Senin, 20 Oktober 2014

Tasawuf Modern Nasaruddin Umar

Pengajian tasawuf kini sudah berkecambah; tumbuh subur di mana-mana. Tak hanya di dusun-dusun dan kampung kecil nan sunyi, bahkan sampai ke kota besar, yang tempatnya bukan hanya di surau-surau suluk sederhana tapi di hotel-hotel mewah.

Yang menjadi mursyidnya bukan hanya alumni madrasah surau suluk di kampung sepi tapi sampai professor di unversitas terkemuka. Buku tasawuf modern; Jalan Mengenal dan Mendekatkan Diri kepada Allah Swt ditulis Wakil Menteri Agama RI, Prof Dr Nasaruddin Umar.

Bila dibandingkan dengan buku-buku tasawuf yang sudah terbit, buku ini lebih memiliki keistimewaan. Keistimewaan itu terutama pada persoalan aktual yang dibahas. Selain itu, Prof Nasarudin Umar mampu menuliskan hal-hal yang pelik dan rahasia sufistik selama ini dengan gamblang dan mudah dicerna. Dengan bersahaja dan mudah dipahami topik seperti al ’Ayan ats –Tsabitah, Nur Muhammad, Huwa La Huwa. Sehingga ketakutan orang kepada paham Ibnu Arabi, Al Hallaj dan sejumlah tokoh sufi kontoversial lainnya dapat hilang dan sirna setelah membaca penjelasan-penjelasan dalam buku ini.

Buku ini dimulai Nasaruddin dengan membahas mestikah manusia bertasawuf? Apa itu tasawuf? Mengapa tasawuf tidak populer di masa awal Islam? Mengapa kini tasawuf banyak digemari kelas menengah? Apa yang perlu diperhatikan sufi pemula?

Pembahasan pun berlanjut hingga bagaimana belajar makrifat? Mungkinkah murid berguru kepada penghuni alam lain? Bagaimana berguru dengan penghuni alam lain? Bagaimana tingkatan alam menurut sufi? Seperti alam mitsal, malakut dan jabarut. Dan mungkinkah manusia bisa mengaksesnya? Selain itu, buku ini juga menjelaskan tentang apa itu ahadiyyah dan wahidiyyah, lalu di mana titik temu antara ahadiyah, ein sof, atma, dan tao?

Banyak sekali hal yang menarik dikemukakan Nasaruddin Umar dalam buku ini, seperti ketika membahas mengapa alam semesta mau tunduk kepada manusia. Selama ini jawaban banyak pakar dan ulama, karena manusia memiliki akal. “Mereka mengatakan manusia dianugerahi akal di samping diberi nafsu. Selain itu manusia ditunjuk oleh Allah sebagai khalifah di alam semesta ini. Jawaban seperti ini ditolak para sufi dengan alasan bahwa manusia bukan satu-satunya ciptaan yang diberi akal (al-hayawan an-natiq), tetapi banyak sekali makhluk lain yang memiliki akal. Bahkan, mungkin mereka lebih cerdas berpikirnya dibandingkan manusia. Seekor anjing dapat disekolahkan menjadi anjing pelacak yang dapat mengidentifikasi objek dengan cerdas. Apalagi bangsa jin dan makhluk spritual lainnya. Menurut para ahli, jika fenomena penampakan UFO yang tahun-tahun terakhir banyak terlihat benar-benar ada, dipastikan makhluk UFO itu lebih cerdas dalam banyak segi daripada manusia...” (hal. 91). Berikutnya Nasaruddin menulis; “Menurut Ibnu Arabi, keistimewaan manusia yang kemudian mengantarkannya menjadi khalifah, lalu alam semesta tunduk kepadanya, sama sekali bukan karena akalnya. Ia mengatakan, kemampuan berpikir bukan ciri khas manusia, melainkan menjadi fenomena alam semesta. Ia menegaskan, keliru besar orang yang beranggapan  keistimewaan utama manusia karena ia sebagai makhluk berpikir. Keistimewaan yang dimiliki manusia, ungkap ibnu Arabi adalah kesempurnaan manusia sebagai lokus penampakan nama-nama (asma) dan sifat-sifat Tuhan...” (hal. 92).

Dari sudut pandang inilah, kata Nasaruddin Umar, kalau Seyyed Hossein Nasr menyebut manusia sebagai satu-satunya makhluk teomorfis atau makhluk eksistensialis, yang bisa turun naik martabatnya di mata Tuhan. Dari sudut pandang ini juga, al-Jilli melihat manusia sebagai makhluk paripurna atau insan kamil.

Nasaruddin umar juga membahas tentang apa itu perkawinan makrokosmos dan perkawinan mikrokosmos. Lalu apa itu rahim mikrokosmos dan makrokosmos?

Semua pertanyaan itru dijawab Nasaruddin dengan bahasa sederhana dan tuntas dan penuh yakin. Selain membahas hal-hal seperti itu, bahkan ia juga mengemukakan hal-hal yang selalu berkembang dalam ilmu kebatinan selama ini, seperti apa rahasia titik di bawah Ba dalam basmalah dan apa rahasia tanpa alif sesudah Ba dalam basmalah.

Yang terakhir, buku ini diisi dengan bab yang membahas mengapa sufi akrab dengan seni?
Kalau yang dimaksud dengan seniman ialah seseorang yang memiliki jiwa, rasa, bakat, dan atau watak seni, Nabi Muhammad Saw. juga seniman. Hanya saja, prediket seniman untuk nabi tentu saja seni yang sejati dan agung, sejalan dengan fitrah dan martabat luhur kemanusiaan, dan menjunjung tinggi nilai-nilai keindahan dan kehalusan budi pekerti. Dengan kata lain, seni yang mendekatkan diri manusia kepada Tuhannya.... (hal.205)   

(Pernah dimuat Riau Pos tahun 2014)


Oleh Griven H. Putera

Tidak ada komentar:

Posting Komentar