Sabtu, 16 April 2011

Malin Bonsu karya griven h. putera


38

Dinihari telah lampau.
Setelah sekian lama menarik-narik tubuh lelaki asing itu di atas pasir, akhirnya Putri Gondan Gonto Sari dan Kembang Cina sampai juga ke samping dendang. Dengan sangat hati-hati, Putri Gondan Gonto Sari dan Kembang Cina memasukkan Lelaki asing itu ke dalam dendang.
Angin yang tadi menderu-deru kini sudah mulai tenang. Pun, gelombang yang tadi bergulung-gulung tak tentu arah kini mulai teratur. Laut hanya beriak kecil.
Kembang Cina kembali mendayung dendang menuju negeri Bantan; sebuah negeri yang terletak di seberang Pulau Angsa Dua. Kembang Cina mendayung dendang semakin cepat. Semakin kuat dayung direngkuh, ia merasa semakin bertambah-tambah saja tenaganya. Pun, dendang yang dikayuhnya seolah bertambah ringan pula. Dalam hati ia merasa heran, semestinya dendang makin berat karena kini telah dimuat tiga orang tapi mengapa dendang makin terasa bertambah ringan, dan pergerakannya pun kian bertambah laju? Dendang yang dikayuhnya seolah didorong sebuah kekuatan lain. Dan semakin lama mengayuh, semakin deras saja dendang meluncur. Merasa begitu aneh dan menakjubkan, semangat Kembang Ciina pun naik menggebu-gebu. Ia ingin secepatnya sampai di jamban panjang.
Sementara itu, selama Kembang Cina berdayung, Putri Gondan Gonto Sari yang duduk di luan dendang tak henti-hentinya memandang lelaki asing yang telah mereka temukan tersadai di Pulau Angsa Dua itu. Sepicing haram matanya tak mau melewatkan tubuh lelaki itu. Dalam hati ia selalu menyimpan asa supaya lelaki asing ini bisa diselamatkan.
Ia terus menabung hayalan. Di antara berbagai hayalan yang menari-nari di kepalanya, ia berangan-angan supaya lelaki ini suatu saat nanti mempersembahkan seulas senyum indah baginya seorang. Ia ingin menikmati senyum lelaki itu saban waktu. Senyum yang akan menghiasi hari-harinya nanti sepanjang waktu. Ia ingin…
Bila rasa inginnya makin membuncah, saling berkejaran tak tentu arah dan semakin tak terkendali, tiba-tiba ia tersadar kembali. Kenapa ia terlalu banyak berharap dan bermimpi? Bukankah lelaki itu telah mati? Siapa yang bisa menyelamatkan manusia dari kematian? Apakah mungkin kekuatan gaib ‘kan segera datang menolong?
Kekuatan gaib? Tuhan? Apa Tuhan mau menolong seorang lelaki yang dirindukan perempuan yang telah menjadi istri orang? Apakah Tuhan bersedia mendengar laungan hati seorang perempuan yang telah bersuami kepada seorang lelaki lain?
Akh… Putri Gondan Gonto Sari terhempas.
Kembang Cina terus saja mengayuh dayung kuat-kuat. Ia tak tahu menahu apa yang sedang berombak dan bergelombang di hati dan pikiran tuan putrinya itu. Ia ingin selekas mungkin menggapai tanah Bantan.
Kini tanah Bantan seolah tinggal sepenggalah. Lampu-lampu yang sinarnya berkelap-kelip memancar dari rumah-rumah nelayan di pinggir laut sudah tampak bagai cahaya kunang-kunang yang menunggu datangnya hujan.
Keposan putih?
Tiba-tiba Putri Gondan Gonto Sari tersentak. Ia teringat keposan putih; anak akuannya itu. Ya, keposan putih, mana tahu makhluk gaib itu bisa menolongnya. Mengingat keposan putih, hati Putri Gondan Gonto Sari bersorak gembira. Kini pikirannya tak lagi karut marut. Ia tersenyum bahagia. Suasana hatinya kini sangat senang sekali, bagai perasaan kekanak yang baru mendapat mainan baru.
“Kembang. Kayuh yang laju!”
“Kita sudah hampir sampai, Mak Bonsu.”
Mendengar jawaban Kembang Cina, barulah Putri Gondan Gonto Sari berpaling ke haluan dendang. Sudah sejak dari Pulau Angsa Dua tadi ia hanya memandang kepada lelaki asing itu. Dan karena ia duduk di haluan, tentu saja pandangannya hanya terarah ke kemudi, tepatnya menghala ke belakang dendang.
Putri Gondan Gonto Sari tersenyum malu.
Walau di langit malam itu tak ada bulan tapi Putri Gondan Gonto Sari telah memeluk bulan. Malam itu ia telah berhati rembulan. (bersambung)












         

Tidak ada komentar:

Posting Komentar