49
Kersis pendek pusaka Kerajaan Bantan patah tujuh.
Melihat nasib dua kerisnya telah patah dan tak mampu membela, Raja Bantan termenung. Lelaki itu tertegun. Badan serasa lumpuh.
Sementara hulubalang yang tadi geram dan telah beberapa kali hendak menghambur dan menghajar Malin Bonsu mulai merinding dan ingin sesegera mungkin melarikan diri. Bulu romanya tegak karena takut yang sangat. Badannya terasa panas dingin bagai orang demam. Pun, beberapa orang hulubalang yang tadi geram dan telah memegang gagang keris tampak menggigil karena ngeri. Sedangkan menteri yang paling tua yang sudah beberapa kali menegah hulubalang yang geram, tetap seperti tadi. Dua tangannya masih bersimpai mendekap dada dengan mata tajam tertuju ke tengah laman.
Malin Bonsu membuka langkah. Tangannya bergerak-gerak gemulai, berbunga-bunga.
Setelah sekian lama bergerak bagai orang menari, lelaki itu menghambur ke ujung laman. Sejenak ia hentikan langkah. Berdiri tegap memandang tajam Raja Bantan.
“Raja Bantan. Sekiranya keris tuan itu dibeli, sungguh butalah mata tuan. Tuan rupanya terbeli keris yang retak. Kalau sekiranya keris tuan itu harta pinjaman, gololah tuan karena hutang. Dan kalau sekira keris itu harta pusaka, rugilah tuan, karena tuan sendiri yang telah menghabiskannya.”
Raja Bantan tak berbunyi. Ia masih tertegun bagai patung batu.
Malin Bonsu teringat amanat dan petuah Datuk Raja Siamang Bonsu.
Setelah tenang, ia pun membuka langkah lagi. Selejang melangkah, bersilat seolah orang menari, ia pun berhenti. Ia tegak tegap lurus dengan langit.
“Mana Tuan Raja Bantan, kini sambut pula gayung hamba.” Malin Bonsu mencabut keris panjang yang terselip di kain samping.
“Raja Bantan. Perlu kau ingat, gayung hamba ini gayung bernama. Tiga buah namanya. Pertama si carik kafan, kedua si untung sudah, ketiga si ajal maut. Indak sekali kau ajal, kau maut juga. Tak kali kau maut, kau ‘kan ajal juga.”
“Inilah gayung Datuk Raja Siamang Bonsu. “
Malin Bonsu menghambur ke hadapan Raja Bantan. Digedobik sebelah kanan, mata terkijap sebelah kanan. Digedobik sebelah kiri, mata terkijap sebelah kiri.
“Terimalah. Hap!”
Keris panjang Malin Bonsu tepat menghunjam tepat sesudu hati Raja Bantan. Keris pusaka itu menduri pandan ke sebalik.
Muka Raja Bantan terkucam. Perih. Keris itu menembus ulu hatinya. Pandangan seketika menjadi hitam. Dadanya sesak. Dunia gelap. Tapi ia coba tenangkan pikiran dan tahan rasa pedih itu kuat-kuat.
Setelah sedikit tenang, mulutnya komat-kamit membaca mantra. Mantra putus, tampar singgah di tempat luka.
Sebagai orang terbilang juga, paut luka kena tikam Malin Bonsu bertaup kembali.
Sementara Malin Bonsu, setelah mencabut keris dari sesudu hati Raja Bantan, ia menghambur lagi ke ujung laman.
“Mana kamu Raja Bantan. Hamba rasa tikam tadi tikam mengena. Mengontak di pangkal lengan, menggelonye di pangkal jari.”
“Mana kau Malin Bonsu. Tuah telah kau himbau, tikam kau tikam mengena. Kalau sekira mengena tikam kau, mana daging hamba yang berkuak, mana tulang hamba yang mencung, mana darah hamba yang meleing.”
Malin Bonsu tersenyum. Jelas sekali, kata-kata yang keluar dari mulut lelaki itu suara orang yang sedang menahan perih akibat luka yang dalam.
“Baiklah Raja Bantan. Tikam hamba tidak mengena. Walaupun begitu, coba berjalan kemari. Jalang hamba kemari.” (bersambung)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar