35
Dalam lebam malam yang aneh dan asing, Putri Gondan Gonto Sari dan Kembang Cina, si pelayan setianya menerobos lautan kelam.
Saat ini, di segala hala dan makana[1] hanya hitam yang mengepung. Langit hitam, bumi hitam, laut hitam. Semuanya hanya hitam kecuali satu titik cahaya yang terang memancar hampir menyapu pucuk awan.
Selama mengarungi lautan, deru angin dan ombak yang selalu bertabrakan seolah tak dirasakan Putri Gondan Gonto Sari dan Kembang Cina. Dendang melaju bagai sampan layar nelayan ditiup angin menuju ke pantai sehabis pasang.
Mereka lupa, ini tengah malam di lautan. Pada saat begini, segala kemungkinan bisa saja terjadi. Apa yang tak tersimpan di perut laut? Apa yang tak terperam di bakul samudera? Hantu laut, naga laut, mambang laut, orang bunyian dan sejumlah penunggu laut selalu bermastautin dan bermain di sana kata orang tua-tua. Tapi malam ini, karena rasa takjub telah mengguncang batin, rasa ingin tahu telah menguasai seisi tempurung hati dan kepala, maka semuanya tiba-tiba menjadi sirna. Tak ada takut, tak ada khawatir, tak ada cemas. Yang tinggal di palung diri Putri Gondan Gonto Sari dan Kembang Cina cuma minta jawaban atas ketakjuban dan keingintahuan akan cahaya!
Dalam pikiran Putri Gondan Gonto Sari dan Kembang Cina hanya satu; benda apa yang sinarnya telah menguas kanfas langit nan kelam? Cahaya dari makhluk apa yang mampu menjahit kain kelam malam dengan benang cahaya yang terang benderang?
Kembang Cina mengayuh dendang bagai orang kerasukan setan. Sementara Putri Gondan Gonto Sari diam terpaku memegang ubing dendang dengan mata tak berkedip terus tertikam ke arah sumber cahaya.
Setelah sekian lama mengarungi lautan, dendang Putri Gondan Gonto Sari sudah tersadai di Pulau Angsa Dua.
Seperti antara sadar dan tidak, Putri Gondan Gonto Sari langsung menghambur setelah mulut dendang tersadai di pantai. Perempuan itu langsung berlari menuju sumber cahaya yang ditakjubinya. Putri Gondan Gonto Sari berlari sambil menyingsingkan kain hampir ke lutut. Sesekali, tanpa sadar, limpahan gelombang yang telah pecah saat menghempas pantai, menjilat betis putihnya yang serupa rumput bento hanyut. Sayang, semua itu luput dari perhatiannya.
Walaupun Putri Gondan Gonto Sari berlari begitu tergesa-gesa, ternyata Kembang Cina lebih mendahului langkah Putri Gondan Gonto Sari. .
“Sofiulah tobatlah alim. Bukan buku intan yang bercahaya ini. Ini manusia rupanya.”
Di belakang Kembang Cina, Putri Gondan Gonto Sari diam terpana. Matanya tak berkijap memandang ke arah sumber cahaya. Suara yang baru keluar dari mulut Kembang Cina bagai deru angin saja. Tak satu kalimat pun mampu keluar dari mulutnya. Semua kata-kata telah terkunci di penjara rasa keterkejutan dan kekaguman yang luar biasa.
Apakah ini memang manusia? Suara hatinya keras bertanya-tanya.
“Mak Bonsu.”
“Mak Bonsu?”
Putri Gondan Gonto Sari masih terpegun bagai patung. Mata indahnya tak lintar, tak berkedip sedikit pun ke dada Malin Bonsu.
“Mak Bonsu?”
Dipanggil tiga kali tidak menyahut, Kembang Cina pun menggugah-gugah bahu Putri Gondan Gonto Sari. Kembang Cina lupa kalau perbuatannya itu tidaklah sopan. Tidak beradab dan beradat. Tidak patut dan layak bagi seorang pelayan memperlakukan tuannya sedemikian rupa. Tapi rasa cemas telah merasuki hatinya, rasa khawatir telah menenggelamkan rumah hatinya, kalau-kalau Putri Gondan Gonto Sari telah terkena tetemas[2]. Kalau kekhawatirannya ini benar, maka siapa lagi yang kena getahnya? Tentulah ia yang akan kena semprot oleh Raja Bantan. Kalau itu terjadi, maka akan gaduhlah negeri besar Tanah Bantan. (Bersambung)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar