Minggu, 17 April 2011

Malin Bonsu karya griven h. putera

43

Putri Gondan Gonto Sari, Kembang Cina dan Malin Bonsu terus melaju ke rumah godang. Putri Gondan Gonto Sari tak menjawab kata-kata Raja Bantan. Usah ‘kan berkata sepatah dua, memandang pun ia seolah tak sudi.
Saat sampai di jenjang lima rumah godang, langkah Malin Bonsu tertahan-tahan tanjak.
Merasa Malin Bonsu berhenti, Putri Gondan Gonto Sari menoleh ke belakang. “Bang Malin. Mari segera naik.”
Bagai kerbau dicucuk hidung, Malin Bonsu kembali mengikuti langkah Putri Gondan Gonto Sari dan Kembang Cina. Sesampainya di seri rumah godang, Kembang Cina memilih jalan ke belakang, menuju dapur. Sementara Putri Gondan Gonto Sari terus menaiki tangga anjung tinggi.
Merasa kurang sedap, Malin Bonsu menghentikan langkah lagi.
“Bang Malin…”
“Hamba sampai di sini saja Putri.”
“Naik saja, Bang.”
“Tidak Putri. Sungguh tak sedap dipandang dan dirasa hati.”
Seolah tahu apa yang dipikirkan Malin Bonsu, Putri Gondan Gonto Sari pun berkata. “Bang Malin. Naiklah. Biar hamba yang akan menemui Raja Bantan.”
Malin Bonsu masih tercacak.
“Mari naik, Bang.” Putri Gondan Gonto Sari menarik lengan Malin Bonsu. Saat tangan halus putih melepak itu menggenggam pergelangan tangannya, hati Malin Bonsu berdebar tak tentu arah. Segala perasaan datang bercampur aduk. Malin Bonsu merasa canggung.
Malin Bonsu menatap mata indah di depannya. Saat mata mereka beradu, Putri Gondan Gonto Sari menunduk. Dalam geletar jiwa yang tak sudah, hati perempuan itu sangat merasa bahagia. Sungguh kebahagiaan yang belum pernah ia rasakan seumur hidup. Ia ingin memeluk kebahagiaan itu selamanya.
Dengan berpalah-palah, Malin Bonsu melepaskan pegangan tangan Putri Gondan Gonto Sari.
“Sungguh sumbang, Putri.”
“Bang Malin!” mata jernih seolah mata kucing itu menikam mata elang Malin Bonsu.
“Bang Malin. mari naik.”
Akhirnya Malin Bonsu tak mampu menolak ajakan Putri Gondan Gonto Sari. Setelah sekian kali melangkah, mereka pun tiba di anjung tinggi. Di saat Malin Bonsu masih tertegun, Putri Gondan Gonto Sari pun membuka semua tingkap anjungan.
Setelah semua tingkap terbuka, Putri Gondan Gonto Sari mengeluarkan cuano, tepak tembaga berukir itu ia sorongkan kepada Malin Bonsu sambil mempersembahkan seulas senyum.
“Mari kunyah sirih, Bang.”
Tanpa menjawab, Malin Bonsu meraih sehelai daun sirih lalu ia ambil pula pinang dan gambir. Daun sirih, pinang dan gambir lekas ia gubal, secepat menggubal perasaan yang tak sedap di hati. Ia pun duduk mengunyah sirih.
Marah di dada Raja Bantan sudah benar-benar pecah. Marah yang tiada terbada-bada. Sejuk yang malam tadi menyelimuti kini telah berubah menjadi panas bara. Tanpa memperdulikan Bujang Selamat, hulubalang bertujuh serta menteri yang delapan, ia pun menghambur ke laman luas.
“Mana orang muda hamba berhimbau.” Suara penguasa muda itu menggelegar. “Turunlah kau ke tanah ini. Kau telah mengambil istri hamba. Nak hamba pepat leher kau yang genting. Nak hamba uncah sarang kutu kau itu!” (bersambung)














(bersambung)




















Tidak ada komentar:

Posting Komentar