Sabtu, 16 April 2011

Malin Bonsu karya griven h. putera


10

Selesai makan malam, mereka terus saja berbual ini dan itu, mereka pun mengingatkan Malin Bonsu supaya jangan lengah di rantau orang, jangan lalai di negeri orang. Jangan asyik di teluk dan rantau. Kenanglah ibu dan bapak, kenang juga kampung halaman. Kalau golo dondang di laut, kuk kusut rantau yang panjang atau gaduh kampung halaman sepeninggalnya, siapa lagi yang bisa menolong? Selama di rantau orang, kalau tiba di kampung orang, jika bercakap ambil yang bawah, kalau duduk menepi-nepi tapi jangan menepi amat. Kalau mandi menghilir-hilir tapi jangan menghilir amat. Itulah petuah orang tua-tua kita. “Peganglah amanat dan pesan kami itu, Malin,” kata Datuk Domiolah menutup pesan keluarga mereka malam itu.
“Mana ayah hamba berhimbau serta semua keluarga di sini. Insya olah baiklah itu. Hamba tak akan lupa amanat diri. Jangan bimbang mingkak[1] tinggal. Janganlah rusuh mingkak di sini. Hamba pergi tak akan lama.”
Malam sudah lama larut dilindung bulan. Sudah senyap-sunyi negeri godang. Mereka belum tidur juga.
Malam terus bertambah larut. Kokok ayam pertanda dinihari sekali dua sudah pula terdengar saty dua kali.
Karena sudah lama malam berjalan, hingga pagi pun segera tiba.
Saatnya siang pun datang membayang. Apalah tanda hari siang, burung tatabau bersiut-bunyi, kerbau-kambing tayap[2] di padang, itik joli pun telah  mengulang jejak hari kemarin.
Semua penghuni rumah godang pun sudah turun ke jamban panjang. Setelah mandi setimba dua, menikmati segarnya air Laut Embun, mereka pun secepatnya kembali ke rumah godang karena sebentar lagi Malin Bonsu akan membuka langkah, melayari lautan luas.
Bujang Selamat, pelayan kerajaan dan Kembang Cina, dayang-inang istana terlihat sibuk mengangkat nasi dan lauk pauk buat sarapan pagi ke tengah rumah. Kembang Cina dan Bujang Selamat mesti berhati-hati karena acara penting semacam ini jarang, bahkan hampir tak terjadi sekali dalam setahun. Seluruh pembesar rumah godang bakal berkumpul makan bersama.
Hari itu, Malin Bonsu dan Putri Jailan makan pagi bersama semua penghuni dan para pembesar rumah godang. Lama nian mereka tidak seperti ini.
Dalam hal menyantap hidangan, sebagai orang beradat-berlembaga, kalau mereka makan, baru dua suap masuk yang ketiga, mereka pun berhenti. Jambar ditolak tangan kiri, ambil cerano tangan kanan. Mereka lalu makan sirih pula sekapur seorang. Bila kelat habis, sepah pun dibuang. Perisa habis terluluh, seri pun naik ke ubun-ubun.
Matahari sudah kian terasa menyengat.  
Datuk Domiolah lalu berkata kepada Malin Bonsu.
“Anak hamba Malin Bonsu. Kini hari sudah bersesar tinggi juga. Melangkahlah sekarang.”
“Ayahanda hamba berhimbau. Pak tengah Lanang Bisai, Mak Bonsu Omin Guntingan, Pak Bonsu Tunggal Dagang serta adinda Putri Jailan. Beginilah, sekarang tinggallah mingkak di rumah godang dulu. Hamba segera pergi meninjau kampung dan negeri orang. Pergi menengok adat lembaga, pergi melihat budi bahasa mereka. Usah ragu dan bimbang kepada hamba. Jagalah rumah godang kita.”
Putri Jailan tak dapat menahan airmata. Titik demi titik gugur dari kelopak matanya yang merekah. Pun begitu pula Omin Guntingan. Selama hidup, belum pernah merasa sesedih ini. Datuk Domiolah, Datuk Lanang Bisai serta Datuk Tunggal Dagang juga begitu. Tapi sebagai lelaki yang pernah ternama, para orang besar dari Kota Lembacang Pandak, Ranah Kunto Panalian mereka ingin tetap terlihat gagah di depan semua orang hadir. Mereka menyimpan sedih dalam-dalam. Mereka tak ingin Malin Bonsu goyah walau sebenarnya ada harap yang menggebu supaya Malin Bonsu membatalkan rencana perjalanannya.
Malin Bonsu berdiri. Senjatanya berupa keris panjang pun ia lenggangkan, keris pendek ia sisipkan di pinggang, jalak jantan ia sengkelangkan.
Malin Bonsu berjalan dengan dada tegak menuju ambang pintu. Setelah tiba di pintu, ia langkahkan komodan papan. Langkahnya tiba di jenjang lima, turun ke tanah Malin Bonsu.
Malin melangkah tujuh langkah. Berhenti Malin di laman, memandang Malin Bonsu ke langit. Lalu mencekudau pula ke bumi. Menghimbau tidak menyahut. Di tengok tidak di rumah. Malin Bonsu termenung. Berpikir dalam hati. Galau. Resah. Khawatir. Cemas tiba-tiba mendesak keberaniannya supaya menyerah, supaya membatalkan perjalanan. Bukan sekarang saat yang tepat untuk melangkah. Bukan kini masanya. Bukan.
Tak lama kemudian.
Hmm, anak orang bertuah godang, anak orang dubalang[3] godang. Ia pungut lagi remah-remah semangat yang hampir berkecai.
Biar mati badan asal jangan mati semangat!
Putri Jailan menengok gelagat Malin Bonsu. Ketika tadi Malin berhenti sejenak di laman luas, berdebar sudah darah di dadanya. Hatinya pun tak senang lagi. Menghujanlah air matanya. Rasa khawatir yang sangat berlebihan makin menyelimuti perasaannya. Sungguh sangat bimbang dia kini. Sungguh cemas. Sungguh. Perempuan jelita itu berpejam. Gelap. Pertanda tak elok jelas sudah. Jelas.





[1] kalian
[2] berkeliaran
[3] hulubalang

Tidak ada komentar:

Posting Komentar