Minggu, 17 April 2011

Malin Bonsu karya griven h. putera

50

Walau sesudu hatinya terasa perih bukan alang kepalang, mata berkunang-kunang. Semua persendian lemas. Dada terasa ditusuk-tusuk duri dan sembilu. Tenaga pun mulai habis, Raja Bantan kuatkan semangat. Ia tak mau mati berbaring. Setidaknya, inilah kali terakhir ia memperlihatkan keperkasaannya di depan lelaki bagak itu, dan di depan para menteri serta hulubalangnya.
Ia melangkah ke hadapan Raja Bantan. Lelaki itu berjalan bagai sampan dikayuh dayung patah. Dilangkah kaki kanan, meliuk kaki kanan. Dilangkah kaki kiri, meliuk pula kaki kiri. Lelaki itu melangkah bagai kekanak pertamakali belajar berjalan. Tertatih-tatih.
Semakin lama semakin berat. Semakin gelap. Kini semuanya betul-betul telah berat dan gelap. Lelaki itu rubuh.
Saat rebah bebolai ke tanah, darah yang tadi tertahan karena ditampar Raja Bantan tampak menyembur dari ulu hatinya.
Malin Bonsu menghambur. Ia berjongkok, melihat keadaan lelaki yang jatuh tergumbuk bagai tapai campak ke tanah itu.
Perut dan dada Raja Bantan dipenuhi cairan warna putih.
Malin Bonsu terperanjat. “Sofiulah tobatlah alim. Putih darahnya. Anak orang bertuah rupanya.”
Malin tertunduk lemas. Terpejam. Rasa kesal tiba-tiba menguak di dada. Tak ia sangka lelaki yang ia bunuh ini berdarah putih. Tak ia kira kalau penguasa tanah Bantan ini seorang bertuah. Tapi apa hendak dicakap lagi, tikam ‘lah terlalukan.
Kini tempat itu benar-benar sunyi. Angin yang tadi mendesing-desing sudah berhenti. Kayu-kayan yang berlepuk-lepak tak terdengar lagi. Rumah godang sudah berdiri kokoh seperti semula.
Setelah sekian lama tertunduk tak berdaya dengan berbagai pikiran kesal dan bersalah yang bersesak-sesak,  Malin Bonsu kembali berdiri. Matanya mengarah kepada para hulubalang dan menteri yang berbaris.
“Mana dubalang Raja Bantan serta monti yang delapan. Kalau tuan-tuan mau menuntut bela raja kalian ini, tibalah kemari.”
Menteri yang paling disegani memandang ke arah teman-temannya. Usai menatap satu persatu para menteri yang tertunduk tak berbunyi, ia arahkan pula pandang kepada dubalang yang bertujuh. Hulubalang yang sejak tadi geram bukan main kelihatan tertunduk bagai ayam tercebur. Badannya menggigil.
“Tuan dubalang hendak mencabut keris? Cabutlah.”
Hulubalang yang tadi bagai cacing kepanasan itu berlutut dan menyembah-nyembah. “Tid, tidak, monti…”
“Kalian?”
Hulubalang yang ditanya hanya menggeleng dan tak mampu mengangkat wajah.   
“Para monti dan dubalang. Bagaimana sikap kita?”
Satu pun dari menteri dan hulubalang tak ada yang lenggak. Mereka diam bagai patung yang sudah ditimpa hujan dan panas selama berabad-abad.
“Mana kamu Malin Bonsu. Kami tak akan menuntut bela raja kami. Sebab dia mati karena kesalahannya sendiri. Dan itu sudah untungnya.” Akhirnya menteri tertua membuat keputusan.
Mendengar keputusan itu, Malin Bonsu melangkah kehadapan menteri dan hulubalang yang tunduk mati.
“Benar kalian tak akan menuntut bela raja kalian yang baru saya bunuh?”
Sebagian mereka ada yang mengangguk, sebagian pula ada yang menggeleng. Maksud mereka sama. Tak akan membalas kematian Raja Bantan.
Malin Bonsu kembali ke tempat semula.
“Baiklah. Kalau kalian memang tidak menuntut bela raja kalian ini, marilah kita bawa segera ke balai panjang. Kita unjurkan ia di sana.” (bersambung)


















         
 

