15
“Apa bunyi pesannya itu?” Tanya Datuk Tunggal Dagang tak sabar.
“Hamba dan Malin Bonsu berjumpa di Laut Simpang Empat. Kami bertemu di sana ketika hamba lihat dendang Malin Bonsu bertambat. Hamba pergi ke situ. Setelah hamba tengok ke dalam dendang, Malin Bonsu rupanya sedang berbaring, ia sakit merayu demam panjang. Lama hamba merawatnya di sana. Karena lamanya dia sakit, akhirnya ia pun berpesan dan beramanat supaya Putri Jailan dinikahkan dengan hamba…”
“Dinikahkan denganmu?” potong Omin Guntingan dan Datuk Tunggal Dagang hampir serentak.
“Ya, Pak Bonsu.”
“Hmm. Tak mungkin!”
“Jaga lidah busukmu itu Raja Hitam!” bentak Omin Guntingan.
“Adik Omin. Bersabarlah. Dengar dulu kabar dari Raja Hitam ini.”
“Mendengar kabar memongak[1]?” gerutu Omin Guntingan dengan muka cemberut.
Datuk Tunggal Dagang memandang tajam ke arah Omin Guntingan. Dari sorot tajam matanya, jelas benar sinar yang memancar dari mata elang tua itu menyiratkan perintah supaya Omin Guntingan segera diam. Omin Guntingan menunduk. Ia hapal benar akibat yang timbul dari menantang kilau sinar mata itu.
“Lanjutkan Raja Hitam.”
“Setelah cakap Malin habis, dia pun meninggal…”
“Meninggal?” Datuk Tunggal Dagang menggeleng. Sementara Omin Guntingan tampak mencibir. Sekali ini Datuk Tunggal Dagang tidak lagi melarang istrinya untuk bicara, dan merutuk-rutuk sendiri.
“Kini Malin Bonsu sudah mati di Laut Simpang Empat.”
Omin Guntingan makin menyunggingkan senyum mengejek.
“Pak Bonsu. Itulah amanatnya kepada hamba. Kalau mingkak[2] tidak percaya, inilah tanda dia berpesan.” Raja Hitam pun mencabut keris di pinggangnya lalu ia serahkan kepada Datuk Tunggal Dagang. “Ini keris pendek Malin Bonsu, diberikannya kepada hamba sebagai tanda dia suka hati. Tanda ia menyuruh hamba menikah dengan Putri Jailan.”
Mata Datuk Tunggal Dagang terbeliak ketika menerima senjata itu. Ia lihat keris tersebut baik-baik, mulai dari gagang hingga ke ujung.
Mulut Datuk Tunggal Dagang terkunci bagai burung bayan tergigit besi ketika menyadari bahwa keris ini memang keris Malin Bonsu. Omin Guntingan yang duduk bertindih paha dengan Datuk Tunggal Dagang pun begitu pula. Senyum cemeeh yang tadi tiada pernah berhenti tersungging di bibirnya hilang seketika. Muka Datuk Tunggal Dagang dan Omin Guntingan berubah pucat. Mereka termenung tak tentu arah. Dua suami istri itu tidak berbunyi-bunyi lagi. Awalnya, berita yang dibawa Raja Hitam ini mereka anggap bagai kicau burung murai saja, yang kebenarannya perlu diuji. Akan tetapi keris ini, keris pendek Malin Bonsu ini, bukankah itu jawabannya? Mereka tahu betul, itu adalah keris Malin Bonsu.
Rasanya tak mungkin Malin meninggal. Tak mungkin Malin sakit. Tak mungkin mereka berjumpa. Tapi setelah dilihat keris yang dibawa Raja Hitam, jelas sekali kalau itu memang keris Malin Bonsu.
Melihat keris itu, datang pula keyakinan mereka dalam hati. Akan tetapi?
Datuk Tunggal Dagang dan Omin Guntingan terhempas dihantam keraguan dan kecemasan.
Setelah sekian lama hening, Datuk Domiolah kembali menyerahkan keris itu kepada Raja Hitam.
“Mana kamu Raja Hitam. Kalau begitu pesan Malin kepadamu, baiklah. Semua itu sudah kami dengar. Sekarang baliklah kamu dulu. Tengoklah negerimu. Kami hendak menemui kanda Domiolah lebih dahulu di Ranah Kunto Panalian,” kata Datuk Tunggal Dagang.
“Mana Pak Bonsu dan Mak Bonsu hamba berhimbau. Kalau mingkak tidak percaya. Kalau hamba dianggap pemongak, bahwa ini bukan keris Malin Bonsu, hamba tahan disumpah.”
Lalu Raja Hitam menghimbau Putri Jailan.
“Mana kamu Putri Jailan. Turunlah segera dari anjung tinggi. Hamba membawa pesan dari Malin Bonsu yang kini sudah mati. Dia berpesan kepada hamba supaya segera menikahimu sebagai penggantinya.”
Mendengar Raja Hitam memanggil Putri Jailan, rasa muak kepada Raja Hitam kian bertambah-tambah di dada Datuk Tunggal Dagang. Apalagi Omin Guntingan. Mereka berharap sekali lelaki muda tak tahu budi bahasa ini berhambus secepatnya dari rumah mereka. Tapi mereka coba menahan gejolak di dada yang mau tumpah itu. Mereka sadar, kalau muda tidak muda lagi. Orang tua itu menahan ragam.
“Mana Kamu Raja Hitam. Kamu menyombong, kamu pemongak[3]. Tak mungkin liau[4] meninggal. Kalau meninggal, kenapa tak kamu bawa segala senjatanya, keris panjang dan jalak jantan yang ia miliki? Yang kamu bawa baru sebilah keris pendek. Kamu ini pembohong. Tentang hamba?” Putri Jailan terdiam sejenak.
“Ciss, daripada berlaki kau, lebih baik aku mati.”
“Putri Jailan. Pikir-pikirlah dahulu. Hamba hanya menyampaikan pesan Malin Bonsu.”
“Mana kamu Raja Hitam. Tak guna kamu bertengkar dan berbantah. Eloklah kamu balik dahulu. Kami mau pergi ke Ranah Kunto Panalian, menemui kanda tua kami, Datuk Domiolah dan kanda Lanang Bisai,” kata Datuk Domiolah menggigil menahan marah yang hamper pecah.
“Pak Bonsu hamba berhimbau. Kalau itu kata anje baiklah, hamba akan balik dulu, hamba balik tak ‘kan lama. Dua atau tiga hari ini akan kemari lagi.”
Datuk Domiolah tak berbunyi. Wajahnya keruh. Hatinya muak sangat melihat anak Raja Tua itu.
***
Tidak ada komentar:
Posting Komentar