39
Ketika dendang merapat di jamban panjang, hari sudah hampir dijemput fajar. Setelah mengikatkan tali perahu panjang itu, Kembang Cina bergegas membantu Putri Gondan Gonto Sari berusaha menaikkan tubuh lelaki asing itu ke jamban panjang. Untung saja, saat itu belum satu orang pun penduduk negeri Bantan turun ke tepian. Mungkin mereka masih dihantui hawa dingin yang dahsyat. Padahal, biasanya pada waktu begini para nelayan sudah berhamburan mengarungi lautan atau kalau yang melaut di malam hari, saat ini mereka sudah balik pula dari menangkap ikan. Tapi saat ini negeri Bantan masih senyap. Di hulu dan hilir jamban panjang tak kelihatan siapa-siapa. Bunyi kokok ayam jantan yang biasanya ramai menyambut datangnya pagi juga tak terdengar. Binatang malam yang berumah dalam hutan di belakang negeri Bantan pun seolah hanyut dalam dingin.
Setelah tubuh lelaki asing itu sempurna terbaring di atas jamban panjang, Putri Gondan Gonto Sari mengeluarkan sebutir kemeyan dan dua buah batu api kecil dari saku baju dalamnya. Kemeyan itu lalu ia bakar di dalam tempurung yang biasa dibuat untuk menimba air di dalam dendang. Setelah asap membumbung dan mengitari tubuh mereka, perempuan bermata bulat dan berdagu lancip itu pun berpejam. Ia ingat dan mamah segala petuah, ia himbau dan seru segala akuan. Lalu bibir tipisnya menyeru, menghimbau keposan[1] putih. “Mana kamu, Nak Keposan Putih. Turunlah sekarang juga. Tolong dan Bantu badan hamba.”
Seolah belum pecah air liur belalang, Keposan putih sudah tiba. Lipan yang berwarna putih itu pun berhenti tepat di depan Putri Gondan Gonto Sari.
“Ada kasad[2] penting apakah sehingga Mak Bonsu memanggil hamba?”
“Saya menghimbau karena seorang laki-laki kami temui di Pulau Angsa Dua. Mati sudah nasib badannya. Jika engkau bisa, tolonglah hidupkan ia kembali. Besar sekali harap hamba kepadanya.”
Lipan aneh berwarna putih yang selalu setia kepada Putri Godan Gonto sari itu pun terdiam. Tahulah ia betapa pentingnya lelaki itu bagi tuannya ini. Entah berapa lama kemudian barulah ia berkata dengan hati-hati.
“Kalau begitu pinta Mak Bonsu, baiklah segera ‘kan hamba coba. Marilah kita sama-sama berdoa.”
Perlahan-lahan, keposan putih yang tadi diam merentangkan tubuh di hadapan Putri Gondan Gonto Sari pun bergerak dan beringsut ke arah lelaki asing itu. Ia lalu menjalar, menaiki lengan lalu menuju ke kepala. Mata Putri Gondan Gonto Sari dan Kembang Cina tak berkedip menyaksikan pemandangan itu. Hati Putri Gondan Gonto Sari berdebar-debar dan berharap-harap cemas semoga keposan putih mampu mengembalikan nyawa lelaki itu. Setelah sejenak menjalar di seluruh muka lelaki itu, keposan putih bergerak menuju mulut lelaki itu. Keposan putih lalu menjalar ke sekujur tubuh lelaki itu. Tak lama kemudian ia pun sampai ke dalam lubang hidung. Saat keposan putih meniti lubang hidung, maka lelaki itu terbersin sekaligus menyemburkan keposan putih. Anak akuan Putri Gondan Gonto sari itu terpelanting. Tanpa mengucapkan pamit, binatang gaib sahabat Putri Gondan Gonto Sari itu pun lenyap bagai ditelan laut. Kembang Cina dan Putri Gondan Gonto Sari terperanjat mendengar lelaki itu bersin. Dan lebih takjub lagi manakala melihat lelaki itu duduk. Serasa antara percaya dan tidak, Putri Gondan Gonto Sari dan Kembang Cina tak dapat berkata-kata. Mereka terpana. Lidah mereka kelu.
Masih mata dalam keadaan terpejam, dua tangan lelaki itu bergerak di lantai jamban panjang. Lelaki itu meraba kiri dan kanan. Setelah sekian lama begitu barulah matanya terbuka. Ia menengadah ke langit sejenak, lalu menghala pula ke laut. Entah berapa lama singgah di laut, matanya pun hinggap di mata seorang perempuan yang terlongo di depannya. Perempuan yang ditikam mata elang lelaki itu tertunduk.
“Di manakah hamba ini?” tanyanya bergumam. “Apa yang telah terjadi pada diri hamba?” (bersambung)
[1] lipan
[2] maksud
Tidak ada komentar:
Posting Komentar