Pengajian tasawuf kini
sudah berkecambah; tumbuh subur di mana-mana. Tak hanya di dusun-dusun dan
kampung kecil nan sunyi, bahkan sampai ke kota besar, yang tempatnya bukan
hanya di surau-surau suluk sederhana tapi di hotel-hotel mewah.
Yang menjadi mursyidnya
bukan hanya alumni madrasah surau suluk di kampung sepi tapi sampai professor
di unversitas terkemuka. Buku tasawuf modern; Jalan Mengenal dan Mendekatkan
Diri kepada Allah Swt ditulis Wakil Menteri Agama RI, Prof Dr Nasaruddin Umar.
Bila dibandingkan
dengan buku-buku tasawuf yang sudah terbit, buku ini lebih memiliki
keistimewaan. Keistimewaan itu terutama pada persoalan aktual yang dibahas. Selain
itu, Prof Nasarudin Umar mampu menuliskan hal-hal yang pelik dan rahasia
sufistik selama ini dengan gamblang dan mudah dicerna. Dengan bersahaja dan
mudah dipahami topik seperti al ’Ayan ats –Tsabitah, Nur Muhammad, Huwa La
Huwa. Sehingga ketakutan orang kepada paham Ibnu Arabi, Al Hallaj dan sejumlah
tokoh sufi kontoversial lainnya dapat hilang dan sirna setelah membaca
penjelasan-penjelasan dalam buku ini.
Buku ini dimulai
Nasaruddin dengan membahas mestikah manusia bertasawuf? Apa itu tasawuf? Mengapa
tasawuf tidak populer di masa awal Islam? Mengapa kini tasawuf banyak digemari
kelas menengah? Apa yang perlu diperhatikan sufi pemula?
Pembahasan pun
berlanjut hingga bagaimana belajar makrifat? Mungkinkah murid berguru kepada
penghuni alam lain? Bagaimana berguru dengan penghuni alam lain? Bagaimana tingkatan
alam menurut sufi? Seperti alam mitsal, malakut dan jabarut. Dan mungkinkah
manusia bisa mengaksesnya? Selain itu, buku ini juga menjelaskan tentang apa
itu ahadiyyah dan wahidiyyah, lalu di mana titik temu antara ahadiyah, ein sof,
atma, dan tao?
Banyak sekali hal yang
menarik dikemukakan Nasaruddin Umar dalam buku ini, seperti ketika membahas
mengapa alam semesta mau tunduk kepada manusia. Selama ini jawaban banyak pakar
dan ulama, karena manusia memiliki akal. “Mereka mengatakan manusia dianugerahi
akal di samping diberi nafsu. Selain itu manusia ditunjuk oleh Allah sebagai
khalifah di alam semesta ini. Jawaban seperti ini ditolak para sufi dengan
alasan bahwa manusia bukan satu-satunya ciptaan yang diberi akal (al-hayawan an-natiq), tetapi banyak
sekali makhluk lain yang memiliki akal. Bahkan, mungkin mereka lebih cerdas
berpikirnya dibandingkan manusia. Seekor anjing dapat disekolahkan menjadi
anjing pelacak yang dapat mengidentifikasi objek dengan cerdas. Apalagi bangsa jin
dan makhluk spritual lainnya. Menurut para ahli, jika fenomena penampakan UFO
yang tahun-tahun terakhir banyak terlihat benar-benar ada, dipastikan makhluk
UFO itu lebih cerdas dalam banyak segi daripada manusia...” (hal. 91). Berikutnya
Nasaruddin menulis; “Menurut Ibnu Arabi, keistimewaan manusia yang kemudian
mengantarkannya menjadi khalifah, lalu alam semesta tunduk kepadanya, sama
sekali bukan karena akalnya. Ia mengatakan, kemampuan berpikir bukan ciri khas
manusia, melainkan menjadi fenomena alam semesta. Ia menegaskan, keliru besar
orang yang beranggapan keistimewaan utama
manusia karena ia sebagai makhluk berpikir. Keistimewaan yang dimiliki manusia,
ungkap ibnu Arabi adalah kesempurnaan manusia sebagai lokus penampakan
nama-nama (asma) dan sifat-sifat Tuhan...” (hal. 92).
Dari sudut pandang inilah,
kata Nasaruddin Umar, kalau Seyyed Hossein Nasr menyebut manusia sebagai
satu-satunya makhluk teomorfis atau makhluk eksistensialis, yang bisa turun
naik martabatnya di mata Tuhan. Dari sudut pandang ini juga, al-Jilli melihat
manusia sebagai makhluk paripurna atau insan kamil.
Nasaruddin umar juga
membahas tentang apa itu perkawinan makrokosmos dan perkawinan mikrokosmos. Lalu
apa itu rahim mikrokosmos dan makrokosmos?
Semua pertanyaan itru
dijawab Nasaruddin dengan bahasa sederhana dan tuntas dan penuh yakin. Selain membahas
hal-hal seperti itu, bahkan ia juga mengemukakan hal-hal yang selalu berkembang
dalam ilmu kebatinan selama ini, seperti apa rahasia titik di bawah Ba dalam basmalah
dan apa rahasia tanpa alif sesudah Ba dalam basmalah.
Yang terakhir, buku ini
diisi dengan bab yang membahas mengapa sufi akrab dengan seni?
Kalau yang dimaksud
dengan seniman ialah seseorang yang memiliki jiwa, rasa, bakat, dan atau watak
seni, Nabi Muhammad Saw. juga seniman. Hanya saja, prediket seniman untuk nabi
tentu saja seni yang sejati dan agung, sejalan dengan fitrah dan martabat luhur
kemanusiaan, dan menjunjung tinggi nilai-nilai keindahan dan kehalusan budi
pekerti. Dengan kata lain, seni yang mendekatkan diri manusia kepada Tuhannya....
(hal.205)
(Pernah dimuat Riau Pos tahun 2014)
Oleh Griven H. Putera
Tidak ada komentar:
Posting Komentar