Sabtu, 16 April 2011

Malin Bonsu karya griven h. putera


21

Sesungguhnya, ia datang ke sini, ke Ranah Kunto Panalian ini hendak mencari tempat bergantung, mencari aur bagi tebing. Mencari sembarang pembela, menjadi penopang bagi tebing kehormatannya, kehormatan rumah godang Kota Lembacang Pandak yang bakal dicabik-cabik Raja Hitam, yang tentu saja pembela atau aur yang diharapkan itu adalah Datuk Domiolah dan Datuk Lanang Bisai. Akan tetapi, yang ia dapatkan di sini, di Ranah Kunto Panalian ini hanyalah sebuah kekecewaan. Hanya dua orang yang telah kehilangan darah berani, yang telah bersikap seperti para pecundang tertawan di medan perang, serupa serdadu dalam tahanan. Tak lebih dari itu. Sungguh tak lebih. Yang ia temukan di sini, di Ranah Kunto Panalian ini hanya orang-orang yang telah patah semangat. Orang-orang yang di matanya telah mati sebelum mati.
Datuk Domiolah, lelaki yang pernah menjadi buah bibir tanah Perca semasa muda dulu tentang keperkasaan dan kehebatannya di gelanggang selingkung tanah Lembata ternyata tinggal cerita. Lelaki itu telah menyerah. Sedang Datuk Lanang Bisai apa pula bedanya? Kini ia hanya bagai ayam lapar yang tercebur ke dalam air saja. Ia telah menjadi mumok. Ia yang seperti hanya menunggu kapan matahari muncul dari langit supaya kepaknya segera kering. Dan sebentar lagi kembali mengais-ngais tanah demi perut saja.
Melihat kenyataan itu, Omin Guntingan merasa sangat terhempas. Akan tetapi, di depan dua orang saudara kandungnya ini, Omin Guntingan tak mau memperlihatkan puncak kemarahan dan kekecewaannya itu. Ia masih bertenang. Dalam lubuk hati yang teramat dalam masih menyimpan segumpal harap agar dalam beberapa hari menjelang pertemuan mereka di Kota Lembacang Pandak esok akan ada perubahan pada dua orang saudaranya ini. Semoga dua orang saudaranya ini menemukan kembali diri mereka yang dulu, yang tak pernah mengenal rasa takut kepada apapun jika yang dibela itu adalah keadilan dan kebenaran. Jika yang dilindungi itu adalah orang-orang yang terzalimi. Dulu mereka akan turun tangan membela siapa saja kalau ada yang berlaku di luar kemanusiaan. Tak peduli saudara, tak peduli sekampung dan sepuak; semua yang memerlukan perlindungan akan dipayungi. Kini, darah daging mereka sendiri, kenapa mereka diam mematung?
“Kanda Tua. Pikirlah dahulu baik-baik.”
***
Pagi telah menyingkapkan kelopak putihnya melalui senyuman matahari. Bagi Omin Guntingan, kelopak putih menyerlah itu hanya seumpama cahaya bagi kelelawar. Sekali ini, bagi Omin Guntingan, kedatangan matahari hanya mempercepat munculnya penderitaan. Ya, mempercepat datangnya Raja Hitam yang akan merampas permata hidupnya. Yang akan memperkosa kehormatan Kota Lembacang Pandak dan Ranah Kunto Panalian.
Setelah bercakap tadi malam, Omin Guntingan merasa sunyi sendiri. Ramainya hamba rakyat yang berlalu-lalang di depan rumah godang tak sedikitpun ia rasakan. Ia larut dalam kecemasan dan kekhawatiran yang bakal menimpa. Ia berharap Tuhan segera mengutus seorang manusia di Kota Lembacang Pandak dan Ranah Kunto Panalunan yang berhati baja, yang membusungkan dada melawan Raja Hitam. Tapi sayang, siapakah yang lebih hebat daripada para hulubalang penghuni rumah godang? Terlebih lagi, tiga datuk besar? Andaikata memang ada, siapa yang sanggup melangkahi bayang-bayang Datuk Domiolah, Datuk Lanang Bisai dan Datuk Tunggal Dagang?
Ingin hatinya memukul tabuh larangan, menghimpun rakyat banyak, mencari siapa yang akan jadi pahlawan bagi negeri ini. Akan tetapi, setelah dipikir berkali-kali ia batalkan lagi. Tindakan itu sama saja menghina tiga datuk besar rumah godang. Okh… batin Omin Guntingan menjerit.
Pagi itu Datuk Tunggal Dagang dan Omin Guntingan kembali ke Kota Lembacang Pandak. Dalam hati yang paling dalam, mereka berdua berharap supaya Datuk Domiolah dan Datuk Lanang Bisai bisa berubah sikap sepeninggal mereka nantinya, biarlah putih mata daripada putih hati. Daripada hidup bercermin bangkai eloklah mati berkalang tanah. Akan tetapi? (bersambung…)



















Tidak ada komentar:

Posting Komentar