16
Datuk Tunggal Dagang dan istrinya Omin Guntingan baru saja merapat di Ranah Kunto Panalian.
Laut Embun petang itu bergelombang. Deburannya sesekali berderak menerpa beberapa buah dendang yang merapat di jamban panjang. Pun, akibat angin yang bertiup cukup kencang dari arah laut memaksa dendang yang digunakan Datuk Tunggal Dagang dan istrinya terantuk di salah-satu tiang jamban. Beberapa saat, dendang oleng ke kiri dan kanan. Hampir saja Omin Guntingan tercampak ke laut kalau saja ia tidak cepat-cepat duduk dan memegang kuat-kuat ubing dendang. Hampir saja petang itu ia mandi tanpa sengaja. Dan tentu saja, seribu kata yang berjura-jurai akan keluar dari omelan Omin Guntingan akan menghiasi petang itu.
Di sebelah hilir dan hulu jamban panjang Datuk Domiolah ini masih terlihat beberapa orang perempuan separuh baya dan gadis-gadis remaja asik mandi memakai kain basahan, kain sarung yang dikenakan sampai di ketiak. Mereka berkecimpung sambil menikmati cahaya matahari yang telah berwarna merah jingga, hampir seperti warna mata sembab anak perawan sehabis menangis. Matahari yang segera lelap ditimbun laut embun. Matahari yang selalu datang dengan ketulusan, kepolosan; menerangi semesta tanpa minta apa-apa, tanpa tujuan apa-apa, tanpa intrik apa-apa. Ya, tanpa membawa dan mengangkut segulung keinginan dan harapan akan sesuatu yang berarti dan bernilai bagi masa depan. Matahari yang tak pernah tenggelam dalam kubangan masa lampau dan tak cemas akan gunung kebahagiaan yang mungkin segera menjulang di masa dating. Matahari tak seperti manusia yang sebagian mereka hanya sibuk, bahkan mungkin terlampau sibuk membawa hati dan pikiran untuk sebuah tujuan bagi dirinya sendiri, ya, untuk menyenangkan diri pribadi, keluarga, kelompok, puak dan bangsanya sendiri walau terkadang harus melukai orang lain. Bahkan sampai-sampai malah melukai makhluk lain.
Ya, setidaknya seperti yang telah dilakukan Raja Hitam yang ingin merampas Putri Jailan dari Malin Bonsu, dari Datuk Tunggal Dagang sekeluarga, juga dari hamba rakyat Ranah Kunto Panalian, Kota Lembacang Pandak. Dan matahari juga tak seperti Datuk Tunggal Dagang dan istrinya yang datang di saat petang membayang senja ini. Mereka datang dengan wajah teramat kusut karena telah dipaksa susah hati oleh Raja Hitam yang akan membuat gaduh negeri Kunto Panalian, Kota Lembacang Pandak. Tak ada kata yang keluar dari mulut sepasang suami istri ini selama berlayar dari Kota Lembacang Pandak hingga sampai ke sini. Kening mereka selalu berkerut. Mereka hanya sibuk dilarutkan oleh kecemasan demi kecemasan, kekhawatiran demi kekhawatiran akan nasib Putri Jailan. Anak perempuan mereka yang akan dipersunting oleh Raja Hitam. Sibuk memikirkan nasib mereka dan nasib negeri besar Kota Lembacang Pandak, Ranah Kunto Panalian di masa depan.
Beberapa hari terakhir ini, terutama sesudah bertemu Raja Hitam tempo hari, mereka tak dapat lagi berpikir lain. Mereka susah tidur. Dalam tempurung kepala mereka yang sangat besar, yang sebenarnya melebihi luas dan besarnya langit dan bumi itu hanya ada Putri Jailan, Malin Bonsu dan wajah buruk Raja Hitam yang bertimbun, bersesak-sesak. Sungguh ternyata harapan terkadang membuat orang tidak lagi merdeka, tidak lagi dapat melihat bentangan langit yang gagah dan putih berseri, tak dapat lagi menikmati indah dan eloknya petang di laut di kala waktu menghampiri senja sambil menyaksikan sekumpulan burung bersuara gaduh bersiut bunyi yang terbang dari lautan ke darat, ke balik hutan yang semula hijau dan perlahan telah berangsur gelap.
Datuk Tunggal Dagang menyuruh Bujang Selamat cepat-cepat mengikat tali dendang. Ia ingin selekas mungkin menemui Datuk Domiolah dan Datuk Lanang Bisai di rumah godang. Ia ingin secepatnya membagi resah dan gelisah yang kini sudah mulai penuh sesak, berjejal-jejal, tumpat-padat di kepala dan dadanya. Ia berharap rasa khawatir dan cemas ini sedikit tawar setelah bertemu Datuk Domiolah dan Datuk Lanang Bisai.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar