Sabtu, 16 April 2011

Malin Bonsu karya griven h. putera


20

“Tapi kanda, perlu dinda kabarkan bahwa anak kita Putri Jailan tak mau nikah dengan Raja Hitam. Sepanjang pendapat dia, ananda Malin belum meninggal,” jelas Omin Guntingan. Kini Omin Guntingan sudah mampu berkata walau kesedihan masih menyelimuti hatinya. Ia tak ingin pemuda berambut keriting, berkulit hitam legam dengan gigi berkarat dan tak tahu budi bahasa itu mempersunting anak gadis semata wayangnya. Sungguh ia tak sudi.
Datuk Tunggal Dagang mengarahkan pandang ke samping, ke arah Datuk Lanang Bisai. Datuk Lanang Bisai menyambut pandangan abang tertuanya itu dengan tatapan kosong. Sekali ini ia tak mampu memberi satu kata apapun. Ia masih tenggelam dengan kepedihan yang menjalar di sekujur hatinya.
Melihat tak ada usul pendapat dari adiknya yang selama ini terkenal arif lagi bijaksana ini, akhirnya Datuk Lanang Bisai sendiri yang memutuskan.
“Kalau tidak kita perturutkan kata Raja Hitam tersebut, rasanya kita juga yang salah karena tanda sudah dibawa, keris pendek Malin Bonsu sudah diperlihatkannya kepada kita. Hmm..Sekarang adik berdua pulanglah, nanti kami akan mengikuti kalian dari belakang. Kalau tak ada aral, akan kita buka helat besar secepatnya di Kota Lembacang Pandak.”
 “Membuka helat secepatnya?” mata Omin Guntingan terbeliak. Terdengar ucapan Omin Guntingan tak sudi. Kini ia mulai marah dan kecewa. Marah kepada Raja Hitam dan kecewa kepada Datuk Domiolah dan Datuk Lanang Bisai.
Seketika wajah buruk Raja Hitam memenuhi pandangannya. Kini wajah sedih yang sejak beberapa hari ini mengganggunya telah hilang. Yang ada hanya marah dan kecewa. Yang tersisa hanya kebencian dan kekesalan. Kini ia tak merasa sedih lagi walau seujung kuku. Sungguh tidak sedih lagi. Yang timbul kini hanya kebencian yang membara dan kesal yang tak terbada-bada[1]. Kini perempuan itu mulai menabung kebencian demi kebencian di danau hatinya yang sudah semakin keruh akibat guyuran hujan kejahatan yang tumpah dari bejana kejahatan Raja Hitam beberapa hari yang lalu.
Sesungguhnya, ia datang ke sini, ke Ranah Kunto Panalian ini hendak mencari tempat bergantung, menjadi aur bagi tebing. Akan tetapi, yang ia dapatkan hanyalah sebuah kekecewaan dan kekesalan. Sikap kedua abang kandungnya hanya seperti sikap para pecundang yang tertawan di medan perang, serupa serdadu dalam tahanan. Tak lebih dari itu. Sungguh tak lebih. Yang ia temukan di sini, di Ranah Kunto Panalian ini hanya orang-orang yang telah patah semangat. Orang-orang yang di matanya telah mati sebelum mati.
Datuk Domiolah, seorang yang pernah menjadi buah bibir tanah Perca semasa muda dulu tentang keperkasaan dan kehebatannya ternyata tinggal cerita. Nama besar lelaki itu ternyata tinggal kenangan. Lelaki itu telah menyerah. Sedang Datuk Lanang Bisai apa pula bedanya? Kini ia hanya bagai ayam lapar yang tercebur ke dalam air saja. Menunggu kapan matahari muncul dari langit supaya kepaknya segera kering.
Akan tetapi, di depan dua orang kandanya ini, Omin Guntingan tak mau memperlihatkan puncak kemarahan itu. Ia masih bertenang. Ia berharap, dalam dua hari ini, sebelum mereka berkumpul di Kota Lembacang Pandak, Datuk Domiolah dan Datuk Lanang Bisai kembali menemukan diri mereka yang dulu. Mereka yang tak pernah mengenal lurah dan pematang. Yang tak pernah membunuh harimau dalam diri mereka yang selalu mengaum dan siap memangsa siapa saja yang telah melakukan kejahatan di muka bumi. Lelaki-lelaki gagah yang selalu menegakkan keadilan dan kebenaran walau bertaruh nyawa sekalipun. Dua orang muda dari Ranah Kunto Panalian, Kota Lembacang Pandak yang gagah perkasa, yang tiada satu kalipun bayang-bayang mereka bisa diukur oleh orang-orang bagak dari penjuru manapun.
“Kanda Tua. Pikirlah dahulu baik-baik.”
***

Tidak ada komentar:

Posting Komentar