28
Bila kesedihan di hati kian memuncak, tak jarang ia menangis, menguras air mata hingga menjadi kering. Kalau perlu, sampai-sampai ia rela menjadi salah-satu manusia yang tak lagi punya air mata.
Terkadang ia marah dan kesal sekali kepada Malin Bonsu, kepada ibu dan ayah, dan kepada dua orang pamannya. Bahkan hampir pula menggugat penguasa alam. Tapi cepat ia sadar, ia mafhum kalau semua itu sudah diatur yang kuasa, dan semua keperihan ini adalah untuknya. Ia yakin semua ini untuk kebaikannya. Tuhan tak pernah salah niat kepada makhluknya. Tak pernah. Ia ingat selalu kata-kata inang pengasuhnya. Tuhan menimpakan sesuatu kepada manusia bukan untuk Tuhan tapi untuk manusia itu sendiri. Di balik semua peristiwa yang terjadi pada diri manusia pastilah ada hikmah di balik itu. Setelah gelap yang mengepung pasti ada setitik cahaya yang menyerlah. Setelah larut dalam duka, Tuhan tak mungkin membuat duka itu berkepanjangan, pastilah akan ada suka, akan ada tawa dan senyum bahagia, walau itu entah kapan.
Setelah sekian lama larut dalam samudera duka, ia mulai menata hati, ingin melihat matahari esok dengan cara baru. Menatap hari baru dengan sebilah senyum yang dulu selalu menjadi puja-pujian seisi rumah godang. Tapi yang pasti, ia merangkai senyum, menemukan matahari baru itu bukan di sini, bukan di rumah godang kota Lembacang Pandak ini lagi.
Seiring waktu yang terus berlari, Putri Jailan merasa ada sesuatu yang lain telah terjadi pada dirinya, kini ia melihat bulu roma yang tumbuh di lengan dan kakinya telah menjadi bulu-bulu yang agak kasar dan tebal. Kian hari kian tebal. Ia terkejut. Cermin yang telah sekian lama tak ia jenguk ia hampiri. Betapa terperanjatnya ia. Di kaca cermin yang sedikit diselimuti debu terpantul pemandangan lain. Sungguh lain.
Kemana pergi pipi mulusnya yang disebut-sebut, putih melempai licin bak pauh dilayang itu? Di mana hidung tercacaknya yang kata ibunya tumbuh bak dasun tunggal itu? Ke mana rambut hitamnya yang panjang terurai bak mayang terjulur pergi? Kini yang ada hanya bulu-bulu tebal di seluruh muka dan badannya.
Ia usap seluruh tubuhnya. Semuanya telah ditumbuhi bulu-bulu. Kakinya yang halus mulus, yang kata inang pengasuh bagai rumput bento hanyut telah berbulu dan….
Muka Putri Jailan berubah pucat. Semua sumpah dan janjinya kepada Malin Bonsu beberapa bulan yang lalu telah menjadi nyata.
Hmm, siamang? Ya, aku telah menjadi siamang.
***
Sudah tiga hari Datuk Raja Tua, ayah Raja Hitam dan seluruh hamba rakyatnya kembali ke Ranah Kunto Panalunan. Yang tinggal di Kota Lembacang Pandak hanyalah beberapa orang saja lagi.
Sampai saat ini Raja Hitam belum juga bisa bertemu dengan Putri Jailan. Pun, jangankan bertemu, melihatnya saja belum. Kian hari hasrat untuk bertemu dengan istrinya itu kian kuat. Tapi sayang, sejak ia menjejakkan kaki di Kota Lembacang Pandak kira-kira tiga bulan yang lalu sampai saat ini bertemu dan bercengkerama dengan perempuan idamannya itu hanya seperti dalam dongeng, ya, hanya seperti dalam cerita nyanyi panjang. Nyanyian kasihnya kepada Putri Jailan hanya bagaikan laungan burung pungguk merindukan bulan.
Sudah sekian lama ia pendam rasa cinta kepada Putri Jailan dan rasa malu kepada semua orang, terutama rasa ingin selalu bersama Putri Jailan. Kini semua hutang itu harus tunai. Sekarang, hatinya tak sanggup lagi menampung berjuta gejolak rasa yang kian membuncah. Yang paling tak bisa ia tahan adalah hasrat kelelakiannya. Kalau dulu masih bujangan itu tidak mengapa. Tapi kini? Kata orang ia sudah beristri, tapi mana buktinya? Ia nikah bagai pesta dalam mimpi saja. Padahal sudah berapa banyak biaya yang telah habis untuk helat besar kemarin? Sudah tak bisa dibilang seberapa susah hamba rakyatnya dan seluruh masyarakat Kota Lembacang pandak selama helat berlangsung. Tapi semuanya hanya seperti menjadi sia-sia. (Bersambung…)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar