Sabtu, 16 April 2011

Malin Bonsu karya griven h. putera


11

Laut Embun saat menjelang siang itu sedikit bergelombang akibat hembusan angin yang cukup deras menjura ke arah darat. Di langit, matahari mulai tipis terlindung awan hitam. Jauh di atas laut, beberapa ekor burung, serupa burung elang terbang menukik ke dalam gelombang. Tiada lama benar, mereka naik lagi, lalu terbang ke arah darat, ke atas kayu-kayan yang tumbuh di sepanjang tebing Laut Embun.
Malin Bonsu masuk ke dalam dendang. Setelah tali dibuka, dendang ia tolak ke tengah. Dendang panjang Putri Jailan itu pun merewang ke tangah laut.
Malin Bonsu tegak berdayung sendiri. Sekali dayung direngkuhnya, dua tiga pulau terlampau, bagai dikarang buih hilir, bagai diimak pulau datang, bagai dibilang pulau tinggal. Dayung anak orang alim bertuah besar. Dayung penuh kedorat[1].
Haluan dendang Malin Bonsu ditunda ombak yang besar, dan timbul tenggelam dilendan gelombang tinggi. Siang dan malam Malin Bonsu terkatung-katung di laut. Hujan dan panas tiada lagi punya beda. Mencium aroma laut yang selama ini cukup asing baginya telah menjadi sesuatu yang biasa. Kulitnya yang melempai putih karena selalu diperam dalam rumah godang kini telah berubah coklat. Rambut yang selalu ditata rapi kini terbiar tak beratur. Kumis dan jenggotnya tumbuh bagai semak liar di bibir hutan.  Di mana ia merasa penat di situlah ia berhenti, di mana hari dijilat petang di sana pula ia bermalam.
Setelah sebulan berlalu, banyak sudah kampong dan negeri yang telah dilalui dan disinggahi Malin Bonsu. Kini Malin Bonsu sudah berada di laut Simpang Empat.
Malin Bonsu sedang singgah  istirahat setelah sekian lama berlayar.
Malin Bonsu duduk makan sirih. Baru sekali sirih dikunyah, di kejauhan ia lihat sebuah dendang memudiki laut. Makin lama dilihat, makin jelas dan terang kalau perahu besar yang terkatung-katung di tengah laut itu menuju ke arahnya.
“Raja Hitam?”
Rasa tak sedap mulai menyelimuti Hati Malin Bonsu. Raja Hitam selalu dikenal sebagai pemuda yang selalu membuat kekacauan. Melihat roman Raja Hitam, Malin Bonsu merasa bakal terjadi sesuatu yang tak baik di belakang hari pada dirinya.
Sebagai anak Datuk Domiolah yang terkenal bijaksana, Malin Bonsu mencoba menghalau parasangka buruk itu jauh-jauh.
“Mana tuan Malin Bonsu hamba berhimbau. Kemanakah tujuan tuan ini?” raja Hitam bertanya setelah dendangnya merapat di samping Malin Bonsu.
“Mana Raja Hitam hamba berhimbau. Apakah kini tuan hendak pergi atau atau mau pulang?”
Raja Hitam terdiam sejenak. Pertanyaannya belum sempat dijawab, malah Malin Bonsu bertanya pula.
“Hamba mau pulang. Sudah tiga bulan lamanya hamba berlayar. Kini hamba hendak menuju kampung hamba lagi, Ranah Kunto Panalunan, Ranah Tanjung Siarang.”
Raja Hitam menghambur ke dalam dendang Malin Bonsu.
Malin Bonsu menyorongkan tepak sirihnya yang berisi sirih, pinang dan gambir. Tak lama kemudian, sambil tertawa terbahak-bahak, Raja Hitam pun menyorongkan tepak sirih pula.
Malin Bonsu terkejut bukan main. Raja Hitam mengeluarkan tepak berisi paku, pecahan kaca.
Apa maksudnya? Tanya hati Malin Bonsu. Kini perasaan Malin Bonsu makin tak sedap.
Kini Malin Bonsu pergi berjalan. Selama kau berjalan, maka Putri Jailan, tunanganmu itu akan hamba ambil. Ha ha ha…
“Raja Hitam, karena tuan mau menghadap balik, sedangkan hamba baru mau pergi. Sekarang beginilah, hamba mau beramanat kepadamu. Kalau tuan mau, marilah kita balik adik-beradik. Kita mengaku berdunsanak. Setelah hamba pergi nanti, tolong tengok dan lihat Kota Lembacang Pandak, Ranah Kunto Panalian. Tolong dengarkan pula kabar tunangan hamba, Putri Jailan. Sekarang kita sudah sama tahu, dunia kini banyak orang tawan-tawanan.”



[1] Kekuatan magis

Tidak ada komentar:

Posting Komentar