Sabtu, 16 April 2011

Malin Bonsu karya griven h. putera

40

Sejumlah pertanyaan yang diajukan lelaki itu tak mendapat jawaban dari Putri Gondan Gonto Sari dan Kembang Cina. Mereka terpaku bagai terpukau ilmu pasu. Mata mereka terpelit-pelit tapi suara seolah tercekat di kerongkongan.
Oleh karena tak ada jawaban, lelaki asing itu coba mengingat-ingat sejumlah kejadian yang baru ia alami. Setelah ia kumpulkan puing-puing ingatan yang telah berserakan, barulah ia sadar, badai di laut malam itu telah mengalahkannya hingga ia kehilangan nyawa. Hujan ribut telah menenggelamkannya sekaligus memisahkannya dengan dendang tunangannya. Itu artinya, sumpah yang ia ucapkan kepada pelabuhan hatinya dulu telah berlaku. Mati dipukul hujan ribut di Pulau Angsa Dua kalau ia tak balik ke kampung halaman mereka dalam tiga bulan. Dan ia pergi dari kampung halamannya sudah melampaui bilangan itu. Sungguh ia telah melanggar sumpah. Tapi Tuhan masih sayang padanya, ia masih selamat.
“Kalau boleh hamba bertanya, siapakan tuan berdua ini?” Tanya lelaki itu lagi setelah menggisal-gisal mata.
Masih belum juga terdengar jawaban dari dua perempuan itu. Hanya dua bintik airmata yang tampak menggenang di sudut mata tajam perempuan yang berambut panjang terurai. Jelas sekali, air mengambang itu adalah airmata. Air tanda bahagia ataukah duka? Kalau pun bahagia, kenapa perempuan ini sampai menitikkan airmata? Dan jika sengsara, kenapa pula ia mesti berduka di depan lelaki asing itu? Tidakkah ia bukan siapa-siapa baginya?
Air yang terladung di sudut mata perempuan jelita ini mengingatkan lelaki asing itu pada tunangannya di kampung halaman. Persis, airmata seperti itulah yang telah mengantarnya sewaktu hendak melaut tempo hari. Tapi kenapa pula perempuan ini menangis seperti kekasih hatinya itu?
“Hamba bertanya kepada abang betul-betul. Juablah dek anje[1] baik-baik. Tadi abang kami temukan terdampar di Pulau Angsa Dua.” Perempuan itu menghapus dua bintik air yang menggenang di sudut matanya. “Mati sudah nasib badan abang.” Putri Gondan Gonto Sari terdiam beberapa saat. Ia coba menenangkan perasaan yang bercampur aduk di dadanya.
Dengan suara agak parau ia berkata lagi. “Kalau boleh hamba bertanya, kenapa abang sampai begitu? Siapakah nama abang? Jika punya gelar, siapakah panggilan abang, dan dari manakah abang ini kiranya?”
Selama perempuan ini bicara, pikiran lelaki asing itu tak henti diam mengira-ngira siapa perempuan berhidung mancung dan berdagu lancip yang menangis di depannya ini. Kulit putih melepak ditimpa bayangan pagi itu mengingatkannya pada tunangan yang telah ditinggalkannya. Hanya saja, kekasihnya itu tak seberani perempuan ini yang sanggup keluar rumah pada saat begini. Dan sorot mata tunangannya itu tak setajam dan segarang perempuan ini. Walaupun menangis tapi bayangan keberanian yang luarbiasa tergambar terang di mata perempuan ini. Jelas sekali perempuan ini bukanlah perempuan biasa. Pertanyaan yang berjujai-jujai ia lontarkan tadi tak dijawab sepatah pun oleh perempuan ini dengan jelas. Malah ia pula yang bertanya kepadanya. Dan yang paling mendebarkan hatinya, kenapa perempuan ini begitu lancang memanggilnya abang? Kenapa cepat sekali perempuan ini akrab dengan lelaki asing yang baru ia jumpa? Sungguh, siapakah perempuan ini?
“Kalau begitu tanya tuan baiklah. Dengan senang hati akan hamba ceritakan tentang diri hamba. Hamba mungkin telah mati dipukul hujan ribut di Pulau Angsa Dua seperti yang telah tuan ceritakan itu. Tumpah darah hamba adalah Ranah Kunto Panalian, Kota Lembacang Pandak. Nama hamba adalah Malin Bonsu. Hamba tiadalah punya gelar.” (bersambung)








[1] Jawablah oleh tuan

Tidak ada komentar:

Posting Komentar