Sabtu, 16 April 2011

Malin Bonsu karya griven h. putera


36

Setelah sekian lama diguncang-guncang Kembang Cina, barulah Putri Gondan Gonto Sari tersadar. Ia usap matanya berkali-kali meyakinkan penglihatan. Merasa belum juga percaya. Sekuat tenaga ia gigit bibir bawahnya yang tipis. Tanpa sadar ia mengaduh. Dalam hati ia berucap lirih. Ini bukan mimpi rupanya!
Setelah dirasa yakin, dengan malu-malu, Putri Gondan Gonto Sari mendekati lelaki yang telentang bertelanjang dada di depannya. Sambil menunduk, seperti berlutut, ia lihat lekat-lekat sumber cahaya di tubuh lelaki itu.
Mata perempuan jelita itu menyipit.
“Panau?”
Panau?
Suara Putri Gondan Gonto Sari tersekat di tenggorokan ketika matanya tertumbuk di dada bidang lelaki itu.
“Tak Silih-palah lagi. Ini panau!” katanya bergumam.
Kembang Cina memeriksa jantung dan urat nadi lelaki itu.
Perempuan pelayan itu menggeleng.
“Ia sudah tak bernyawa lagi.”
“Apa?…” Putri Gondan Gonto Sari tersentak. Matanya terbeliak.
“Ia sudah mati.”
“Sudah mati?”
Putri Gondan Gonto Sari membungkuk, tangannya meraba sesudu hati lelaki asing itu. Merasa tak puas, ia rebahkan telinganya di dada yang bercahaya itu. Ia tak mendengar detak jantung lelaki asing itu. Hanya saja, seketika jantungnya yang malah berdetak keras, selanjutnya berdebar-debar tak karuan. Tubuhnya bergetar hebat bagai kedinginan akibat mandi telalu lama. Getar yang tak pernah ia rasakan seumur hidup walaupun sesungguhnya bukanlah manusia ini lelaki pertama yang telah mengisi bilik hatinya. Sungguh, rasa ini tak pernah ada selama ia bersama dengan Raja Bantan. Ia memang suka pada Raja Bantan, lelaki perkasa dengan roman muka yang aduhai. Penguasa muda yang baik hati. Tapi sungguh, Raja Bantan tak mampu membuat ia menggigil walaupun mereka telah bergaul sebagai suami istri selama tiga hari tiga malam.
Putri Gondan Gonto Sari seperti tak sadarkan diri. Pikirannya merewang kemana-mana. Seribu kata andai, jika saja, telah bertali-temali tak putus-putusnya jalin-berjalin di pikiran. Entah berapa lama asyik dan tak tentu arah dengan pikirannya, Putri Gondan Gonto Sari seperti tersadar kembali.      
Setelah sadar, ia coba lagi meraba daerah lain dari tubuh lelaki yang menggetarkan jiwa raganya itu. Ia tempelkan ibu jari yang masih menggigil di pergelangan tangan lelaki asing itu. Dalam gelinggam hati yang perih, perempuan berlesung pipit itu tertunduk.
Suatu rasa lain tiba-tiba saja menyelinap di dasar hatinya. Ada sesuatu yang terasa hilang di sana. Ada sesuatu yang telah jauh pergi meninggalkannya. Sesuatu yang membuat batinnya terasa perih akibat luka yang dalam, tanpa ia tahu entah mengapa rasa itu tiba-tiba memenuhi hatinya. Padahal ia baru sekali berjumpa dengan lelaki itu. Rasa yang menusuk hatinya, yang tak ia tahu kenapa kini semua yang ada di dunia menjadi terasa hambar. Rumah godang hambar, Raja Bantan hambar. Anjung Tinggi Hambar. Langit hambar, matahari hambar, rembulan hambar, laut hambar. Kini ia mengecap kehidupan bagai menghirup sayur yang dimasak tanpa garam. Tiba-tiba ia merasa hidup ini terasa hampa. Sungguh terasa kosong. Sungguh terasa sunyi. Sungguh sunyi. Ia merasa di dunia ini tinggal sendiri. Ia benar-benar telah lupa kepada Raja Bantan, lupa kepada Kembang Cina, lupa kepada hamba Rakyat Tanah Bantan.  (Bersambung)

   



Tidak ada komentar:

Posting Komentar