Sabtu, 16 April 2011

Malin Bonsu karya griven h. putera


14

“Raja Hitam.”
“Raja Hitam?”
 “Ya.”
Bagai dentuman petir di tengah hari, Datuk Tunggal Dagang dan Omin Guntingan terperanjat. Datuk Tunggal Dagang mengalihkan pandang ke arah istrinya. Begitu pula Omin Guntingan, seolah dikomando, perempuan separuh baya itu pun menoleh ke arah Datuk Tunggal Dagang. Muka mereka sama-sama berubah. Siapa yang tak kenal Raja Hitam?
“Mau apa dia kemari?”
Kini Bujang Selamat sudah agak seperti biasa. Ia tak begitu tergagap-gagap lagi.
“Ia datang dari laut luas. Katanya, walaupun sudah lama berlayar, ia tak singgah di kampungnya lebih dahulu. Ia langsung kemari untuk menyampaikan pesan penting Pak Bonsu Malin kepada anje berdua dan Mak Bonsu Putri.”
“Pesan Malin?”
Datuk Tunggal Dagang dan Omin Guntingan saling pandang lagi. Risau makin menusuk perasaan mereka. Kini langit hati mereka mulai agak hitam. Bertambah lama, kian pekat segelap malam menjelang turun hujan.
***
Di jamban panjang
Raja Hitam duduk separuh mencangkung. Ia baru selesai makan sirih sekapur sambil berangin-angin di haluan dendang. Angin siang itu agak bertiup kuat hingga membuat dendang oleng kiri dan kanan. Raja Hitam menikmati suasana itu bagai duduk di ayunan. Ia membayangkan pertemuan pertamanya dengan Putri Jailan. Yang kata orang, dialah dara pujaan selitit Pulau Perca, selingkung Tanah Lembata kala itu.
Setelah merapikan tanjak yang tercengkit miring di kepalanya, dan merapikan celana yang kusal karena lama duduk di dalam dendang, ia pun berdiri membusungkan dada. Sambil menatap langit, keris panjang yang tadi terletak tak jauh dari cerana ia lenggangkan. Keris pendek Malin Bonsu tak lupa pula ia selipkan di pinggang. Ketika menyelipkan keris Malin Bonsu, ia pun tersenyum. Keris makan tuan.
Raja Hitam tak sabar lagi menuju rumah godang. Tak sabar lagi ingin melihat Putri Jailan. Ia ingin melihat secantik apakah Putri Datuk Tunggal Dagang itu.
Selejang berjalan, ia pun sampai di rumah godang. Kini lelaki muda yang selalu menyimpan seribu tipu daya itu sudah tercacak di jenjang lima.
“Pak Bonsu Tunggal Dagang dan Mak Bonsu Omin Guntingan. Apa anje berdua ada di rumah?” terdengar Raja Hitam bertanya dari pangkal halaman, tepatnya di bibir tangga yang menjulur ke pintu rumah godang.
Sejenak tak terdengar jawaban dari rumah godang.
Di rumah godang, ternyata Datuk Tunggal Dagang dan Omin Guntingan saling berpandangan setelah mendengar suara Raja Hitam.
“Pak Bonsu Tunggal Dagang dan Mak Bonsu Omin Guntingan. Apa anje berdua ada di rumah?” terdengar Raja Hitam bertanya lagi.
 “Hmm. Mana kamu Raja Hitam. Kami memang ada di rumah. Naiklah.” Suara Datuk Tunggal Dagang datar.
Raja Hitam langsung menaiki rumah godang. Sampai di dalam, ia cari tempat di tengah-tengah rumah. Dia duduk menyandar di tiang panjang.
Datuk Tunggal Dagang mengambil cerana lalu dibawanya ke hadapan Raja Hitam.
”Mana kamu Raja Hitam. Inilah sirih peminangan hamba. Kalau hamba boleh bertanya, dari manakah kamu ini? Apa maksudmu datang kemari dan apa pula benda yang hendak kamu cari di sini?”
“Mana Pak Bonsu hamba berhimbau. Sebelum pesan hamba sampaikan. Hamba bertanya dahulu tentang Putri Jailan. ..”
“Putri Jailan?” Omin Guntingan bergumam.
“Ya. Di manakah dia sekarang, Mak Bonsu?”
“Putri Jailan kini di anjung tinggi. Diasuh inang pengasuh. Mau apa kamu kepadanya?” jawab Omin Guntingan sangat ketus. Terdengar kalau Omin Guntingan tak sudi nama anak gadisnya disebut Raja Hitam.
Raja Hitam tersenyum. Kelihatan sekali gigi berkaratnya yang tidak teratur menyembul di antara dua bibirnya hitamnya yang tebal.
“Mana Pak Bonsu hamba berhimbau. Hamba ini datang dari merantau di laut luas. Sudah lima bulan lamanya dilendan dan dilamun ombak-gelombang. Sebelum sampai ke sini, hamba tak singgah dulu di Ranah Kunto Panalunan, Ranah Tanjung Siarang. Hamba langsung menuju kemari membawa amanat Malin Bonsu yang minta disampaikan kepada Putri Jailan dan anje berdua.”












Tidak ada komentar:

Posting Komentar