Sabtu, 16 April 2011

Malin Bonsu karya griven h. putera

31

Hutan di belakang rumah godang amat lebatnya. Tak seorang pun manusia kelihatan lagi mengejar-ngejar Putri Jailan. Kini Putri Jailan menjadi sangat heran. Tubuhnya sangat ringan. Kaki tangannya amat lihai melompat-lompat ke sana kemari. Padahal dulu, ia adalah seorang yang penggamang. Jangankan melompat dari dahan ke dahan, dari ranting ke ranting yang tinggi seperti sekarang, berlari menaiki tangga rumah godang saja badannya agak menggigil. Kini ia bisa berayun-ayun. Bisa berbuai-buai dari akar ke ranting, dari ranting ke batang pohon. Bisa pula berayun di rotan yang berduri. Ia sangat heran, ketika tangannya memegang rotan berduri, sedikitpun tak ada goresan menyayat tangannya. Sungguh menakjubkan. Hmm. Luar biasa. Ia tersenyum dalam kekaguman.
Beberapa ekor binatang dahan seperti dirinya memandang ke arahnya dengan tatapan lain. Tak seekorpun dari mereka yang datang menghampiri. Entah takut atau muak, entahlah. Yang jelas kini ia sudah menjadi penghuni baru hutan itu. Putri Jailan terus meloncat dari dahan ke dahan. Terus menghambur dari pohon ke pohon. Ia ingin secepatnya meninggalkan Kota Lembacang Pandak. Ia tak ingin Raja Hitam dan seluruh hamba rakyat mengejarnya. Ia ingin melupakan negeri itu, melupakan semua yang pernah terukir di sana. Ia akan mengubur segala yang pernah ia takik baik bersama ayah bunda, dengan Kembang Cina maupun dengan Malin Bonsu. Ia ingin pergi. Ingin lari sejauh-jauhnya. Jauh sekali.
Setelah sekian lama menjelajahi hutan yang ditumbuhi aneka kayu-kayan seperti kempas, meranti, suntai, punak, sembaam, tontang, medang, kulim, ramen, kaiyung, keranji, bantunan, sebangko, kelumpang, kemodan, resak, selume, maang, kelat, geunggang, mentangor, putat, kelakap, pelawan, malas, sesondok dan lain-lain, Putri Jailan hendak istirahat di atas kayu di depannya, di pohon idan yang sedang berbuah. Namun ia lihat beberapa ekor binatang dahan yang berbulu seperti tubuhnya sudah berkerumun di sana. Suara mereka memekakkan telinga. Lapar sudah melilit perutnya. Namun melihat gelagat binatang-binatang itu, ia batalkan niat menyinggahi pokok idan yang buahnya sedang memerah itu. Daripada bertarung dengan binatang-binatang itu lebih baik ia berkelahi dengan gelang-gelang atau cacing yang mulai bersiut bunyi di perutnya.
Ia coba mencari pokok idan atau sembarang pohon lain semoga masih ada yang berbuah seperti ini. Tapi sayang, semakin ia menemukan pepohonan berbuah lainnya makin banyak pula binatang berkumpul di sana, bahkan ada yang berkelahi hingga hutan menjadi hingar-bingar. Mereka ribut bagai cina karam.
Kini hari sudah mulai gelap. Celakanya, hujan pun mulai turun dari langit bagai dituangkan. Bukan hanya hujan yang mengamuk, akan tetapi juga angin yang membuat air hujan yang menyimbah menampar muka Putri Jailan seperti jarum-jarum runcing yang mencucuk-cucuk, dan semua itu membuat pohon-pohon bergerak menggila sambil mengeluarkan  suara yang menyeramkan.
Sesekali Putri Jailan memicingkan mata dari tikaman air hujan. Putri Jailan telah terjebak di rimba-gana yang sungguh sangat tak ia kenal. Ia tersaruk-saruk, terhuyung-huyung, terayun-ayun. Kini fokus pikirannya hanya mencari kayu besar yang daunnya rimbun. Ia ingin berteduh secepatnya. Akan tetapi semua kayu besar telah disesaki oleh binatang-bintang hutan pula. Ia tak sanggup berkumpul dengan mereka. Ia takut bakal diganggu. Ia takut celaka. Maklum, selain belum mengerti bahasa mereka, Putri Jailan juga takut keganasan mereka. Apalagi ia teringat tentang kera tunggal yang diceritakan inang pengasuhnya saban kali ia ingin memejamkan mata di anjung tinggi. Kera yang jahat itu bertingkah menakutkan. Dan kalau ia bertemu dengan binatang itu. Sudah jelas, ia akan mati tegak. Mengingat semua itu, rasa takut mulai menyelimuti perasaan Putri Jailan. Ia terus meloncat, melawan angin badai yang terus menerjang. Saat itu badannya sudah basah kuyup.
Kayu-kayan kecil semakin bergerak gila, ranting-rantingnya seperti berubah menjadi tangan-tangan makhluk kecil yang seolah menjangkau, melecut dan bahkan mungkin akan mencekiknya tampa ampun. Dan sudah tak sekali dua, badannya terlambut oleh mereka. Tapi semua itu luput dari pikirannya. Ia harus mencari tempat aman. Ya, harus menyelamatkan diri dari amukan badai di tengah malam yang pekat ini. Kini badan Putri Jailan mulai menggigil kedinginan. (bersambung…)       

Tidak ada komentar:

Posting Komentar