Sabtu, 16 April 2011

Malin Bonsu karya griven h. putera

44

Mendengar suara Raja Bantan menggeletar seolah hendak merubuhkan rumah godang, Malin Bonsu yang tengah makan sirih tanpa perisa, dan sejak tadi terus menundukkan kepala menekuri lantai tiba-tiba mendongak ke atas, lalu pandangannya mengarah kepada Putri Gondan Gonto Sari. Hmm. Benar. Sungguh terang sekali kini, bakal ‘kan kusut rantau panjang, akan gaduh negeri godang.
Malin Bonsu berdiri. Ia ingat segala petuah yang diajarkan ayahnya dan yang diturunkan Datuk Raja Siamang Bonsu. Bersamaan itu, Putri Gondan Gonto Sari pun membuka sila hendak berdiri pula. Melihat Putri Gondan Gonto Sari ingin tegak, Malin Bonsu segera memberi isyarat supaya perempuan itu duduk kembali.
“Mana orang muda hamba berhimbau.” Suara penguasa muda Tanah Bantan kembali menggelegar bagai suara petir di tengah hari. “Turunlah kau segera ke tanah ini. Kau telah mengambil istri hamba. Nak hamba pepat leher kau yang genting. Nak hamba uncah sarang kutu kau!”
Dengan suara tenang tapi tak kalah gagah dari suara yang melaung di pangkal tangga rumah godang itu, Malin Bonsu pun menjawab. “Mana kamu Raja Bantan. Hamba ini bukanlah orang muda. Nama hamba Malin Bonsu. Kalau memang tuan menyuruh hamba turun ke tanah, baiklah. Hamba akan segera turun.”
Malin Bonsu membungkuk, memungut beberapa benda pusaka yang tadi ia letakkan di sampingnya. Keris pendek dan keris panjang ia sisipkan di kain selempang yang melilit pinggang. Jalak jantan tak lupa pula ia sengkelangkan di belakang. Lelaki itu tegak tegap. 
“Putri Gondan Gonto Sari. Tuan tetap sajalah di anjung tinggi ini.  Biar hamba saja yang turun.”
Tanpa menanti jawaban Putri Gondan Gonto Sari, Malin Bonsu berjalan dari anjung tinggi dengan tenang bagai langkah seorang pendekar menuju gelanggang maut. Ia sampai ke bilik dalam. Selejang di bilik dalam lalu beranjak ke seri rumah godang. Tak berapa langkah di seri rumah, ia pun sudah tercacak di muka pintu. Komodan papan yang melintang kira-kira setinggi paha yang terletak antara dua kusen pintu ia langkahkan dengan pelan. Sebelum turun ke tanah, ia edarkan pandang ke bawah.
Dengan mata merah, Raja Bantan ternyata menunggu di pangkal tangga dengan keris bercabut. Keris yang telah keluar dari sarungnya itu seperti hendak mencucuk langit, hendak menghunjam ulu jantung Malin Bonsu.
Malin Bonsu menatap mata merah yang sedang memeram marah, cemburu, kesal dan sakit hati itu. Malin Bonsu mencoba mengukur bayang-bayang. Lelaki berkulit kuning langsat dengan hidung tercacak. Berpakaian kuning dengan tanjak di kepala.  Hmm, lawan yang setanding. Tak lama kemudian hati Malin Bonsu menyungging senyum, lelaki itu telah dibakar nafsu amarah yang tiada terbada-bada. Emosi yang tak terkendali membuat ia lemah. Sungguh lelaki itu amat  mudah ditaklukkan.  
“Mana kamu Raja Bantan. Kalau bisa, beranjaklah engkau agak sedikit. Minta tanahlah hamba sedikit. Hamba hendak turun ke laman luas, hendak mengabulkan hajat yang kamu pinta.”
“Mana kau Malin Bonsu. Butakah mata kau? Tanah yang seluas-luas ini. Bukan hamba yang menepik bumi Olah[1] ini ha.”
Mendengar jawab yang semakin tak sedap seperti itu, terbitlah geram di hati Malin Bonsu  Ia  menghambur ke tengah laman. Baru saja kaki menginjak tanah, sambil mengeluarkan suara melengking, tikam Raja Bantan pun tiba. Sayang, bukan Malin Bonsu namanya, bukan murid Datuk Raja Siamang Bonsu kiranya kalau ia tak bisa menghindari tikaman orang. Apalagi tikaman manusia yang sudah diperbudak nafsu seperti ini. Malin Bonsu melayani tikaman, terajangan dan hentakan Raja Bantan dengan tenang seolah gadis perawan sedang menari. (bersambung)










[1] Allah

Tidak ada komentar:

Posting Komentar