37
“Bagaimana Mak Bonsu?”
Pertanyaan Kembang Cina itu hanya dijawab debur ombak yang terdengar menghempas pantai, menghempaskan sejumlah asa dan harapan yang bertimbun dan menggayut serta berayun-ayun di hati dan pikiran Putri Gondan Gonto Sari.
Putri Gondan Gonto Sari benar-benar telah melewatkan segalanya begitu saja, bahkan ia telah lupa pada Raja Bantan, lelaki yang baru tiga hari menikahinya. Ia telah lupa pada hari-hari indah yang mereka rajut bersama. Senyum Raja Bantan yang dulu manis bukan main kini telah menjadi tawar. Kelembutan Raja Bantan yang selalu diharap banyak dara jelita kini tiada berharga lagi di hatinya. Benang kasih aneka warna yang telah mereka sulam bersama di selendang rumah tangga, kini perlahan ia biarkan lapuk. Bahkan kini ia berharap semoga cindai pernikahan itu secepatnya terkoyak-moyak. Apa guna mempertahankan sesuatu yang ‘kan segera terbang ditiup angin?
Cinta kasihnya pada Raja Bantan ternyata hanya bagai debu di pantai, bila angin bertiup ia akan segera hilang, terbang dan melayang entah akan kemana. Ya, kebersamaan dalam kemesraan yang telah mereka rakit sama juga bagai mengukir istana harapan di pasir pantai. Saat ombak melindas, jejaknya segera hilang, dan jika saatnya tiba, semua itu bakal terkikis habis dihapus gelombang.
Putri Gondan Gonto Sari tertegun memikirkan apa yang mesti dibuat. Ia pandang roman muka lelaki di depannya. Lelaki elok bukan alang kepalang. Selilit Pulau Perca, selingkung Tanah Lembata yang pernah ditemuinya tak ada tolok bandingannya. Lelaki ini mati bagai kanak-kanak tidur saja.
Semakin lama wajah lelaki asing itu ia pandang, semakin bergetar seluruh tubuhnya. Semakin timbul hawa panas dingin yang menggelegak dalam dirinya. Apalagi ketika pandangannya tertumbuk di dada yang telah dijilat panau. Panau itu di matanya telah menjadi sangat indah dan menggetarkan seolah kilau bunga kiambang ketika ditimpa matahari pagi.
Sayang, keindahan itu hanya tinggal kenangan. Lelaki yang telah membuat segalanya menjadi hambar itu benar-benar telah menghembuskan nafas terakhir. Tak terdengar lagi denyut detak di jantungnya, tak terasa lagi denyar urat nadinya. Tubuhnya pun telah kaku dan menjadi dingin seluruhnya. Akan tetapi masih ada satu yang masih tersisa, bayangan panau itu masih terang mencawang ke langit. Apakah cahaya itu masih menyisakan harapan?
Putri Gondan Gonto Sari terpejam. Tarikan nafasnya disambut suara pecahan ombak besar yang bergulung tak jauh dari tempatnya berdiri.
“Bagaimana Mak Bonsu?”
Pelan-pelan Putri Gondan Gonto Sari membuka kedua mata. Ia alihkan pandangan kepada Kembang Cina. Kini barulah ia sadar, ternyata ia sedang tidak sendiri. Kembang Cina masih setia bersamanya. Masih mau mendengar laungan suara hatinya.
Memandang dan mendengar suara inang pelayannya itu ia menjadi sedikit tenang. Gelap yang sekian lama menyungkup hatinya sedikit tersibak terang. Ia dekati Kembang Cina.
“Mari kita bawa ke dalam dondang.”
Dengan susah payah, Putri Gondan Gonto Sari dan Kembang Cina menarik tubuh asing itu. Putri Gondan Gonto Sari menarik lengan kanan di dekat ketiak lelaki itu, sedangkan Kembang Cina di sebelah kiri. Timbul juga rasa kasihan melihat lelaki itu ditarik-tarik sedemikian rupa. Tapi apa lagi yang mesti dilakukan? Kalau dipapah atau digendong sungguh sangat tak mungkin. Badannya yang tipis dan tiada bertenaga tentu tak akan sanggup menggendong lelaki tegap tinggi besar itu. Berharap Kembang Cina yang akan memikul, menggendong atau mendukungnya juga tak mungkin karena badan Kembang Cina hanya sedikit lebih berisi bila dibandingkan dengannya.
Bila penat telah mendera, mereka pun behenti sejenak. Selama berehat, tak bosan-bosannya Putri Gondan Gonto Sari memandang lekat-lekat cahaya panau yang berkilau di dada lelaki asing itu. Dan selama menghela tubuh lelaki itu, getar-getar dawai hati tak henti-hentinya berdenting di dadanya. (Bersambung)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar