Sabtu, 16 April 2011

Malin Bonsu karya griven h. putera

41

Bayangan pagi sudah menjelang. Kokok ayam jantan telah pun mulai sahut menyahut.
Walaupun asap kemeyan tak sekepul tadi tapi baunya masih hangit menyenak hidung.
Malin Bonsu mengalihkan pandang ke tempurung tempat kemeyan dibakar Putri Gondan Gonto Sari.
“Kalau hamba boleh bertanya pula. Siapakah nama tuan berdua ini?”
Mendengar pertanyaan Malin Bonsu, Putri Gondan Gonto Sari pun tergelak. Tak lama kemudian ia menunduk sambil mengulum senyum.
“Hamba bernama Gondan Gonto Sari. Istri dari raja negeri Bantan ini. Kami baru tiga hari menikah. Sedangkan perempuan yang di samping hamba ini adalah Kembang Cina, pelayan kami.”
Malin Bonsu terangguk-angguk mendengar penuturan perempuan itu. Pantaslah perempuan ini begini. Kata hatinya.
“Karena Bang Malin sudah tahu, marilah kita segera naik ke darat, ke rumah kami.”
Malin Bonsu terdiam. Lelaki itu berpikir. Apakah ucapan ini hanya basa-basi atau sungguhan? Tiba-tiba saja suatu perasaan tak sedap menyelimuti hatinya.
“Tuan Putri Gondan yang baik. Biarlah hamba di sini. Kalau nanti hamba ikut ke rumah godang, hamba khawatir, suami tuan salah sangka pula. Terima kasih atas segala budi baik tuan.”
Putri Gondan Gonto Sari kelihatan amat kesal mendengar penuturan Malin Bonsu tersebut. Ia sangat kecewa.  Tiba-tiba ia berkata seolah memaksa.
“Kalau Bang Malin tak mau ikut kami ke darat, saya pun tak akan kembali ke rumah godang. Kemana pun Bang Malin pergi akan hamba turuti.”
“Apa?” mata Malin Bonsu terbeliak. Kenapa pula perempuan ini begini? Tanya hatinya.
“Apa yang tuan Putri ucapkan itu?”
“Kalau abang tak mau ikut hambake rumah godang. Kemana pun abang akan hamba ikuti.”
“Tidak, tidak…” Malin Bonsu berpejam.
“Putri Gondan. Tadi putri baru saja menceritakan kepada hamba kalau kalian menikah baru tiga hari. Melihat kita jalan beriring begini, apa sangka hati Raja Bantan nanti? Lelaki mana yang mau melihat istrinya jalan beriring dengan lelaki lain, di malam buta pula lagi?”
Beberapa orang perempuan sudah pergi ke laut, menuju jamban mereka masing-masing. Sebagian mereka berdiri di kejauhan ingin tahu apa yang terjadi antara Putri Gondan Gonto Sari, Kembang Cina dan Malin Bonsu.
“Bang Malin, marilah cepat kita ke rumah godang. Hamba rakyat sudah banyak yang turun mandi. Kalau sempat mereka melapor kepada Raja Bantan sebelum kita naik, maka akan kusutlah rantau yang panjang dan gaduhlah negeri godang ini.”
Malin Bonsu mengedarkan pandang ke sekelilingnya. Benar, hamba rakyat tanah Bantan sudah ramai simpang siur.
Malin Bonsu melihat ke arah tempurung kelapa. Asap kemeyan yang tadi menari-nari bagai asap kopi yang baru dituangkan ke dalam cawan. sudah tak ada lagi. Tapi baunya masih sedikit terhidu dihembus angin pagi yang tak begitu terasa dingin. Melihat itu ia terpejam. Ia sadar kalau perempuan yang memaksanya naik ke rumah godang ini yang telah menolongnya, kalau tak begitu, mengapa pula tadi ada asap kemeyan membumbung dan hangit menusuk hidungnya? Dan siapa pula lagi yang telah membakar kemeyan di malam buta kecuali Putri Gondan dan Kembang Cina ini? (bersambung)





     
 






Tidak ada komentar:

Posting Komentar