13
“Hoi Lamat, bersopanlah sedikit! Hamba ini baru datang dari laut luas. Kalau tak salah, sudah empat bulan hamba berlayar. Masuk bulan kelima barulah sampai ke mari. Saking pentingnya urusan yang hamba bawa ini, hamba tak singgah dulu di kampung hamba karena ada pesan yang teramat penting dari Malin Bonsu mau hamba beritakan kepada Putri Jailan dan kepada Pak Bonsu Tunggal Dagang, Mak Bonsu Omin Guntingan, Datuk Domiolah serta Datuk Lanang Bisai.“
Raja Hitam berkata keras dengan suara melengking. Ia merasa terselip nada kurang senang Bujang Selamat kepadanya.
Mulut Bujang Selamat seketika ternganga mendengar berita itu. Pesan Malin?
“Lamat! Itulah sebabnya hamba datang kemari. Tahu?” mata Raja Hitam tampak menonjol. Jelas sekali, pembalut mata hitamnya itu agak berwarna kuning. Mata putih itu sungguh tidak putih lagi.
Bujang Selamat masih ternganga. Ia tak menyimak kata-kata Raja Hitam yang lain. Pesan Malin? Pesan apa? Kata hatinya.
“Tolong sampaikan kepada Datuk Tunggal Dagang kalau hamba sudah berada di jamban panjang.”
Seolah baru tersadar, Bujang Selamat pun berkata.
“Kalau begitu katamu, kenapa kau tak naik saja ke darat? Kenapa tak langsung saja ke rumah godang menyampaikan pesan itu? Kenapa perlu hamba pula yang mesti menyampaikannya?”
Darah di sekujur tubuh Raja Hitam sontak naik ke ubun-ubun. Sungguh lancang orang Kota Lembacang Pandak ini. Sungguh tak beradab kepada Raja! Awas kau! Tunggu masanya nanti. Tunggu masanya aku menjadi penguasa di sini. Hmm…
“Hei, Lamat. Tak usahlah kau banyak cakap lagi. Sampaikan kepada Datuk Tunggal Dagang, hamba sebentar lagi akan ke rumah godang.”
Kalau bukan teringat akan Putri Jailan, sudah tentu pesuruh negeri Kota Lembacang Pandak itu dibunuhnya, paling kurang akan dihajarnya sampai berkumur darah. Siapa yang tak tahu tabiat Raja Hitam? Lelaki yang kemana-mana hanya membawa laku ayam jantan. Hidup hanya mencari lawan, dan pernah tak pernah ada dalam kamus hidupnya mencari teman.
Sayang sekali ini lain. Sungguh lain. Ia tak mau pertemuan pertamanya dengan Putri Jailan, bunga tanah Perca itu bakal hancur berantakan gara-gara sikap Bujang Selamat. Raja Hitam mencoba bersabar walau sebetulnya hatinya sudah bagai dibakar. Seorang lamat bisa pula berkata demikian tak beradab di depannya, di depan putra mahkota Ranah Kunto Panalunan, Ranah Tanjung Siarang yang sebentar lagi akan pula menguasai Kota Lembacang Pandak, Ranah Kunto Panalian ini. Sungguh tak tahu diri.
Telunjuk Bujang Selamat terentit-entit, menggigil. Mulutnya ternganga-nganga. Seluruh badannya dibasahi keringat. Tak jelas keringat apa yang keluar menghujan di sekujur tubuhnya. Entah karena berlari kencang sehabis berrtemu Raja Hitam di jamban panjang atau karena cemas terhadap Datuk Tunggal Dagang sekeluarga yang bakal kedatangan tamu tak diundang.
Nafasnya terlihat amat sesak setelah sampai di hadapan keluarga besar rumah godang. Usai bercakap dengan Raja Hitam tadi, ia berlari bagai tak cukup tanah menuju Datuk Tunggal Dagang dan Omin Guntingan yang telah menunggu di rumah godang.
“Anak hamba Bujang Selamat. Kenapa kamu seperti itu?”
“Hamba…hamba…”
“Bujang. Raja dari manakah yang datang? Sultan dari manakah yang telah tiba di jamban panjang kita?” Tanya Datuk Tunggal Dagang.
“Ya. Datang jahat atau datang baikkah dia?” Tanya Omin Guntingan terdengar cemas. Perempuan itu sudah tak sabar ingin mendengar laporan Bujang Selamat. Tapi Bujang Selamat belum bisa juga bicara. Ia kini bagai orang gagap.
“Lamat. Bertenanglah dulu.” Terdengar suara Datuk Tunggal Dagang menenangkan.
Entah berapa lama kemudian barulah Bujang Selamat bisa berbicara.
“Mak Bonsu dan Pak Bonsu. Orang yang datang itu adalah Ra ra ra…”
“Ra apa Bujang?”
“Ra… ra…..”
“Ra..ra ,..…”
“Ra..Ra..apa, Bujang?” suara Omin Guntingan agak menghentak tak sabar.
“Ra.. ra..”
Tidak ada komentar:
Posting Komentar