Minggu, 17 April 2011

Malin Bonsu karya griven h. putera

50

Walau sesudu hatinya terasa perih bukan alang kepalang, mata berkunang-kunang. Semua persendian lemas. Dada terasa ditusuk-tusuk duri dan sembilu. Tenaga pun mulai habis, Raja Bantan kuatkan semangat. Ia tak mau mati berbaring. Setidaknya, inilah kali terakhir ia memperlihatkan keperkasaannya di depan lelaki bagak itu, dan di depan para menteri serta hulubalangnya.
Ia melangkah ke hadapan Raja Bantan. Lelaki itu berjalan bagai sampan dikayuh dayung patah. Dilangkah kaki kanan, meliuk kaki kanan. Dilangkah kaki kiri, meliuk pula kaki kiri. Lelaki itu melangkah bagai kekanak pertamakali belajar berjalan. Tertatih-tatih.
Semakin lama semakin berat. Semakin gelap. Kini semuanya betul-betul telah berat dan gelap. Lelaki itu rubuh.
Saat rebah bebolai ke tanah, darah yang tadi tertahan karena ditampar Raja Bantan tampak menyembur dari ulu hatinya.
Malin Bonsu menghambur. Ia berjongkok, melihat keadaan lelaki yang jatuh tergumbuk bagai tapai campak ke tanah itu.
Perut dan dada Raja Bantan dipenuhi cairan warna putih.
Malin Bonsu terperanjat. “Sofiulah tobatlah alim. Putih darahnya. Anak orang bertuah rupanya.”
Malin tertunduk lemas. Terpejam. Rasa kesal tiba-tiba menguak di dada. Tak ia sangka lelaki yang ia bunuh ini berdarah putih. Tak ia kira kalau penguasa tanah Bantan ini seorang bertuah. Tapi apa hendak dicakap lagi, tikam ‘lah terlalukan.
Kini tempat itu benar-benar sunyi. Angin yang tadi mendesing-desing sudah berhenti. Kayu-kayan yang berlepuk-lepak tak terdengar lagi. Rumah godang sudah berdiri kokoh seperti semula.
Setelah sekian lama tertunduk tak berdaya dengan berbagai pikiran kesal dan bersalah yang bersesak-sesak,  Malin Bonsu kembali berdiri. Matanya mengarah kepada para hulubalang dan menteri yang berbaris.
“Mana dubalang Raja Bantan serta monti yang delapan. Kalau tuan-tuan mau menuntut bela raja kalian ini, tibalah kemari.”
Menteri yang paling disegani memandang ke arah teman-temannya. Usai menatap satu persatu para menteri yang tertunduk tak berbunyi, ia arahkan pula pandang kepada dubalang yang bertujuh. Hulubalang yang sejak tadi geram bukan main kelihatan tertunduk bagai ayam tercebur. Badannya menggigil.
“Tuan dubalang hendak mencabut keris? Cabutlah.”
Hulubalang yang tadi bagai cacing kepanasan itu berlutut dan menyembah-nyembah. “Tid, tidak, monti…”
“Kalian?”
Hulubalang yang ditanya hanya menggeleng dan tak mampu mengangkat wajah.   
“Para monti dan dubalang. Bagaimana sikap kita?”
Satu pun dari menteri dan hulubalang tak ada yang lenggak. Mereka diam bagai patung yang sudah ditimpa hujan dan panas selama berabad-abad.
“Mana kamu Malin Bonsu. Kami tak akan menuntut bela raja kami. Sebab dia mati karena kesalahannya sendiri. Dan itu sudah untungnya.” Akhirnya menteri tertua membuat keputusan.
Mendengar keputusan itu, Malin Bonsu melangkah kehadapan menteri dan hulubalang yang tunduk mati.
“Benar kalian tak akan menuntut bela raja kalian yang baru saya bunuh?”
Sebagian mereka ada yang mengangguk, sebagian pula ada yang menggeleng. Maksud mereka sama. Tak akan membalas kematian Raja Bantan.
Malin Bonsu kembali ke tempat semula.
“Baiklah. Kalau kalian memang tidak menuntut bela raja kalian ini, marilah kita bawa segera ke balai panjang. Kita unjurkan ia di sana.” (bersambung)


















         
 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar