Sabtu, 16 April 2011

Malin Bonsu karya griven h. putera


24

Bunyi ledakan petasan yang amat besar telah mengejutkan hampir seluruh masyarakat Ranah Kunto Panalunan, Ranah Tanjung Siarang. Tak ada hujan dan kilat di langit, petir tiba-tiba meledak di tengah hari tepat.
Tenryata yang meldak itu bukan bunyi petasan atau suara petir dan kilat yang membelah langit. Ini bunyi bedil jopun alias meriam kerajaan yang baru saja diletuskan. Bunyi itu bersumber dari jamban panjang Raja Tua; penguasa Ranah Kunto Panalunan, Ranah Tanjung Siarang.
Merasa yakin, asal bunyi itu dari jamban Raja Tua, rakyat pun berduyun-duyun menuju di mana bunyi itu bersumber. Tak ketinggalan pula, dari rumah godang, Datuk Raja Tua pun bergegas menuju jamban panjangnya. Anak hamba Raja Hitam sudah kembali? Senang benar hati orang tua itu. Sambil berlari-lari anjing ia pun menuju jamban panjang.
Ternyata dugaan Raja Tua benar, Raja Hitam sedang duduk di luan dondang sambil mengunyah-ngunyah sirih.
Sambil tersenyum senang bukan main, dari atas tebing, Raja Tua memanggil anaknya. “Ananda Raja Hitam. Jangan lama duduk di dondang. Hamba rakyat sudah banyak yang cinta dan rindu padamu. Kalau tak salah, rasanya sudah lebih lima bulan ananda pergi dari sini. Marilah kita naik ke rumah godang.”
“Mana ayah hamba berhimbau. Sebelum hamba naik ke rumah, ada hal hendak hamba kabarkan kepada ayahanda terlebih dahulu. Hamba mengajak ayahanda secepatnya menuju Kota Lembacang Pandak. Kalau bisa, mari kita bawa juga para monti[1] dan dubalang[2] beserta rakyat sekalian.”
Raja Tua tampak terperanjat dan kebingungan.
”Apa gerangan yang terjadi hingga kita harus berangkat secepatnya ke Kota Lembacang Pandak? Tak rindukah ananda pada negeri kita ini setelah sekian lama ananda tinggalkan?”
Raja Hitam mencabut keris di pinggang lalu mengacungkannya ke langit, ke arah matahari yang tengah terik berdentang.
“Ayahanda, ini adalah keris Malin Bonsu. Di saat ia mau mati di laut simpat empat beberapa waktu yang lalu, ia berpesan kepada hamba supaya menikahi Putri Jailan secepatnya. Dan kabar ini sudah disetujui oleh para pembesar di Kota Lembacang Pandak.”
Raja Tua tercengang. Malin Bonsu meninggal? Apa benar kata anakku ini? Tanya hatinya setengah tak percaya.
Malin Bonsu, anak orang alim bertuah godang dari Kota Lembacang Pandak telah meninggal? Akh tak mungkin.
“Bagaimana pendapat anje?” tanya Raja Hitam seolah melihat keraguan yang terpendam dalam hati ayahnya.
“Kalau begitu adanya, bersiaplah,” setuju Datuk Raja Tua dengan suara lemah. Dalam hati, sesungguhnya ia masih menyimpan ragu akan berita yang dikabarkan anaknya ini. Tapi ia tak mau anaknya kecewa. Ia tahu tabiat anaknya itu, kalau tak diperturutkan, maka akan terjadi kekacauan. Ia tak mau melihat putra tunggalnya itu membuat masalah lagi.
Raja Hitam kemudian menghalakan wajahnya ke tengah rakyat yang tumpah ruah di sekitar jamban panjang. Lalu tak lama kemudian ia panggil menteri dan hulubalang serta penduduk yang telah hadir untuk mengisi beberapa buah dendang besar yang merapat di pelabuhan tersebut. Walaupun ada yang merasa terpaksa, rakyat pun masuk ke dalam dendang. Mereka sangat takut kepada Raja Hitam. Putra mahkota Ranah Kunto Panalunan, Ranah Tanjung Siarang ini terkenal bengis dan kejam. Tak segan-segan menyakiti siapa yang melawan perintahnya. Bahkan membunuh pun ia mau. Nyawa manusia di tangan pemuda hitam ini sangat tak berharga.
Setelah semua terkumpul, mereka pun berlayar mengarungi lautan menuju Kota Lembacang Pandak. (bersambung…)


[1] menteri
[2] hulubalang

Tidak ada komentar:

Posting Komentar