Minggu, 17 April 2011

Malin Bonsu karya griven h. putera

47

Namun sebaliknya, pantang bagi Raja Bantan mengaku kalah begitu saja. Biarlah mati berkalang tanah daripada hidup bercermin bangkai. Andaikata pun nanti ia bisa mengulang jejak, bisa menikmati nafas kehidupan lagi. Buat apa hidup kalau menanggung malu karena terhina? Untuk apa lagi hidup melihat orang tercinta memalingkan hati ke lain orang? Tak ada lagi perisa air yang diminum, nasi yang dimakan; semua akan terasa hambar bahkan terasa pahit. Nasi yang dikinyam bakal serasa sekam, air yang diminum serasa duri. Bahkan ia sekarang menunggu lelaki hebat di depannya itu mencabut keris dan menyarungkan di ulu hatinya. Sungguh mulia rasanya bila menghembuskan nafas terakhir di tangan pemuda hebat itu. Semakin lama Raja Bantan semakin sadar, bahwa yang salah itu bukanlah Malin Bonsu, tapi istrinya yang telah berpaling. Dan ia yakin, kalau lelaki asing ini hendak menjatuhkannya, hendak membunuhnya, tentu sudah sejak tadi hal itu bisa ia lakukan. Tapi ia hanya mengelak saja.
Raja Bantan mulai sadar kalau sesungguhnya ia telah dikalahkan oleh dirinya sendiri. Bukan lelaki itu. Nafsu marah, cemburu, iri dan sakit hati yang menguasai dirinya telah membuat ia bagai boneka permainan lawan.
Ia berhenti sejenak. Sambil memejamkan mata, ia hirup nafas kuat-kuat lalu dilepaskan pelan-pelan, coba menenangkan pikiran sebisa mungkin.
Kini Raja Bantan membuka langkah silat dengan tenang. Ia tak gegabah seperti tadi. Semua gerakan yang ia keluarkan penuh perhitungan.
Melihat perubahan gerakan lawan, Malin Bonsu terlihat gembira. Hmm, inilah yang hamba tunggu sejak tadi.
Malin Bonsu mulai bergerak tak sembarangan seperti tadi. Kini ia bersilat begitu lembut. Setiap gerakan dalam mengelak, mengelicik, ia meliuk-liuk gemulai. Semakin lama gerakan lelaki itu semakin lembut lemah gemulai tapi amat liat.
Hari semakin gelap. Angin berdesing-desing. Raja Bantan tetap menghujankan tikaman, sepakan dan terajangan ke tubuh Malin Bonsu. Tapi semuanya hanya kosong.
Dari kejauhan, kilau keris Raja Bantan seperti kilat di langit yang menyambar ke sana kemari. Dan tidak sekali dua seperti bertembung dengan cahaya dada Malin Bonsu yang sudah mulai mencawang. Melihat sinar yang keluar dari dada lawan tandingnya, hati Raja Bantan kian senang. Sungguh lawan yang hebat. Ia lupakan sakit, iri dan dendam di hati.
Rumput hijau yang tumbuh hampir di serata laman luas, sebagian sudah kusal, sudah lisek bahkan ada yang mulai menguning akibat pijakan dan hentakan kaki dua pendekar muda itu.
Mata hulubalang dan menteri Negeri Bantan tak berkedip. Tangan beberapa orang hulubalang mulai gatal. Geram.
Di anjung tinggi. Hati Putri Gondan Gonto Sari mulai kecut. Ia yakin sesuatu yang tak baik bakal berlaku. Satu dari pemuda gagah itu bakal pergi, bakal mati. Tak mungkin ada dua matahari di bumi. Tak mungkin ada dua raja di sebuah negeri. Tak mungkin. Andai kata yang pergi itu adalah pemuda asing yang telah menggeletarkan seluruh jiwa raganya itu, maka ia pun akan bernasib sama. Tentulah Raja Bantan, suaminya akan membunuhnya, paling kurang membuangnya, mencampakkannya bagai kain basahan yang dipakai sehabis mandi. Sungguh tak ada lagi guna hidup. Tapi andaikata lelaki berpanau itu yang menang, tentulah ia akan mereguk kebahagiaan di negeri ini. Menanam bunga melati, bunga matahari, bunga raya, bunga cina, bunga cimpu, bunga kiambang dan bermacam-macam bunga di hatinya. Ia ingin seluruh jiwanya punuh dengan bunga-bunga. Tapi mungkinkah?
Sambil menutup tingkap anjung karena sudah sejak tadi berletung-lentang menghantam dinding akibat terpaan angina yang seperti halaman buku yang dibalik-balik, Putri Gondan Gonto Sari  coba mengintip pertempuran di bawah sana. Hati perempuan itu semakin tak lemak melihat lelaki asing itu hanya mengelak dan seolah terdesak. Pikiran perempuan itu mulai kusut, sekusut rambutnya yang mulai terbiar. (bersambung)

 







Tidak ada komentar:

Posting Komentar