Malin Bonsu karya griven h. putera

49

Keris pendek pusaka Kerajaan Bantan patah tujuh.
Melihat nasib dua kerisnya telah patah dan tak mampu membela, Raja Bantan termenung. Lelaki itu tertegun. Badan serasa lumpuh.
Sementara hulubalang yang tadi geram dan telah beberapa kali hendak menghambur dan menghajar Malin Bonsu mulai merinding dan ingin sesegera mungkin melarikan diri. Bulu romanya tegak karena takut yang sangat. Badannya terasa panas dingin bagai orang tersengat demam panas. Pun, beberapa orang hulubalang yang tadi geram dan telah memegang gagang keris tampak menggigil karena ngeri. Sedangkan menteri yang paling tua yang sudah beberapa kali menegah hulubalang yang geram, tetap seperti tadi. Dua tangannya masih bersimpai mendekap dada dengan mata tajam tertuju ke tengah laman.
Malin Bonsu membuka langkah. Tangannya bergerak-gerak gemulai, berbunga-bunga.
Setelah sekian lama bergerak bagai orang menari, lelaki itu menghambur ke ujung laman. Sejenak ia hentikan langkah. Berdiri tegap memandang tajam Raja Bantan.
“Raja Bantan. Sekiranya keris tuan itu dibeli, sungguh butalah mata tuan. Tuan rupanya terbeli keris yang retak. Kalau sekiranya keris tuan itu harta pinjaman, gololah tuan karena hutang. Dan kalau sekira keris itu harta pusaka, rugilah tuan, karena tuan sendiri yang telah menghabiskannya.”
Raja Bantan tak berbunyi. Ia masih tertegun bagai patung batu.
Malin Bonsu teringat amanat dan petuah Datuk Raja Siamang Bonsu.
Setelah tenang, ia pun membuka langkah lagi. Selejang melangkah, bersilat seolah orang menari, ia pun berhenti. Ia tegak tegap lurus memancang langit.
“Mana Tuan Raja Bantan, kini sambut pula gayung hamba.” Malin Bonsu mencabut keris panjang yang terselip di kain samping.
“Raja Bantan. Perlu kau ingat, gayung hamba ini gayung bernama. Tiga buah namanya. Pertama si carik kafan, kedua si untung sudah, ketiga si ajal maut. Indak sekali kau ajal, kau maut juga. Tak kali kau maut, kau ‘kan ajal juga.”
“Inilah gayung Datuk Raja Siamang Bonsu. “
Malin Bonsu menghambur ke hadapan Raja Bantan. Digedobik sebelah kanan, mata terkijap sebelah kanan. Digedobik sebelah kiri, mata terkijap sebelah kiri.
“Terimalah. Hap!”
Keris panjang Malin Bonsu tepat menghunjam tepat sesudu hati Raja Bantan. Keris pusaka itu menduri pandan ke sebalik.
Muka Raja Bantan terkucam. Perih. Keris itu menembus ulu hatinya. Pandangan seketika menjadi hitam. Dadanya sesak. Dunia gelap. Beribu duri serasa mencucuk-cucuk. Tapi ia coba tenangkan pikiran dan tahan rasa pedih itu kuat-kuat.
Setelah sedikit tenang, mulutnya komat-kamit membaca mantra. Mantra putus, tampar singgah di tempat luka.
Sebagai orang terbilang juga, paut luka terkena tikam Malin Bonsu bertaup kembali.
Sementara Malin Bonsu, setelah mencabut keris dari sesudu hati Raja Bantan, ia menghambur lagi ke ujung laman.
“Mana kamu Raja Bantan. Hamba rasa tikam tadi tikam mengena. Mengontak di pangkal lengan, menggelonye di pangkal jari.”
“Mana kau Malin Bonsu. Tuah telah kau himbau, tikam kau tikam mengena. Kalau sekira mengena tikam kau, mana daging hamba yang berkuak, mana tulang hamba yang mencung, mana darah hamba yang meleing.”
Malin Bonsu tersenyum. Jelas sekali, kata-kata yang keluar dari mulut lelaki itu suara orang yang sedang menahan perih akibat luka yang dalam.
“Baiklah Raja Bantan. Tikam hamba tidak mengena. Walaupun begitu, coba berjalan kemari. Jalang hamba kemari.” (bersambung)



 





Malin Bonsu karya griven h. putera

48

Hasrat hati Putri Gondan Gonto Sari bergolak hebat ingin menyaksikan dari dekat apa yang terjadi di laman luas. Tapi karena patuh pada perintah Malin Bonsu, lelaki yang telah membuat ia mabuk kepayang itu, ia undurkan niat. Ia coba memeram rasa risau dan ingintahu itu di anjung tinggi.
Tiang rumah godang terdengar berderit-derit dihantam angin. Atapnya berderau-derau. Rumah godang melenggang-lenggok serasa diayun.
Sekali dua, terdengar pekik, sergah dan bentakan Raja Bantan bagai petir pecah di langit. Pun, walau terus mengelak, sudah sekali dua pula suara Malin Bonsu mengimbangi sergah Raja Bantan. Hari kian menjadi pekat, walau tak ada kilat dan petir di langit, akan tetapi, di laman luas rumah godang, kilat dan petir terlihat memancar dan berdentum-dentum.   
Hulubalang bertujuh dan menteri Bantan yang delapan makin merapat ke gelanggang. Mata mereka tak berkedip menyaksikan perkelahian hebat pada pagi yang seperti tengah malam itu. Sudah beberapa kali, salah-seorang hulubalang ingin menghambur ke tengah gelanggang. Setiap kali ia hendak melompat, setiap kali pula menteri yang paling tua dan berpengaruh yang kelihatan mendekap dua tangan di dada memperingatkannya. Oleh karena sudah sekian kali menteri paling tua dan disegani itu mengingatkannya, ia undur lagi. Tapi hatinya mengkal dan geram bukan main.
Sebenarnya, bukan ia saja yang merasa geram seperti itu, para menteri dan hulubalang lain juga begitu, bahkan sudah beberapa orang yang telah menggenggam ulu keris tapi mereka sabar menunggu perintah dari raja. Sayang sekali, sampai saat itu, jangankan terdengar perintah, menoleh sepaling pun Raja Bantan tak ada kepada mereka.
Setelah sekian lama bertarung, kini bukan badan Raja Bantan saja yang mandi keringat, seluruh tubuh Malin Bonsu pun sudah hujan peluh. Pertarungan tampak mulai seimbang. Malin Bonsu tak main-main lagi. Serangan Raja Bantan makin lama makin berisi. Salah langkah sedikit saja, maka keris pusaka di tangan lelaki itu akan bersarang di tubuh. Dan kalau itu terjadi, tak dapat dibayangkan apa yang bakal berlaku.
Raja Bantan semakin lincah. Sudah dua-tiga kali, kerisnya hampir mencecah badan Malin Bonsu. Untung saja nasib baik masih berpihak kepada lelaki berpanau itu. Sekukupun menjejak goresan.
Semakin lama gerakan Raja Bantan semakin cepat dan gesit.
Sepandai-pandai tumpai melompat, suatu saat jatuh juga. Karena tersalah langkah, keris Raja Bantan tepat menghunjam dada Malin Bonsu.
Trangggg!
Mata Raja Bantan dan semua hulubalang serta para menteri terbeliak. Keris panjang pusaka kerajaan Bantan patah tiga.
Roman muka hulubalang yang tadi merasa sok bagak langsung terkucam setelah melihat keris pusaka kerajaan Bantan tak berdaya.   
Raja Bantan kesal sekali. Keris yang sudah dipakai nenek moyangnya bertempur selama bertahun-tahun, dan tidak terhitung lagi sudah berapa kali perang dimenangkan. Keris itu terus minum darah orang bagak dan pendekar dari berbilang negeri. Tapi kini, salah-satu keris pusaka itu patah tiga.  Sungguh ia tak percaya pada yang terjadi.
Sehebat inikah lelaki itu? Ia hempaskan gagang keris yang masih tergenggam di tangannya.
“Keris soau, keris celaka. Keris tak mau minum darah. Keris tak mau makan daging.”
Setelah gagang keris panjang menyentuh bumi, Raja Bantan pun mencabut keris pendek dari sarung yang terselip di pinggang. “Hmm. Tampunglah keris yang satu ini.” Raja Bantan melompat. “Haaap!!!”
Tikaman Raja Bantan sekali ini tak dielakkan Malin Bonsu. Anak orang bertuah godang, anak orang dubalang godang dari Ranah Kunto Panalian, Kota Lembacang Pandak itu dengan gagah perkasa menampungkan dada bidangnya yang berpanau. (bersambung)
  




 











Malin Bonsu karya griven h. putera

47

Namun sebaliknya, pantang bagi Raja Bantan mengaku kalah begitu saja. Biarlah mati berkalang tanah daripada hidup bercermin bangkai. Andaikata pun nanti ia bisa mengulang jejak, bisa menikmati nafas kehidupan lagi. Buat apa hidup kalau menanggung malu karena terhina? Untuk apa lagi hidup melihat orang tercinta memalingkan hati ke lain orang? Tak ada lagi perisa air yang diminum, nasi yang dimakan; semua akan terasa hambar bahkan terasa pahit. Nasi yang dikinyam bakal serasa sekam, air yang diminum serasa duri. Bahkan ia sekarang menunggu lelaki hebat di depannya itu mencabut keris dan menyarungkan di ulu hatinya. Sungguh mulia rasanya bila menghembuskan nafas terakhir di tangan pemuda hebat itu. Semakin lama Raja Bantan semakin sadar, bahwa yang salah itu bukanlah Malin Bonsu, tapi istrinya yang telah berpaling. Dan ia yakin, kalau lelaki asing ini hendak menjatuhkannya, hendak membunuhnya, tentu sudah sejak tadi hal itu bisa ia lakukan. Tapi ia hanya mengelak saja.
Raja Bantan mulai sadar kalau sesungguhnya ia telah dikalahkan oleh dirinya sendiri. Bukan lelaki itu. Nafsu marah, cemburu, iri dan sakit hati yang menguasai dirinya telah membuat ia bagai boneka permainan lawan.
Ia berhenti sejenak. Sambil memejamkan mata, ia hirup nafas kuat-kuat lalu dilepaskan pelan-pelan, coba menenangkan pikiran sebisa mungkin.
Kini Raja Bantan membuka langkah silat dengan tenang. Ia tak gegabah seperti tadi. Semua gerakan yang ia keluarkan penuh perhitungan.
Melihat perubahan gerakan lawan, Malin Bonsu terlihat gembira. Hmm, inilah yang hamba tunggu sejak tadi.
Malin Bonsu mulai bergerak tak sembarangan seperti tadi. Kini ia bersilat begitu lembut. Setiap gerakan dalam mengelak, mengelicik, ia meliuk-liuk gemulai. Semakin lama gerakan lelaki itu semakin lembut lemah gemulai tapi amat liat.
Hari semakin gelap. Angin berdesing-desing. Raja Bantan tetap menghujankan tikaman, sepakan dan terajangan ke tubuh Malin Bonsu. Tapi semuanya hanya kosong.
Dari kejauhan, kilau keris Raja Bantan seperti kilat di langit yang menyambar ke sana kemari. Dan tidak sekali dua seperti bertembung dengan cahaya dada Malin Bonsu yang sudah mulai mencawang. Melihat sinar yang keluar dari dada lawan tandingnya, hati Raja Bantan kian senang. Sungguh lawan yang hebat. Ia lupakan sakit, iri dan dendam di hati.
Rumput hijau yang tumbuh hampir di serata laman luas, sebagian sudah kusal, sudah lisek bahkan ada yang mulai menguning akibat pijakan dan hentakan kaki dua pendekar muda itu.
Mata hulubalang dan menteri Negeri Bantan tak berkedip. Tangan beberapa orang hulubalang mulai gatal. Geram.
Di anjung tinggi. Hati Putri Gondan Gonto Sari mulai kecut. Ia yakin sesuatu yang tak baik bakal berlaku. Satu dari pemuda gagah itu bakal pergi, bakal mati. Tak mungkin ada dua matahari di bumi. Tak mungkin ada dua raja di sebuah negeri. Tak mungkin. Andai kata yang pergi itu adalah pemuda asing yang telah menggeletarkan seluruh jiwa raganya itu, maka ia pun akan bernasib sama. Tentulah Raja Bantan, suaminya akan membunuhnya, paling kurang membuangnya, mencampakkannya bagai kain basahan yang dipakai sehabis mandi. Sungguh tak ada lagi guna hidup. Tapi andaikata lelaki berpanau itu yang menang, tentulah ia akan mereguk kebahagiaan di negeri ini. Menanam bunga melati, bunga matahari, bunga raya, bunga cina, bunga cimpu, bunga kiambang dan bermacam-macam bunga di hatinya. Ia ingin seluruh jiwanya punuh dengan bunga-bunga. Tapi mungkinkah?
Sambil menutup tingkap anjung karena sudah sejak tadi berletung-lentang menghantam dinding akibat terpaan angina yang seperti halaman buku yang dibalik-balik, Putri Gondan Gonto Sari  coba mengintip pertempuran di bawah sana. Hati perempuan itu semakin tak lemak melihat lelaki asing itu hanya mengelak dan seolah terdesak. Pikiran perempuan itu mulai kusut, sekusut rambutnya yang mulai terbiar. (bersambung)

 







