Sabtu, 16 April 2011

Malin Bonsu karya griven h. putera

34

Perempuan berambut panjang itu sudah keluar dari bilik. Walau masih berkipas, kini ia sudah memakai pakaian lengkap.
Raja Bantan kelihatan terperanjat.
“Mandi di laut tengah malam buta begini dinda?”
“Ya.”
Raja Bantan menggeleng. Ia tak percaya pada apa yang sedang terjadi. Tengah malam buta penuh hawa sedingin ini mau mandi?
Raja Bantan merasa makin aneh melihat tingkah ganjil istrinya malam ini. Hatinya mulai bertambah tak sedap. Ia coba menelan air liur. Pahit.
“Dinda Gonto Sari. Kalau dinda ingin mandi di jamban malam ini, timbanglah dulu masak-masak. Dunia sekarang banyak orang tawan-tawanan yang akan membuat kusut rantau nan panjang, nan membuat gaduh negeri godang. Jangan buat susah orang sekampung, dinda,” harap Raja Bantan dengan nada menyimpan rasa khawatir.
 “Kanda. Kalau hamba tak mandi di laut malam ini, rasanya panas ini takkan hilang. Rasanya, panas malam ini membuat serasa mau putus jantung hamba.”
Raja Bantan terpegun. Dua tangan ia julurkan di balik pinggang. Tangan kirinya menggenggam ujung lengan kanan. Berjuta rasa menghimpit batinnya malam ini. Betapa tidak. Bagaimana perasaan seorang suami apabila istrinya tak mau mendengar ucapannya?
Kembang Cina, perempuan yang beprofesi sebagai pelayan Putri Gondan Gonto sari pun sudah berada di samping Putri Gondan Gonto Sari. Ternyata, setelah mendengar percakapan Raja Bantan dan Putri Gondan Gonto Sari tadi ia pun bergegas ke tempat di mana Raja Bantan dan Putri Gondan Gonto Sari saling beradu mulut.
Setelah sekian lama membisu, akhirnya Raja Bantan pun bersuara lagi walau dengan hati berat.
“Kembang. Temani Putri mandi di jamban. Berhati-hatilah…”
Tanpa menjawab, Kembang Cina yang juga merasa malam ini panas bukan kepalang pun mengangguk. Putri Gondan Gonto Sari sangat merasa senang mendengar izin suaminya itu. Sambil tersenyum ia tarik lengan Kembang Cina segera keluar dari rumah godang.
Tak lama kemudian Putri Gondan Gonto Sari dan Kembang Cina pun meninggalkan rumah godang menuju jamban panjang tanpa dikawal seorang hulubalang pun.
Raja Bantan beranjak menuju balai panjang dengan perasaan yang ditenggelamkan rasa aneh dan khawatir yang datang bersesak-sesak di hatinya. Di tengah balai, ia baringkan tubuh. Di bawah selimut tebal ia dekapkan dua tangan di dada.
Tak jauh dari Raja Bantan, Bujang Selamat terlihat sedang duduk bingung. Entah apa yang terkandung dalam pikiran pelayan raja itu.      
Putri Gondan Gonto Sari dan pelayannya  Kembang Cina sudah tercacak di jamban panjang. Ketika ingin menimba air yang segera diguyur ke badan, tiba-tiba saja mata Putri Gondan Gonto Sari melayang jauh ke Pulau Angsa Dua, sebuah pulau yang terletak di seberang Negeri Bantan.
Sofiulah tobatlah alim[1]. Coba engkau tengok cahaya yang memancar dari pulau itu Kembang. Saya rasa itu cahaya intan.”
Kembang Cina terperangah. “Cahaya dari pulau Angsa Dua?”
“Mari masuk segera ke dalam dondang,” perintah Putri Gondan Gonto Sari.
Tanpa menjawab, masih dalam keheranan, Kembang Cina pun  segera meloncat memasuki dendang. Sejenak kemudian, perempuan yang dikenal cepat kaki ringan tangan itu pun mendayung menuju Pulau Angsa Dua.
Di tengah pekatnya dinihari itu, dendang Putri Gondan Gonto Sari terlihat tipis mengiris lautan.





[1] Semacam kalimat Astaghfirullah al ‘azim

Tidak ada komentar:

Posting Komentar