Sabtu, 16 April 2011

Malin Bonsu karya griven h. putera


23

Tak berselang dua hari lamanya, Datuk Domiolah, Datuk Lanang Bisai serta sanak keluarga, kaum kerabat dan hamba rakyat mereka yang tinggal di Ranah Kunto Panalian menyusul ke kota Lembacang Pandak.
Sesampai di Kota Lembacang Pandak, Datuk Domiolah langsung menyuruh Bujang Selamat menggalu atau memukul tabuh larangan, mengumpulkan segala pembesar negeri, memanggil orang banyak. Yang jauh dilayangkan surat, yang dekat dibawakan tepak.
Pagi itu, matahari belum terang benar. Tabuh larangan atau gong pengumuman terdengar nyaring sekali berdengung memasak lubang telinga di seluruh pelosok negeri Kota Lembancang Pandak. Bersahut-sahutan, bersipongang dari hutan ke hutan, dari lembah ke lembah.
Mendengar bunyi tetawak besar itu bergema, suluruh hamba rakyat Kota Lembacang Pandak tersentak. Serta merta mereka tinggalkan semua pekerjaan yang sedang terbengkalai. Mereka berbondong-bondong, berduyun-duyun, tumpah-ruah berhimpun-pepat di laman luas rumah godang. Pikiran dan hati mereka hanya terpusat ke rumah godang saja.
Apa yang telah terjadi di rumah godang? Apakah ada ando dapat malu, atau telah lapuk ranjau di laut atau sudah golokah negeri godang ini? Tanya mereka dalam hati.
Ketika rakyat banyak sudah berkumpul di halaman luas rumah godang. Yang jauh sudah datang, yang dekat telah tiba, maka turunlah Putri Jailan dari atas anjung tinggi sambil berurai airmata sekaligus dengan ratap dan tangis yang menyayat. Ia duduk bersimpuh, berlutut, seolah menyembah-nyembah kepada Datuk Domiolah, Datuk Lanang Bisai, dan kepada ayah-bundanya. Mendengar itu, semua hamba rakyat terdiam. Kini negeri Kota Lembacang Pandak sunyi.  
Kepada Datuk Domiolah, yaitu ayah Malin Bonsu ia menghadap, Putri Jailan menumpahkan segala perih dan pedih hatinya yang telah disayat-sayat sembilu Raja Hitam. Ia berharap, jawaban yang akan diberikan paman tertuanya ini akan menjadi setawar dan sedingin bagi hatinya yang sangat galau.
“Mana Pak Tua hamba berhimbau, beserta ibu dengan bapak sekalian. Hamba berharap sanak-keluarga semua berpikirlah dahulu baik-baik untuk menikahkan hamba dengan Raja Hitam. Apabila hamba dinikahkan dengan Raja Hitam, itu alamat kampung ini akan rusak dan negeri ini akan binasa. Apa sebab sedemikian, tentang kanda Malin Bonsu, sepanjang pengetahuan hamba, beliau belum meninggal. Sudah hamba coba bertilik di air sirih, bertenung di tapak tangan, kanda Malin belum mati, ia masih berlayar di laut luas.”
Tanpa jeda, Datuk Domiolah langsung menyambut, “Mana ananda Putri Jailan hamba berhimbau. Sedang anak disuruh lagi mungkir, apalagi petuah. Kini, lah nyata bukti kenyataannya oleh kita bersama. Keris pendek nanda Malin Bonsu sudah dibawa Raja Hitam ke hadapan kita. Itulah bukti nyata kalau anak hamba, Malin Bonsu sudah meninggal. Tentang kepada kusut rantau panjang, gaduh negeri godang oleh Raja Hitam, itu terserah. Yang jelas, ananda segera nikah dengan Raja Hitam.”
Putri Jailan terlolong, ia tatap pamannya itu dengan pandangan tak percaya. Mendapat tatapan yang serupa itu, Datuk Domiolah hanya diam membisu. Putri Jailan menunduk, seolah mengumpulkan puing-puing asa yang sudah berserakan. Tak lama demikian, kembali ia tatap pamannya itu lekat-lekat dengan air mata yang sudah turun bak mata air di kaki gunung. Setelah ditatapnya tak berkedip, Putri Jailan melihat, bahwa orangtua itu tak berganjak dari keputusannya. Melihat tak ada harapan yang terpancar dari mata tua itu, ia alih pandang  pula ke arah Datuk Lanang Bisai yang duduk bersila di samping Datuk Domiolah, ia berharap paman tengahnya ini punya pendapat lain, pernyataan yang akan membuat ia bertahan untuk Malin Bonsu. Tapi setelah ia tilik baik-baik ternyata mata tua yang satu ini sama saja dengan paman tuanya tadi. Lalu ia lempar pula pandangan kepada ayahnya. Ternyata ayahnya pun telah bersikap tiada beda. Mereka seolah tak dapat berbuat apa-apa. Melihat tak ada lagi setitik harap tempat berlindung, tak ada lagi akar tempat bersila, tak ada lagi dahan tempat bergantung, tak ada lagi rimbun daun tempat ia berteduh, Putri Jailan pun berlari ke anjung tinggi. Omin Guntingan dan Kembang Cina yang merasakan betul pedihnya rasa hati Putri Jailan segera menyusul. Sayang, pintu anjung sudah ditutup dan dikunci dari dalam. Putri Jailan telah menutup pintu rapat-rapat, mengunci pintu anjung kuat-kuat. Kuat sekali. Ya, serapat dan sekuat hatinya yang tak pernah sudi dipersunting Raja Hitam.
***





Tidak ada komentar:

Posting Komentar