangka menunaikan
rukun Islam yang kelima. Kalau dilarang, hemat saya Allah Swt. dan Rasulullah
Saw saja tak pernah melarang orang melaksanakan ibadah haji lebih dari satu
kali. Yang disebutkan itu hanya persoalan kewajiban bagi yang mampu lahir dan
batin itu satu kali. Kalau ia mampu untuk berhaji lebih dari satu kali mengapa
tidak? Dan setahu saya tak ada larangan secara qat’i atau pasti untuk itu, dan belum pula ada fatwa dari majelis ulama
sedunia tentang hal tersebut. Kalaupun ada, itu pun baru setakat himbauan
seperti hasil raker MUI pada bulan Maret tahun 1984.
Jadi, langkah yang
paling mustahak dilakukan pemerintah adalah mengeluarkan aturan tentang batasan
waktu untuk bisa mendaftar haji lagi bagi yang sudah melaksanakannya. Mungkin
bagi yang sudah berhaji bisa mendaftar lagi apabila telah sampai sepuluh tahun
atau beberapa tahun sejak tahun ia berangkat. Aturan ini sejatinya berlaku
untuk siapa saja, termasuk yang namanya petugas, seperti TPIHI (Tim Pembimbing
Ibadah haji Indonesia), TPHI (Tim Pemandu Haji Indonesia), TKHI (Tim Kesehatan
Haji Indonesia) TPHD (Tim Pemandu Haji Daerah), TKHD (Tim Kesehatan Haji
daerah), PPIH (Petugas Penyelenggara Ibadah haji), KBIH (Kelompok Bimbingan
Ibadah Haji) dan lain sebagainya. Jangan ada alasan macam-macam untuk itu,
sebab melalui jalur yang katanya petugas ini juga memberi celah untuk bisa
melaksanakan ibadah kapan dan siapa mau. Dan tidak jarang ada orang-orang
tertentu bisa beribadah haji melalui jalur ini. Dan, ketika sampai di tanah
suci, kerjanya sama saja dengan jemaah haji biasa. Ia lupa kalau ia petugas. Terkadang
jabatan itu dipakai dan difungsikan hanya untuk bisa berhaji, bukan karena
kapabilitas dan kemampuan keilmuan serta pengalamannya berhaji (tapi jumlahnya
tidak banyak). Apalagi pada TPHD dan TKHD karena kewenangan menentukan siapa
mereka adalah Gubernur di Tingkat Provinsi dan Bupati atau Walikota di Tingkat
Kabupaten/Kota.
Kemudian bagaimana
menjaga kredibilitas petugas bidang haji di Kementerian Agama agar surat katabelece yang datangnya dari elite
eksekutif, legislatif dan eksekutif di negara ini tidak dijadikan patokan jika
memang katabelece itu ada.
Selain ide di atas, kabarnya
Menteri Agama juga akan meninjau ulang pelaksanaan haji khusus. Peninjauan
pelaksanaan haji khusus menurut hemat saya memang perlu ditinjau ulang karena adanya
dampak negatif dari pelaksanaan haji khusus tersebut. Di antaranya, pertama munculnya
strata jemaah haji. Biasanya sebagian yang berhaji melalui jalur plus ini akan
berlaku ekslusif dan kurang bisa bersilaturrahmi dengan jemaah reguler. Tentu
saja perlakuannya tersebut akan merugikan dirinya sendiri karena haji bukan
hanya dimensi ibadah lahiriyah semata tapi sesungguhnya juga ibadah batiniah
(hati). Kedua, juga mampu menciptakan keadilan. Contohnya saat ini, jika
didaftarklan melaui jalur reguler sang calon jemaah haji bisa menunggu sampai
10 tahun, namun jika melalui jalur khusus yang biayanya mencapai tiga kali
lipat biaya reguler, mungkin cukup makan waktu dua atau tiga tahun saja.
Eloknya yang dilakukan
pemerintah ke depan adalah melakukan pelayanan prima bagi jemaah calon haji (JCH)
secara keseluruhan. Jika layanan tersebut mampu dilakukan maka masyarakat
muslim Indonesia tidak akan tertarik untuk haji melalui jalur khusus ini. Sebab
yang terkesan dari jalur reguler selama ini adalah kurang maksimalnya pelayanan
bagi jemaah calon haji. Sementara di jalur plus lebih memuaskan, mulai dari
pemondokan yang mewah dan dekat dengan mesjid Haram Mekkah dan Madinah, tenda
di Mina dan Muzdalifah yang layak huni hingga konsumsi dan pelayanan lainnya
yang memuaskan. Untuk kasus haji khusus ini tentu saja tidak menjadi
tanggungjawab pemerintah Indonesia sendiri tapi juga dari pemberi kuota plus,
yaitu Pemerintah Arab Saudi yang saban tahun memberi jatah untuk itu bagi
Pemerintah RI.
Jika Pemerintah,
terutama Kementerian Agama mampu melakukan pelayanan prima ini, maka jalur haji
khusus boleh ditutup atau kuotanya boleh ditolak walaupun mungkin merugikan
sebagian kecil pihak, terutama beberapa travel swasta. Tapi kalau itu untuk
kemaslahatan umat, kenapa tidak? Wallahu A'lam.(Dimuat di Riau Pos, Senin, 22 September 2014)
By Griven H. Putera
Tidak ada komentar:
Posting Komentar