Malin Bonsu karya griven h. putera

45

Raja Bantan mengamuk bagai kerbau gila.
Hari yang tadi sudah mulai terang lalat kembali gelap. Awan hitam tiba-tiba berarak hendak menyelimuti rumah godang. Angin pun mulai menderu-deru. Ternyata segala akuan atau sahabat gaib dari dua anak muda bertuah ini juga sedang bertempur dahsyat  tapi tak tampak oleh mata orang kebanyakan. Angin yang menampar kayu-kayan yang melenggok-lenggok hingga terdengar lepuk-lepak dan bertumbangan di belakang rumah godang adalah akibat pukulan gaib dari para akuan dua anak muda yang hebat ini. Pun, gelombang yang bergulung-gulung di laut, tepatnya di depan jamban panjang juga merupakan akibat dari pertempuran para puaka laut, sahabat laut dari mereka masing-masing.
Melihat hari bagai akan kiamat, hamba rakyat Tanah Bantan yang tadi sudah banyak berhimpun-pepat menyaksikan pertempuran dahsyat antara Raja mereka dengan lelaki asing itu segera melarikan diri ke rumah masing-masing.
Pertempuran semakin seru. Tikam kiri, Malin Bonsu ke kanan. Tikam ke kanan, Malin Bonsu mengelak ke kiri. Tikam bawah, Malin Bonsu meloncat ke atas, tikam di atas disurukkannya. Merasa tikamannya terbuang percuma, Raja Bantan tak patah arang. Penat mengarahkan tikam ke perut, ia tukar pegangan, seolah menggayung, ia coba arahkan ujung pisau ke dada Malin Bonsu. Tak berhasil menggayung, ia coba pula memepat pinggang Malin Bonsu dengan pisau tetap tergenggam. Letih memepat, ia coba pula menumbuk. Sayang, semua itu tetap tak menghasilkan apa-apa.  Ia terus menikam, menerajang, dan menyembat kaki  pendekar dari Ranah Kunto Panalian, Kota Lembacang Pandak itu dengan membabi-buta. Makin lama tikaman, terajangan, sembatannya makin tak teratur. Lelaki itu semakin panik. Keringat sudah menyimbah membasahi bajunya. Keningnya makin berkilat-kilat. Sudah berjam-jam lamanya ia hanya menikam angin.
Tujuh orang hulubalang bagak Tanah Bantan geram, mereka ingin segera maju menerajang, tapi cepat ditegah oleh para menteri. “Tuan dubalang. Raja kita belum perlu bantuan.”
“Tapi tuan menteri?”
“Apa kalian tak tahu sifat raja kita?”
“Dia sangat marah kalau kita melakukan sesuatu yang tak diperintahkannya.”
“Tapi nyawa raja kita terancam bahaya, Tuan Monti.”
“Siapa cakap begitu? Kalau orang asing itu mau membunuhnya, sudah sejak tadi bisa ia lakukan. Sebagai dubalang hebat, tak terlihatkah oleh kalian?”
Para hulubalang mengangguk-angguk balam.    
Hati Raja Bantan bertambah sakit. Malin Bonsu seolah mempermainkannya. Tak satu kali pun lelaki yang telah mencuri hati istrinya itu menyerangnya. Saban kali ia menikamkan keris ke tubuh lelaki asing itu, saban kali pula lelaki itu tersenyum sambil sesekali pula menangkap pergelangan tangannya. Setelah ia terkial-kial hendak melepaskan, dengan senyum pula lelaki asing ini melepaskannya. Lalu lelaki asing itu membuka langkah sambil menggerak-gerakkan tangan dan menghentakkan kaki berputar-putar seolah gerak tarian perawan sehabis mandi. Merasa dipermainkan seperti itu, semakin menggelegaklah darah di dada Raja Bantan.
Melihat marah Raja Bantan kian membara, senyum di bibir Malin Bonsu kian merekah. Umpan sudah mengena. Pancingan Malin Bonsu yang terus berusaha membangkitkan kemarahan Raja Bantan berhasil sudah. Semakin bertambah hebat marah yang menjalar di sekujur tubuh Raja Bantan, semakin lemahlah ia.
Sebetulnya, kalau Malin Bonsu mau, sudah sejak tadi Raja Bantan ia gulingkan. Tapi ia tak tega menjatuhkan muka lelaki itu di depan hulubalang, menteri dan hamba rakyat Negeri Bantan dalam sekejap. Ia ingin lelaki itu masih merasa kuat. Ia biarkan lelaki itu sadar sendiri dan mengakui kekalahannya sebelum darah tertumpah. Sehingga setiap kali lelaki itu menikam tubuhnya, menerajang, menyembat kakinya, ia hanya mengelak dan menghindar saja sambil sesekali memperolok-olokkannya. (bersambung)



















m

44

Mendengar suara Raja Bantan menggeletar seolah hendak merubuhkan rumah godang, Malin Bonsu yang tengah makan sirih tanpa perisa, dan sejak tadi terus menundukkan kepala menekuri lantai tiba-tiba mendongak ke atas, lalu pandangannya mengarah kepada Putri Gondan Gonto Sari. Hmm. Benar. Sungguh terang sekali kini, bakal ‘kan kusut rantau panjang, akan gaduh negeri godang.
Malin Bonsu berdiri. Ia ingat segala petuah yang diajarkan ayahnya dan yang diturunkan Datuk Raja Siamang Bonsu. Bersamaan itu, Putri Gondan Gonto Sari pun membuka sila hendak berdiri pula. Melihat Putri Gondan Gonto Sari ingin tegak, Malin Bonsu segera memberi isyarat supaya perempuan itu duduk kembali.
“Mana orang muda hamba berhimbau.” Suara penguasa muda Tanah Bantan kembali menggelegar bagai suara petir di tengah hari. “Turunlah kau segera ke tanah ini. Kau telah mengambil istri hamba. Nak hamba pepat leher kau yang genting. Nak hamba uncah sarang kutu kau!”
Dengan suara tenang tapi tak kalah gagah dari suara yang melaung di pangkal tangga rumah godang itu, Malin Bonsu pun menjawab. “Mana kamu Raja Bantan. Hamba ini bukanlah orang muda. Nama hamba Malin Bonsu. Kalau memang tuan menyuruh hamba turun ke tanah, baiklah. Hamba akan segera turun.”
Malin Bonsu membungkuk, memungut beberapa benda pusaka yang tadi ia letakkan di sampingnya. Keris pendek dan keris panjang ia sisipkan di kain selempang yang melilit pinggang. Jalak jantan tak lupa pula ia sengkelangkan di belakang. Lelaki itu tegak tegap. 
“Putri Gondan Gonto Sari. Tuan tetap sajalah di anjung tinggi ini.  Biar hamba saja yang turun.”
Tanpa menanti jawaban Putri Gondan Gonto Sari, Malin Bonsu berjalan dari anjung tinggi dengan tenang bagai langkah seorang pendekar menuju gelanggang maut. Ia sampai ke bilik dalam. Selejang di bilik dalam lalu beranjak ke seri rumah godang. Tak berapa langkah di seri rumah, ia pun sudah tercacak di muka pintu. Komodan papan yang melintang kira-kira setinggi paha yang terletak antara dua kusen pintu ia langkahkan dengan pelan. Sebelum turun ke tanah, ia edarkan pandang ke bawah.
Dengan mata merah, Raja Bantan ternyata menunggu di pangkal tangga dengan keris bercabut. Keris yang telah keluar dari sarungnya itu seperti hendak mencucuk langit, hendak menghunjam ulu jantung Malin Bonsu.
Malin Bonsu menatap mata merah yang sedang memeram marah, cemburu, kesal dan sakit hati itu. Malin Bonsu mencoba mengukur bayang-bayang. Lelaki berkulit kuning langsat dengan hidung tercacak. Berpakaian kuning dengan tanjak di kepala.  Hmm, lawan yang setanding. Tak lama kemudian hati Malin Bonsu menyungging senyum, lelaki itu telah dibakar nafsu amarah yang tiada terbada-bada. Emosi yang tak terkendali membuat ia lemah. Sungguh lelaki itu amat  mudah ditaklukkan.  
“Mana kamu Raja Bantan. Kalau bisa, beranjaklah engkau agak sedikit. Minta tanahlah hamba sedikit. Hamba hendak turun ke laman luas, hendak mengabulkan hajat yang kamu pinta.”
“Mana kau Malin Bonsu. Butakah mata kau? Tanah yang seluas-luas ini. Bukan hamba yang menepik bumi Olah[1] ini ha.”
Mendengar jawab yang semakin tak sedap seperti itu, terbitlah geram di hati Malin Bonsu  Ia  menghambur ke tengah laman. Baru saja kaki menginjak tanah, sambil mengeluarkan suara melengking, tikam Raja Bantan pun tiba. Sayang, bukan Malin Bonsu namanya, bukan murid Datuk Raja Siamang Bonsu kiranya kalau ia tak bisa menghindari tikaman orang. Apalagi tikaman manusia yang sudah diperbudak nafsu seperti ini. Malin Bonsu melayani tikaman, terajangan dan hentakan Raja Bantan dengan tenang seolah gadis perawan sedang menari. (bersambung)










[1] Allah

Malin Bonsu karya griven h. putera

43

Putri Gondan Gonto Sari, Kembang Cina dan Malin Bonsu terus melaju ke rumah godang. Putri Gondan Gonto Sari tak menjawab kata-kata Raja Bantan. Usah ‘kan berkata sepatah dua, memandang pun ia seolah tak sudi.
Saat sampai di jenjang lima rumah godang, langkah Malin Bonsu tertahan-tahan tanjak.
Merasa Malin Bonsu berhenti, Putri Gondan Gonto Sari menoleh ke belakang. “Bang Malin. Mari segera naik.”
Bagai kerbau dicucuk hidung, Malin Bonsu kembali mengikuti langkah Putri Gondan Gonto Sari dan Kembang Cina. Sesampainya di seri rumah godang, Kembang Cina memilih jalan ke belakang, menuju dapur. Sementara Putri Gondan Gonto Sari terus menaiki tangga anjung tinggi.
Merasa kurang sedap, Malin Bonsu menghentikan langkah lagi.
“Bang Malin…”
“Hamba sampai di sini saja Putri.”
“Naik saja, Bang.”
“Tidak Putri. Sungguh tak sedap dipandang dan dirasa hati.”
Seolah tahu apa yang dipikirkan Malin Bonsu, Putri Gondan Gonto Sari pun berkata. “Bang Malin. Naiklah. Biar hamba yang akan menemui Raja Bantan.”
Malin Bonsu masih tercacak.
“Mari naik, Bang.” Putri Gondan Gonto Sari menarik lengan Malin Bonsu. Saat tangan halus putih melepak itu menggenggam pergelangan tangannya, hati Malin Bonsu berdebar tak tentu arah. Segala perasaan datang bercampur aduk. Malin Bonsu merasa canggung.
Malin Bonsu menatap mata indah di depannya. Saat mata mereka beradu, Putri Gondan Gonto Sari menunduk. Dalam geletar jiwa yang tak sudah, hati perempuan itu sangat merasa bahagia. Sungguh kebahagiaan yang belum pernah ia rasakan seumur hidup. Ia ingin memeluk kebahagiaan itu selamanya.
Dengan berpalah-palah, Malin Bonsu melepaskan pegangan tangan Putri Gondan Gonto Sari.
“Sungguh sumbang, Putri.”
“Bang Malin!” mata jernih seolah mata kucing itu menikam mata elang Malin Bonsu.
“Bang Malin. mari naik.”
Akhirnya Malin Bonsu tak mampu menolak ajakan Putri Gondan Gonto Sari. Setelah sekian kali melangkah, mereka pun tiba di anjung tinggi. Di saat Malin Bonsu masih tertegun, Putri Gondan Gonto Sari pun membuka semua tingkap anjungan.
Setelah semua tingkap terbuka, Putri Gondan Gonto Sari mengeluarkan cuano, tepak tembaga berukir itu ia sorongkan kepada Malin Bonsu sambil mempersembahkan seulas senyum.
“Mari kunyah sirih, Bang.”
Tanpa menjawab, Malin Bonsu meraih sehelai daun sirih lalu ia ambil pula pinang dan gambir. Daun sirih, pinang dan gambir lekas ia gubal, secepat menggubal perasaan yang tak sedap di hati. Ia pun duduk mengunyah sirih.
Marah di dada Raja Bantan sudah benar-benar pecah. Marah yang tiada terbada-bada. Sejuk yang malam tadi menyelimuti kini telah berubah menjadi panas bara. Tanpa memperdulikan Bujang Selamat, hulubalang bertujuh serta menteri yang delapan, ia pun menghambur ke laman luas.
“Mana orang muda hamba berhimbau.” Suara penguasa muda itu menggelegar. “Turunlah kau ke tanah ini. Kau telah mengambil istri hamba. Nak hamba pepat leher kau yang genting. Nak hamba uncah sarang kutu kau itu!” (bersambung)














(bersambung)




















Malin Bonsu karya griven h. putera


42

Malin Bonsu menarik napas panjang. Firasat hatinya berkata, sebentar lagi bakal kusut rantau yang panjang, akan gaduh negeri godang. Tapi, sebagai seorang ksatria muda yang kuat memegang prinsip kebenaran, dalam hal ini ia merasa tak bersalah. Ia tidak melakukan sembarang apa pun dengan Putri Gondan Gonto Sari. Lagi pula, bukankah Kembang Cina ada bersama mereka? Untuk itu, kenapa pula ia harus takut dan khawatir? Kalau memang penguasa negeri ini akan mempermasalahkannya, apa boleh buat, tangan mencincang, bahu memikul. Ia berhutang budi pada Putri Gondan Gonto Sari yang telah menyelamatkan nyawanya.
Pulau Bantan jauh ke tengah/ di balik Pulau Angsa Dua/ hancur badan dikandung tanah/ budi baik dikenang juga.
Pisang emas bawa berlayar/ Pisang lidi di dalam peti/ Hutang emas dapat dibayar/ hutang budi dibawa mati.
Malin Bonsu melangkah dengan hati berat. Sementara Putri Gondan Gonto Sari mendahului langkah Malin Bonsu dengan hati berbunga. Walaupun dalam hati kecilnya, Putri Gondan telah menduga bakal kusut rantau yang panjang dan akan gaduh negeri Bantan nantinya. Ia tak peduli itu. Rasa senang bukan alang kepalang kepada Malin Bonsu telah melenyapkan semua itu. Dan ia yakin kalau lelaki asing yang ditemuinya ini bakal bisa menghadapi suaminya. Dari kilau panau yang tajam menusuk pucuk awan, ia mafhum sekali bahwa tuah lelaki asing ini melampaui tuah suaminya. Mengingat panau itu, hatinya makin berbunga. Tak henti-henti ia menyembunyikan senyum indah di balik dada ranumnya.
Sementara itu, hati Malin Bonsu tetap tak tenang. Darah gedobaknya selalu berdentung-dentung. Ini bukan darah takut. Bukan darah cemas dan khawatir. Darah beraninya tak pernah padam walau sedetik pun seumur hidupnya. Tapi darah yang berdetik-detik di hatinya ini menandakan bakal terjadi sesuatu yang tak ia inginkan. Tapi perempuan ini? Hutang budi ini?
Setelah mengenang ia berhutang budi pada perempuan ini maka semuanya menjadi lenyap. Ia langkahkan kaki dengan kuat.  Mata hamba rakyat Tanah Bantan tak lagi ia perdulikan. Persangkaan Raja Bantan tak lagi ia hiraukan. Kalau nanti Raja Bantan memberi kesempatan kepadanya menjelaskan duduk perkara yang terjadi antara dia dan Putri Gondan Gonto Sari, maka semua-sekali akan ia jelaskan sejelas-jelasnya. Tapi andai penguasa negeri ini memaksanya beradu jumawa hingga maut menjemput, apa boleh buat. Hidup memang tak mencari lawan, tapi bila musuh menantang, surut ia berpantang.
Dari balai panjang negeri itu, Raja Bantan sudah mulai hilir mudik bagaikan cigak pendek tali. Sebentar ia ke pintu, sekejap ke tingkap. Tak senang duduk ia pun berdiri. Para menteri dan hulubalang serta Bujang Selamat tak melakukan apa-apa. Mereka tak mau melakukan pekerjaan apapun sebelum mendapat petunjuk dari raja mereka itu. Kalau mereka mendahului perkerjaan yang tak disuruhnya maka penguasa muda itu tak segan-segan akan menghukum mereka.
Ketika sampai di pintu balai, mata Raja Bantan terbeliak. Badannya menggigil. Gigil ini bukan lagi gigil kedinginan tapi gigil penuh kemarahan. Hatinya menjadi panas membara. Sesuatu yang dikhawatirkannya sejak malam tadi terbukti sudah. Ia melihat istrinya, Putri Gondan Gonto Sari dan Kembang Cina berjalan bersama seorang lelaki. Ingin saat itu langsung menghalangi mereka, mengajak lelaki tak beradat dan bermalu itu adu nyawa. Tapi pikiran sehatnya berkata lain, seorang raja besar tak mungkin mendahulukan emosi daripada akal sehat. Akan tetapi, walaupun sudah dipikir masak-masak, ternyata Raja Bantan tetap tak bisa menahan marah yang sudah pecah di dada. “Sofiulah, dik tobatlah alim. Senjak semula hamba katakan. Kamu tak boleh mandi di jamban panjang. Kini takkan ada cedak lagi, jelas ‘kan gaduh negeri godang, kusut rantau nan panjang.” (bersambung)











Malin Bonsu karya griven h. putera

41

Bayangan pagi sudah menjelang. Kokok ayam jantan telah pun mulai sahut menyahut.
Walaupun asap kemeyan tak sekepul tadi tapi baunya masih hangit menyenak hidung.
Malin Bonsu mengalihkan pandang ke tempurung tempat kemeyan dibakar Putri Gondan Gonto Sari.
“Kalau hamba boleh bertanya pula. Siapakah nama tuan berdua ini?”
Mendengar pertanyaan Malin Bonsu, Putri Gondan Gonto Sari pun tergelak. Tak lama kemudian ia menunduk sambil mengulum senyum.
“Hamba bernama Gondan Gonto Sari. Istri dari raja negeri Bantan ini. Kami baru tiga hari menikah. Sedangkan perempuan yang di samping hamba ini adalah Kembang Cina, pelayan kami.”
Malin Bonsu terangguk-angguk mendengar penuturan perempuan itu. Pantaslah perempuan ini begini. Kata hatinya.
“Karena Bang Malin sudah tahu, marilah kita segera naik ke darat, ke rumah kami.”
Malin Bonsu terdiam. Lelaki itu berpikir. Apakah ucapan ini hanya basa-basi atau sungguhan? Tiba-tiba saja suatu perasaan tak sedap menyelimuti hatinya.
“Tuan Putri Gondan yang baik. Biarlah hamba di sini. Kalau nanti hamba ikut ke rumah godang, hamba khawatir, suami tuan salah sangka pula. Terima kasih atas segala budi baik tuan.”
Putri Gondan Gonto Sari kelihatan amat kesal mendengar penuturan Malin Bonsu tersebut. Ia sangat kecewa.  Tiba-tiba ia berkata seolah memaksa.
“Kalau Bang Malin tak mau ikut kami ke darat, saya pun tak akan kembali ke rumah godang. Kemana pun Bang Malin pergi akan hamba turuti.”
“Apa?” mata Malin Bonsu terbeliak. Kenapa pula perempuan ini begini? Tanya hatinya.
“Apa yang tuan Putri ucapkan itu?”
“Kalau abang tak mau ikut hambake rumah godang. Kemana pun abang akan hamba ikuti.”
“Tidak, tidak…” Malin Bonsu berpejam.
“Putri Gondan. Tadi putri baru saja menceritakan kepada hamba kalau kalian menikah baru tiga hari. Melihat kita jalan beriring begini, apa sangka hati Raja Bantan nanti? Lelaki mana yang mau melihat istrinya jalan beriring dengan lelaki lain, di malam buta pula lagi?”
Beberapa orang perempuan sudah pergi ke laut, menuju jamban mereka masing-masing. Sebagian mereka berdiri di kejauhan ingin tahu apa yang terjadi antara Putri Gondan Gonto Sari, Kembang Cina dan Malin Bonsu.
“Bang Malin, marilah cepat kita ke rumah godang. Hamba rakyat sudah banyak yang turun mandi. Kalau sempat mereka melapor kepada Raja Bantan sebelum kita naik, maka akan kusutlah rantau yang panjang dan gaduhlah negeri godang ini.”
Malin Bonsu mengedarkan pandang ke sekelilingnya. Benar, hamba rakyat tanah Bantan sudah ramai simpang siur.
Malin Bonsu melihat ke arah tempurung kelapa. Asap kemeyan yang tadi menari-nari bagai asap kopi yang baru dituangkan ke dalam cawan. sudah tak ada lagi. Tapi baunya masih sedikit terhidu dihembus angin pagi yang tak begitu terasa dingin. Melihat itu ia terpejam. Ia sadar kalau perempuan yang memaksanya naik ke rumah godang ini yang telah menolongnya, kalau tak begitu, mengapa pula tadi ada asap kemeyan membumbung dan hangit menusuk hidungnya? Dan siapa pula lagi yang telah membakar kemeyan di malam buta kecuali Putri Gondan dan Kembang Cina ini? (bersambung)





     
 






Malin Bonsu karya griven h. putera

40

Sejumlah pertanyaan yang diajukan lelaki itu tak mendapat jawaban dari Putri Gondan Gonto Sari dan Kembang Cina. Mereka terpaku bagai terpukau ilmu pasu. Mata mereka terpelit-pelit tapi suara seolah tercekat di kerongkongan.
Oleh karena tak ada jawaban, lelaki asing itu coba mengingat-ingat sejumlah kejadian yang baru ia alami. Setelah ia kumpulkan puing-puing ingatan yang telah berserakan, barulah ia sadar, badai di laut malam itu telah mengalahkannya hingga ia kehilangan nyawa. Hujan ribut telah menenggelamkannya sekaligus memisahkannya dengan dendang tunangannya. Itu artinya, sumpah yang ia ucapkan kepada pelabuhan hatinya dulu telah berlaku. Mati dipukul hujan ribut di Pulau Angsa Dua kalau ia tak balik ke kampung halaman mereka dalam tiga bulan. Dan ia pergi dari kampung halamannya sudah melampaui bilangan itu. Sungguh ia telah melanggar sumpah. Tapi Tuhan masih sayang padanya, ia masih selamat.
“Kalau boleh hamba bertanya, siapakan tuan berdua ini?” Tanya lelaki itu lagi setelah menggisal-gisal mata.
Masih belum juga terdengar jawaban dari dua perempuan itu. Hanya dua bintik airmata yang tampak menggenang di sudut mata tajam perempuan yang berambut panjang terurai. Jelas sekali, air mengambang itu adalah airmata. Air tanda bahagia ataukah duka? Kalau pun bahagia, kenapa perempuan ini sampai menitikkan airmata? Dan jika sengsara, kenapa pula ia mesti berduka di depan lelaki asing itu? Tidakkah ia bukan siapa-siapa baginya?
Air yang terladung di sudut mata perempuan jelita ini mengingatkan lelaki asing itu pada tunangannya di kampung halaman. Persis, airmata seperti itulah yang telah mengantarnya sewaktu hendak melaut tempo hari. Tapi kenapa pula perempuan ini menangis seperti kekasih hatinya itu?
“Hamba bertanya kepada abang betul-betul. Juablah dek anje[1] baik-baik. Tadi abang kami temukan terdampar di Pulau Angsa Dua.” Perempuan itu menghapus dua bintik air yang menggenang di sudut matanya. “Mati sudah nasib badan abang.” Putri Gondan Gonto Sari terdiam beberapa saat. Ia coba menenangkan perasaan yang bercampur aduk di dadanya.
Dengan suara agak parau ia berkata lagi. “Kalau boleh hamba bertanya, kenapa abang sampai begitu? Siapakah nama abang? Jika punya gelar, siapakah panggilan abang, dan dari manakah abang ini kiranya?”
Selama perempuan ini bicara, pikiran lelaki asing itu tak henti diam mengira-ngira siapa perempuan berhidung mancung dan berdagu lancip yang menangis di depannya ini. Kulit putih melepak ditimpa bayangan pagi itu mengingatkannya pada tunangan yang telah ditinggalkannya. Hanya saja, kekasihnya itu tak seberani perempuan ini yang sanggup keluar rumah pada saat begini. Dan sorot mata tunangannya itu tak setajam dan segarang perempuan ini. Walaupun menangis tapi bayangan keberanian yang luarbiasa tergambar terang di mata perempuan ini. Jelas sekali perempuan ini bukanlah perempuan biasa. Pertanyaan yang berjujai-jujai ia lontarkan tadi tak dijawab sepatah pun oleh perempuan ini dengan jelas. Malah ia pula yang bertanya kepadanya. Dan yang paling mendebarkan hatinya, kenapa perempuan ini begitu lancang memanggilnya abang? Kenapa cepat sekali perempuan ini akrab dengan lelaki asing yang baru ia jumpa? Sungguh, siapakah perempuan ini?
“Kalau begitu tanya tuan baiklah. Dengan senang hati akan hamba ceritakan tentang diri hamba. Hamba mungkin telah mati dipukul hujan ribut di Pulau Angsa Dua seperti yang telah tuan ceritakan itu. Tumpah darah hamba adalah Ranah Kunto Panalian, Kota Lembacang Pandak. Nama hamba adalah Malin Bonsu. Hamba tiadalah punya gelar.” (bersambung)








[1] Jawablah oleh tuan

Sabtu, 16 April 2011

Malin Bonsu karya griven h. putera


10

Selesai makan malam, mereka terus saja berbual ini dan itu, mereka pun mengingatkan Malin Bonsu supaya jangan lengah di rantau orang, jangan lalai di negeri orang. Jangan asyik di teluk dan rantau. Kenanglah ibu dan bapak, kenang juga kampung halaman. Kalau golo dondang di laut, kuk kusut rantau yang panjang atau gaduh kampung halaman sepeninggalnya, siapa lagi yang bisa menolong? Selama di rantau orang, kalau tiba di kampung orang, jika bercakap ambil yang bawah, kalau duduk menepi-nepi tapi jangan menepi amat. Kalau mandi menghilir-hilir tapi jangan menghilir amat. Itulah petuah orang tua-tua kita. “Peganglah amanat dan pesan kami itu, Malin,” kata Datuk Domiolah menutup pesan keluarga mereka malam itu.
“Mana ayah hamba berhimbau serta semua keluarga di sini. Insya olah baiklah itu. Hamba tak akan lupa amanat diri. Jangan bimbang mingkak[1] tinggal. Janganlah rusuh mingkak di sini. Hamba pergi tak akan lama.”
Malam sudah lama larut dilindung bulan. Sudah senyap-sunyi negeri godang. Mereka belum tidur juga.
Malam terus bertambah larut. Kokok ayam pertanda dinihari sekali dua sudah pula terdengar saty dua kali.
Karena sudah lama malam berjalan, hingga pagi pun segera tiba.
Saatnya siang pun datang membayang. Apalah tanda hari siang, burung tatabau bersiut-bunyi, kerbau-kambing tayap[2] di padang, itik joli pun telah  mengulang jejak hari kemarin.
Semua penghuni rumah godang pun sudah turun ke jamban panjang. Setelah mandi setimba dua, menikmati segarnya air Laut Embun, mereka pun secepatnya kembali ke rumah godang karena sebentar lagi Malin Bonsu akan membuka langkah, melayari lautan luas.
Bujang Selamat, pelayan kerajaan dan Kembang Cina, dayang-inang istana terlihat sibuk mengangkat nasi dan lauk pauk buat sarapan pagi ke tengah rumah. Kembang Cina dan Bujang Selamat mesti berhati-hati karena acara penting semacam ini jarang, bahkan hampir tak terjadi sekali dalam setahun. Seluruh pembesar rumah godang bakal berkumpul makan bersama.
Hari itu, Malin Bonsu dan Putri Jailan makan pagi bersama semua penghuni dan para pembesar rumah godang. Lama nian mereka tidak seperti ini.
Dalam hal menyantap hidangan, sebagai orang beradat-berlembaga, kalau mereka makan, baru dua suap masuk yang ketiga, mereka pun berhenti. Jambar ditolak tangan kiri, ambil cerano tangan kanan. Mereka lalu makan sirih pula sekapur seorang. Bila kelat habis, sepah pun dibuang. Perisa habis terluluh, seri pun naik ke ubun-ubun.
Matahari sudah kian terasa menyengat.  
Datuk Domiolah lalu berkata kepada Malin Bonsu.
“Anak hamba Malin Bonsu. Kini hari sudah bersesar tinggi juga. Melangkahlah sekarang.”
“Ayahanda hamba berhimbau. Pak tengah Lanang Bisai, Mak Bonsu Omin Guntingan, Pak Bonsu Tunggal Dagang serta adinda Putri Jailan. Beginilah, sekarang tinggallah mingkak di rumah godang dulu. Hamba segera pergi meninjau kampung dan negeri orang. Pergi menengok adat lembaga, pergi melihat budi bahasa mereka. Usah ragu dan bimbang kepada hamba. Jagalah rumah godang kita.”
Putri Jailan tak dapat menahan airmata. Titik demi titik gugur dari kelopak matanya yang merekah. Pun begitu pula Omin Guntingan. Selama hidup, belum pernah merasa sesedih ini. Datuk Domiolah, Datuk Lanang Bisai serta Datuk Tunggal Dagang juga begitu. Tapi sebagai lelaki yang pernah ternama, para orang besar dari Kota Lembacang Pandak, Ranah Kunto Panalian mereka ingin tetap terlihat gagah di depan semua orang hadir. Mereka menyimpan sedih dalam-dalam. Mereka tak ingin Malin Bonsu goyah walau sebenarnya ada harap yang menggebu supaya Malin Bonsu membatalkan rencana perjalanannya.
Malin Bonsu berdiri. Senjatanya berupa keris panjang pun ia lenggangkan, keris pendek ia sisipkan di pinggang, jalak jantan ia sengkelangkan.
Malin Bonsu berjalan dengan dada tegak menuju ambang pintu. Setelah tiba di pintu, ia langkahkan komodan papan. Langkahnya tiba di jenjang lima, turun ke tanah Malin Bonsu.
Malin melangkah tujuh langkah. Berhenti Malin di laman, memandang Malin Bonsu ke langit. Lalu mencekudau pula ke bumi. Menghimbau tidak menyahut. Di tengok tidak di rumah. Malin Bonsu termenung. Berpikir dalam hati. Galau. Resah. Khawatir. Cemas tiba-tiba mendesak keberaniannya supaya menyerah, supaya membatalkan perjalanan. Bukan sekarang saat yang tepat untuk melangkah. Bukan kini masanya. Bukan.
Tak lama kemudian.
Hmm, anak orang bertuah godang, anak orang dubalang[3] godang. Ia pungut lagi remah-remah semangat yang hampir berkecai.
Biar mati badan asal jangan mati semangat!
Putri Jailan menengok gelagat Malin Bonsu. Ketika tadi Malin berhenti sejenak di laman luas, berdebar sudah darah di dadanya. Hatinya pun tak senang lagi. Menghujanlah air matanya. Rasa khawatir yang sangat berlebihan makin menyelimuti perasaannya. Sungguh sangat bimbang dia kini. Sungguh cemas. Sungguh. Perempuan jelita itu berpejam. Gelap. Pertanda tak elok jelas sudah. Jelas.





[1] kalian
[2] berkeliaran
[3] hulubalang