Senin, 20 Oktober 2014

Tempurung Fitri

Di samping menyimpan setempayan misteri, arus batang sungai pun mengendapkan banyak peristiwa simbolik, baik yang bisa dicerap pikiran manusia modern maupun insan antah berantah. Di sepanjang sungai mengalir ribuan kisah dan kenangan yang didendangkan dari riak, gemericik dan kecipuk sekalian biota air yang bergelut, bercanda mesra saban saat menikmati kasih sayang Ilahi, baik kala purnama menyapa atau saat mentari tersenyum sipu. Rimbun pokok aneka flora yang tumbuh berderet, yang bersusun paku, mulai tumbuhan liar hingga pokok jinak di pinggirannya, menjadi saksi dan pelaku bisu dalam peristiwa kebudayaan manusia. Semua aktivitas makhluk tersebut  menjadi gendang, menjadi seruling, menjadi bait-bait syair nan mengalun syahdu menjahit benang peradaban manusia dari masa ke masa. Semua itu bersebati, menyatu dalam diri manusia yang memahami dirinya sebagai pancaran Ilahiah di muka bumi.

Pada sebagian masyarakat yang berdiam di pinggiran sungai Kampar dan Rokan misalnya, dari pokok kelapa menyembullah tradisi “sajadah”. Yaitu tradisi menyambut datangnya “api Tuhan” [cahaya Ilahi], dengan lebih dulu membuat api sendiri, membakar tempurung kelapa yang disusun di halaman rumah pada malam 27 Ramadhan sebagai tanda gembira bakal datangnya pencerahan. Konon, tradisi ini dibuat, karena pada malam 27 Ramadhan diyakini bahwa cahaya di atas cahaya, nurun fauqa nurin pada lailat al-qadr, bakal akan menebar ke seluruh persada bumi. Cahaya dari langit tinggi itu akan menyebar dan menyerap kepada insan yang sudah menyiapkan diri selama ibadah Ramadhan; insan yang telah membakar dan mengosongkan hatinya dari segala bentuk keinginan rendahan seperti sifat zalim dan lain-lain, menuju keinginan yang maha tinggi, berupa pengasih, penyayang, penyantun, pendidik, dan lain-lain—[yang terangkum dalam Asma Tuhan yang 99]. Membakar seluruh sifat hewani dan iblisi yang selama ini beristana dalam diri. Menghangus segala salah, silap dan dosa dalam menjalani amanah Ilahi yang telah terbeban sebagai peneraju bumi.  Dari tempurung kelapa, yang daunnya selalu melambai, mengajak manusia dan alam sekitar menari dalam zikir menimang cahaya Tuhan, mengajak sang khalifah; yaitu manusia menemukan diri kembali, memakrifahi Diri yang asal. Beri’tikaf, merenung; dari mana berasal, di mana kini dan akan akan kemana suatu hari nanti. Dari harum bau pembakaran tempurung,  dan cahaya api yang menyemburat ke kaki langit, cahaya dari langit tinggi penuh maha wangi diimpikan menghunjam dalam ke laut diri, menyebar ke seantero jagad, menyatu ke dalam hati yang tiada lagi menyimpan ruh hewani dan syaitani. Terbang, mengendap, larut dalam ruh abadi, menadah tempurung diri yang sudah disuci melalui riyadhah Ramadhan demi sang cahaya yang akan menyinari diri penuh seluruh. 

Sesungguhnya, Allah Swt pun telah menempatkan dalam lubuk hati manusia sebuah lentera; dan itu seringkali tertimbun akibat segala dosa yang pernah dilakukan manusia. Alquran menggambarkannya sebagai misykat:; Allahu nur as-samawati wa al-ardh, matsaluhu nurihi ka misykatin fiha misbah…” perumpamaan cahaya Allah itu seperti misykat. “…kacanya itu seolah-olah bintang yang cemerlang, yang dinyalakan apinya dari pohon-pohon zaitun yang diberkati, yang tidak di timur dan barat. Hampir-hampir minyaknya saja bersinar padahal tidak disentuh api. Cahaya di atas cahaya. Allah membimbing kepada cahaya-Nya siapa yang dia kehendaki… [QS. Al-Nur:35]. Misykat dalam bahasa Arab adalah sebuah tempat seperti mangkuk terbalik atau seperti tempurung terbalik. Ini pun dimanifestasikan umat manusia pada rumah ibadah. Bisa dilihat dari kubah mesjid, candi-candi, katedral-katedral dan gundukan tanah kuburan.

Jika umur pun pandak, maka kehidupan penuh keindahan akan menanti. Syurga sebagai tempat maha nikmat akan membuka pintu dan jendela selebar-lebarnya. Sebaliknya, pintu neraka akan terkunci rapi. Bukankah hanya orang yang mau membakar keinginan hewani dan Iblislah yang terbebas dari pembakaran api abadi; neraka? Hadits riwayat Salman Alfarisi. “Adalah bulan Ramadhan itu, awalnya adalah rahmat, pertengahannya adalah ampunan, terakhirnya adalah terbebas dari api neraka.”Wallahu a’lam.
Selamat ‘id al- fitri. Semoga cahaya di atas cahaya memeluk kita…  

Oleh Griven H. Putera


Tidak ada komentar:

Posting Komentar