Di samping menyimpan
setempayan misteri, arus batang sungai pun mengendapkan banyak peristiwa
simbolik, baik yang bisa dicerap pikiran manusia modern maupun insan antah
berantah. Di sepanjang sungai mengalir ribuan kisah dan kenangan yang
didendangkan dari riak, gemericik dan kecipuk sekalian biota air yang bergelut,
bercanda mesra saban saat menikmati kasih sayang Ilahi, baik kala purnama
menyapa atau saat mentari tersenyum sipu. Rimbun pokok aneka flora yang tumbuh
berderet, yang bersusun paku, mulai tumbuhan liar hingga pokok jinak di
pinggirannya, menjadi saksi dan pelaku bisu dalam peristiwa kebudayaan manusia.
Semua aktivitas makhluk tersebut menjadi gendang, menjadi seruling, menjadi
bait-bait syair nan mengalun syahdu menjahit benang peradaban manusia dari masa
ke masa. Semua itu bersebati, menyatu dalam diri manusia yang memahami dirinya
sebagai pancaran Ilahiah di muka bumi.
Pada sebagian masyarakat yang
berdiam di pinggiran sungai Kampar dan Rokan misalnya, dari pokok kelapa
menyembullah tradisi “sajadah”. Yaitu tradisi menyambut datangnya “api Tuhan”
[cahaya Ilahi], dengan lebih dulu membuat api sendiri, membakar tempurung
kelapa yang disusun di halaman rumah pada malam 27 Ramadhan sebagai tanda
gembira bakal datangnya pencerahan. Konon, tradisi ini dibuat, karena pada
malam 27 Ramadhan diyakini bahwa cahaya di atas cahaya, nurun fauqa nurin pada
lailat al-qadr, bakal akan menebar ke seluruh persada bumi. Cahaya dari langit
tinggi itu akan menyebar dan menyerap kepada insan yang sudah menyiapkan diri
selama ibadah Ramadhan; insan yang telah membakar dan mengosongkan hatinya dari
segala bentuk keinginan rendahan seperti sifat zalim dan lain-lain, menuju
keinginan yang maha tinggi, berupa pengasih, penyayang, penyantun, pendidik,
dan lain-lain—[yang terangkum dalam Asma Tuhan yang 99]. Membakar seluruh sifat
hewani dan iblisi yang selama ini beristana dalam diri. Menghangus segala
salah, silap dan dosa dalam menjalani amanah Ilahi yang telah terbeban sebagai
peneraju bumi. Dari tempurung kelapa, yang daunnya selalu melambai,
mengajak manusia dan alam sekitar menari dalam zikir menimang cahaya Tuhan,
mengajak sang khalifah; yaitu manusia menemukan diri kembali, memakrifahi Diri
yang asal. Beri’tikaf, merenung; dari mana berasal, di mana kini dan akan akan
kemana suatu hari nanti. Dari harum bau pembakaran tempurung, dan cahaya
api yang menyemburat ke kaki langit, cahaya dari langit tinggi penuh maha wangi
diimpikan menghunjam dalam ke laut diri, menyebar ke seantero jagad, menyatu ke
dalam hati yang tiada lagi menyimpan ruh hewani dan syaitani. Terbang,
mengendap, larut dalam ruh abadi, menadah tempurung diri yang sudah disuci
melalui riyadhah Ramadhan demi sang cahaya yang akan menyinari diri penuh
seluruh.
Sesungguhnya, Allah Swt pun telah menempatkan dalam lubuk hati manusia
sebuah lentera; dan itu seringkali tertimbun akibat segala dosa yang pernah
dilakukan manusia. Alquran menggambarkannya sebagai misykat:; Allahu nur
as-samawati wa al-ardh, matsaluhu nurihi ka misykatin fiha misbah…” perumpamaan
cahaya Allah itu seperti misykat. “…kacanya itu seolah-olah bintang yang
cemerlang, yang dinyalakan apinya dari pohon-pohon zaitun yang diberkati, yang
tidak di timur dan barat. Hampir-hampir minyaknya saja bersinar padahal tidak
disentuh api. Cahaya di atas cahaya. Allah membimbing kepada cahaya-Nya siapa
yang dia kehendaki… [QS. Al-Nur:35]. Misykat dalam bahasa Arab adalah
sebuah tempat seperti mangkuk terbalik atau seperti tempurung terbalik. Ini pun
dimanifestasikan umat manusia pada rumah ibadah. Bisa dilihat dari kubah
mesjid, candi-candi, katedral-katedral dan gundukan tanah kuburan.
Jika umur pun pandak, maka kehidupan
penuh keindahan akan menanti. Syurga sebagai tempat maha nikmat akan membuka
pintu dan jendela selebar-lebarnya. Sebaliknya, pintu neraka akan terkunci
rapi. Bukankah hanya orang yang mau membakar keinginan hewani dan Iblislah yang
terbebas dari pembakaran api abadi; neraka? Hadits riwayat Salman Alfarisi. “Adalah
bulan Ramadhan itu, awalnya adalah rahmat, pertengahannya adalah ampunan,
terakhirnya adalah terbebas dari api
neraka.”Wallahu a’lam.
Selamat ‘id al- fitri. Semoga cahaya
di atas cahaya memeluk kita…
Oleh Griven H. Putera
Tidak ada komentar:
Posting Komentar