25
Laut embun siang itu bergolak hebat. Angin keras yang bertiup tak tentu datang dari arah mana. Sekejap mengarah ke darat, sekejap mengarah ke laut. Akibat pusaran angin yang tak beraturan itu, gelombang pun bergulung tak beraturan pula. Hal ini membuat beberapa dendang rombongan Raja Hitam sekian lama terapung dalam keadaan terombang-ambing, teleng kiri dan kanan hampir tenggelam. Semua daun layar segera ditutup. Gerimis tiba-tiba turun. Beberapa lama, rombongan Raja Hitam tidak bisa merapat ke jamban panjang.
Raja Hitam gelisah karena merasa lambat sekali bakal berjumpa Putri Jailan. Datuk Raja Tua juga gelisah. Datuk Raja Tua merasa gelisah bukan karena mau cepat-cepat bertemu Putri Jailan seperti yang dirasakan Raja Hitam. Bukan itu masalahnya, tapi sebagai orang tua yang sudah banyak sekali mengecap rasa garam kehidupan ini, ia tahu benar kalau kejadian siang ini adalah pertanda tak elok bagi kedatangan mereka. Matahari yang tadi sangat terik menyinari laut kini tiba-tiba diselimuti kabut hitam. Angin yang tadi bertiup biasa sekarang telah menjadi tidak biasa.
Wajah tua Datuk Raja Hitam tegang. Tak henti-hentinya mulut penguasa Ranah Tanjung Siarang, Ranah Kunto Panalunan itu berkomat-kamit. Tak satu dua petuah lagi ia baca sebagai mantra penakluk laut. Tapi gelombang dan angin tak berhenti juga. Datuk Raja Tua seperti hampir putus asa.
Datuk Raja Tua menghalakan pandangan ke tengah samudera yang tak bertepi. Jauh di tengah laut, gelombang besar tak henti-henti bergulung. Kemudian ia menengadah pula ke langit tinggi. Sayup di kaki langit sebelah barat, beberapa kumpulan awan hitam kelihatan menari-nari ke sana ke mari seolah mengajak awan yang lain untuk sama-sama bermuka kelam.
Siang itu tak seekorpun burung mampu bermain ombak. Gelombang besar seolah bermain dengan dirinya sendiri. Laut seperti sedang murka tapi tak tahu kepada siapa marah itu ditujukan. Sungguh tak tahu. Tapi Datuk Raja Tua menebak-nebak, menerka-nerka dalam hati. Laut pastilah sedang murka kepada mereka, terutama kepada anaknya Raja Hitam yang telah menghianati Malin Bonsu; anak alim bertuah besar. Sungguh, dalam hati Datuk Raja Tua sangat yakin. Ini akibat ulah anaknya. Akan tetapi?
Setelah sekian lama terkatung-katung dalam badai, akhirnya Raja Hitam dan Datuk Raja Tua sampai juga ke pinggir kota Lembacang Pandak. Wajah-wajah rombongan yang tadi pucat pias kini mulai berdarah kembali. Mereka sangat bahagia bisa selamat dari amukan laut.
Sebelum merapat ke tepian, Datuk Raja Tua menyuruh menterinya menyulut sumbu bedil Jopun. Meriam kebesaran kerajaan itu ditembakkan satu kali sebagai pertanda bahwa raja dari Ranah Kunto Panalunan alias Ranah Tanjung Siarang telah datang.
Mendengar letusan bedil tersebut, Datuk Domiolah dan Datuk Lanang Bisai turun dari rumah godang, berjalan tergesa menyongsong kedatangan Raja Hitam dan rombongan. Di belakang mereka, para menteri, hulubalang dan beberapa pengawal mengikuti pula.
Setelah Datuk Domiolah dan sebagian keluarga Putri Jailan bertemu dengan rombongan Raja Hitam, Datuk Domiolah pun mempersilahkan rombongan Datuk Raja Tua itu menuju rumah godang Datuk Tunggal Dagang.
Dengan gagahnya, Raja Hitam yang sedang memakai pakaian kebesaran kerajaan Ranah Kunto Panalunan, Ranah Tanjung Siarang melangkah mantap, naik langkah tegap seperti diatur. Para pengawal dan rakyat Ranah Kunto Panalunan, Ranah Tanjung Siarang seluruhnya juga menuju rumah godang.
Sesampai di rumah godang. Orang ramai pun sudah bertompak, berserik terdengar gendang di sana-sini menyambut kedatangan rombongan.
Helat besar segera dibuka. (bersambung…)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar