45
Raja Bantan mengamuk bagai kerbau gila.
Hari yang tadi sudah mulai terang lalat kembali gelap. Awan hitam tiba-tiba berarak hendak menyelimuti rumah godang. Angin pun mulai menderu-deru. Ternyata segala akuan atau sahabat gaib dari dua anak muda bertuah ini juga sedang bertempur dahsyat tapi tak tampak oleh mata orang kebanyakan. Angin yang menampar kayu-kayan yang melenggok-lenggok hingga terdengar lepuk-lepak dan bertumbangan di belakang rumah godang adalah akibat pukulan gaib dari para akuan dua anak muda yang hebat ini. Pun, gelombang yang bergulung-gulung di laut, tepatnya di depan jamban panjang juga merupakan akibat dari pertempuran para puaka laut, sahabat laut dari mereka masing-masing.
Melihat hari bagai akan kiamat, hamba rakyat Tanah Bantan yang tadi sudah banyak berhimpun-pepat menyaksikan pertempuran dahsyat antara Raja mereka dengan lelaki asing itu segera melarikan diri ke rumah masing-masing.
Pertempuran semakin seru. Tikam kiri, Malin Bonsu ke kanan. Tikam ke kanan, Malin Bonsu mengelak ke kiri. Tikam bawah, Malin Bonsu meloncat ke atas, tikam di atas disurukkannya. Merasa tikamannya terbuang percuma, Raja Bantan tak patah arang. Penat mengarahkan tikam ke perut, ia tukar pegangan, seolah menggayung, ia coba arahkan ujung pisau ke dada Malin Bonsu. Tak berhasil menggayung, ia coba pula memepat pinggang Malin Bonsu dengan pisau tetap tergenggam. Letih memepat, ia coba pula menumbuk. Sayang, semua itu tetap tak menghasilkan apa-apa. Ia terus menikam, menerajang, dan menyembat kaki pendekar dari Ranah Kunto Panalian, Kota Lembacang Pandak itu dengan membabi-buta. Makin lama tikaman, terajangan, sembatannya makin tak teratur. Lelaki itu semakin panik. Keringat sudah menyimbah membasahi bajunya. Keningnya makin berkilat-kilat. Sudah berjam-jam lamanya ia hanya menikam angin.
Tujuh orang hulubalang bagak Tanah Bantan geram, mereka ingin segera maju menerajang, tapi cepat ditegah oleh para menteri. “Tuan dubalang. Raja kita belum perlu bantuan.”
“Tapi tuan menteri?”
“Apa kalian tak tahu sifat raja kita?”
“Dia sangat marah kalau kita melakukan sesuatu yang tak diperintahkannya.”
“Tapi nyawa raja kita terancam bahaya, Tuan Monti.”
“Siapa cakap begitu? Kalau orang asing itu mau membunuhnya, sudah sejak tadi bisa ia lakukan. Sebagai dubalang hebat, tak terlihatkah oleh kalian?”
Para hulubalang mengangguk-angguk balam.
Hati Raja Bantan bertambah sakit. Malin Bonsu seolah mempermainkannya. Tak satu kali pun lelaki yang telah mencuri hati istrinya itu menyerangnya. Saban kali ia menikamkan keris ke tubuh lelaki asing itu, saban kali pula lelaki itu tersenyum sambil sesekali pula menangkap pergelangan tangannya. Setelah ia terkial-kial hendak melepaskan, dengan senyum pula lelaki asing ini melepaskannya. Lalu lelaki asing itu membuka langkah sambil menggerak-gerakkan tangan dan menghentakkan kaki berputar-putar seolah gerak tarian perawan sehabis mandi. Merasa dipermainkan seperti itu, semakin menggelegaklah darah di dada Raja Bantan.
Melihat marah Raja Bantan kian membara, senyum di bibir Malin Bonsu kian merekah. Umpan sudah mengena. Pancingan Malin Bonsu yang terus berusaha membangkitkan kemarahan Raja Bantan berhasil sudah. Semakin bertambah hebat marah yang menjalar di sekujur tubuh Raja Bantan, semakin lemahlah ia.
Sebetulnya, kalau Malin Bonsu mau, sudah sejak tadi Raja Bantan ia gulingkan. Tapi ia tak tega menjatuhkan muka lelaki itu di depan hulubalang, menteri dan hamba rakyat Negeri Bantan dalam sekejap. Ia ingin lelaki itu masih merasa kuat. Ia biarkan lelaki itu sadar sendiri dan mengakui kekalahannya sebelum darah tertumpah. Sehingga setiap kali lelaki itu menikam tubuhnya, menerajang, menyembat kakinya, ia hanya mengelak dan menghindar saja sambil sesekali memperolok-olokkannya. (bersambung)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar