17
Omin Guntingan dan Datuk Tunggal Dagang berjalan tergesa-gesa menuju rumah godang. Di mata Omin Guntingan dan Tunggal Dagang, beberapa orang yang berpapasan dengan mereka seolah hanya pajangan patung yang tercengang-cengan memperhatikan mereka.
Melihat kedatangan Omin Guntingan dan Datuk Tunggal Dagang, darah Datuk Domiolah dan Datuk Lanang Bisai berdesir. Tergamang darah di dada mereka. Selarut selama ini, adik perempuan mereka, Omin Guntingan dan Datuk Tunggal Dagang sudah lama sekali tak datang ke rumah godang Ranah Kunto Panalian walaupun sesunguhnya Kota Lembacang Pandak dan Ranah Kunto Panalian adalah negeri kembar, di mana pemimpin yang menyelesaikan nan kusut dan menjernihkan yang keruh di Kota Lembacang Pandak adalah Datuk Tunggal Dagang, adik ipar mereka, sedangkan di Ranah Kunto Panalian adalah Datuk Domiolah sendiri yang dibantu Datuk Lanang Bisai.
“Apa gerangan yang terjadi?” Tanya Datuk Domiolah dan Datuk Lanang Bisai dalam hati berdebar-debar.
“Mana adik Omin Guntingan serta adik Tunggal Dagang hamba berhimbau. Hamba pandang kedatangan kalian ini ada hajat penting yang mau disampaikan. Apa yang telah terjadi Kota Lembacang Pandak? Apakah ada ando[1] dapat malu atau ada ranjau kita yang sudah lapuk atau sudah golo[2] pula negeri kita nan godang?” Tanya Datuk Domiolah setelah Omin Guntingan dan Datuk Tunggal Dagang duduk di depannya.
Setelah memperbaiki duduk, sambil berurai airmata, Omin Guntingan pun menumpahkan segala resah dan gelabah yang telah menghimpit mereka selama beberapa hari ini.
“Wahai Kanda Tua dan Kanda Tengah hamba berhimbau. Tak ando yang dapat malu, tak ada pula ranjau yang lapuk, dan tak ada pula golo dondang di laut Kota Lembacang Pandak seperti yang kanda risaukan itu. Adapun hajat kedatangan kami ini adalah menyampaikan pesan Raja Hitam yang baru pulang dari Laut Simpang Empat.”
“Pesan Raja Hitam? Apa hubungannya dengan kita?” gumam Datuk Domiolah dan Datuk Lanang Bisai hampir serempak.
“Kata Raja Hitam, ia kemarin telah bertemu dengan anak kita Malin Bonsu di Laut itu. Menurut cerita Raja Hitam kepada kami berdua, saat ia bertemu Malin Bonsu, anak kita itu sedang sakit merayu demam panjang. Konon, Malin menderita penyakit itu telah begitu lama. Selama Malin Bonsu sakit, menurut pengakuan Raja Hitam, dialah yang telah mengurusnya. Sebagai tanda terima kasih, Malin memberikan ini kepada Raja Hitam…” Omin Guntingan berpaling ke samping, ke arah Datuk Tunggal Dagang yang duduk di sebelahnya. Tanpa disuruh Datuk Tunggal Dagang lalu mengeluarkan sesuatu yang tergulung kain dari dalam penyimpan barang, semacam tas sandang yang terbuat dari daun mengkuang pandan yang dianyam demikian rapi. Omin Guntingan mengambil benda tersebut lalu menyerahkannya kepada Datuk Domiolah.
“Ini keris panjang Malin Bonsu yang dititipkan kepada Raja Hitam. Dan…” Omin Guntingan terdiam sesaat. Datuk Domiolah dan Datuk Lanang Bisai tampak tak sabar mendengar kelanjutan cerita Omin Guntingan. Ia tak mempedulikan benda tergulung kain yang baru saja diterimanya tersebut. Matanya hanya bulat, tak berkedip sedikitpun kepada Omin Guntingan.
“Dan apa?”
Kini perasaan mereka mulai tak karuan. Langit di hati Datuk Domiolah dan Datuk Lanang Bisai telah mulai diliputi awan hitam, segelap warna malam yang perlahan-lahan telah menyungkup Ranah Kunto Panalian.
“Ketika Malin Bonsu hendak meninggal..”
Tidak ada komentar:
Posting Komentar