18
Omin Guntingan mulai mengeluarkan tangis agak keras. Kini suaranya mulai terbata-bata sambil menunduk. Dua telapak tangannya ia tekan kuat-kuat ke lantai rumah, ke hamparan tikar rotan kuning yang mengkilap.
“Meninggal?” Datuk Domiolah memotong pembicaraan
Meninggal? Apakah aku tidak salah dengar? Cakap hati Datuk Domiolah.
“Ya. Kata Raja Hitam, ketika mau meninggal, Malin berpesan kepadanya supaya menikahi anak kita Putri Jailan.” Datuk Tunggal Dagang menyambung penjelasan Omin Guntingan karena perempuan separuh baya itu tak mampu bersuara lagi kecuali laungan tangis keras yang tidak disertai sebuah kata pun.
“Apa? Malin meninggal? Raja Hitam menikahi Putri Jailan?” suara Datuk Domiolah bergumam tak percaya. Lelaki itu menggeleng. Sungguh ia tak percaya kalau Malin sudah meninggal. Apalagi menyuruh Raja Hitam pula menikahi Putri Jailan.
Akh, tidak mungkin! Sungguh tak makan di akal! Gumamnya makin tak jelas.
Walaupun bergumam, karena jarak Datuk Domiolah dan Datuk Tunggal Dagang begitu dekat, kira-kira hanya satu depa saja dari tempat duduk Datuk Tunggal Dagang dan Omin Guntingan, maka gumaman itu cukup terang masuk ke telinga Datuk Tunggal Dagang.
“Periksalah lebih dahulu keris pendek ini kanda,” kata Datuk Tunggal Dagang sambil menunjuk benda yang terbalut kain perca yang teronggok di depan mereka.
Seolah tadi terlupa, dengan cepat sekali, jari-jari Datuk Domiolah membuka gulungan kain yang sudah sekian lama tergeletak tak lebih dari satu hasta di depan Omin Guntingan itu.
Kepala Datuk Domiolah tertunduk lemas seusai memeriksa keris pendek tersebut. Di sebelahnya, Datuk Lanang Bisai terdengar menarik napas kuat sekali.
“Bagaimana kanda?”
Datuk Domiolah tak bisa melenggakkan kepala ke atas. Kepalanya terasa begitu berat seolah ditindih batu sebesar goni beras. Hanya Datuk Lanang Bisai kelihatan mengigit bibir bawah. Jelas sekali kalau isyarat itu menandakan bahwa keris tersebut memang keris pendek Malin Bonsu.
“Sekarang bagaimana sikap kita menghadapi masalah ini? Apa tindakan yang segera akan kita lakukan, kanda?” Tanya Datuk Tunggal Dagang lagi mencoba setenang mungkin di depan dua abang iparnya itu.
Dua titik air duka tampak jatuh bergulir ke betis kanan dan kiri Datuk Domiolah yang dibalut celana panjang. Di sebelahnya, di sudut mata kiri dan kanan Datuk Lanang Bisai sudah kelihatan pula terapung air duka yang sama. Datuk Domiolah dan Datuk Lanang Bisai seolah tak sanggup melihat kenyataan ini. Dua orang pendekar tua itu tersadai dalam keperihan yang tak terhingga.
Kini tak satu pun dari mereka yang angkat bicara. Mereka sibuk membenahi perasaan masing-masing.
Sungguh, seumur hidup, selama ini belum sekali jua pun mereka menangis, sungguh belum pernah menangis. Belum pernah! Pun, bukan sekali ini saja mereka menghadapi orang-orang tercinta yang telah tidur abadi seperti ini. Sudah sering kali. Kerap sekali malah. Mulai ayah dan ibu mereka dahulu. Sungguh mereka tak pernah menangis. Dan bagi Datuk Domiolah sendiri, beberapa tahun lalu, ketika ia melepas kepergian istrinya ia malah tersenyum karena ia sadar bahwa kematian itu adalah awal perjumpaan abadi mereka esok di kampung yang kekal, walau itu entah kapan. Dan yang pasti ia akan mudik abadi juga. Pasti. Dan ia sangat yakin, bahwa yang pasti datang pada semua makhluk bernyawa di dunia ini adalah maut. Kalau begitu, untuk apa menangisi orang terkasih meninggal?
Kini? Saat kabar Malin Bonsu meninggal, anak tunggalnya itu balik ke kampung abadi, kenapa ia menangis? Kenapa air lemah itu tumpah? Kemana kegagahan dan kebesaran jiwanya hilang? Sudah serapuh inikah ia? Apakah manusia serupa dendang yang dari waktu ke waktu, panas matahari dan dingin air laut serta hujan badai yang datang silih berganti menghantamnya membuat ia lekang dan lapuk? Yang pada akhirnya karam, dan tenggelam? Sudah menjadi perahu tua kah dia kini?
Tidak ada komentar:
Posting Komentar